Resensi Film

Nyai Ontosoroh Primadona Film Bumi Manusia

Minggu, 25/08/2019 00:01 WIB
Film Bumi Manusia berdurasi nyaris sama dengan Avenger (foto: Falcon)

Film Bumi Manusia berdurasi nyaris sama dengan Avenger (foto: Falcon)

Jakarta, law-justice.co - Meski tak nampak antrian mengular di counter penjualan tiket – setidaknya demikian pemandangan di sebuah bioskop di Bogor pada pertunjukann Premier Kamis (15/8) lalu – bukan berarti animo masyarakat untuk menonton film Bumi Manusia rendah. Buktinya, ada hampir 15.000 orang di aplikasi tix.id pada hari itu yang menyatakan ingin menonton film besutan sutradara Hanung Bramantyo. Kursi di bioskop tempat kami menonton pun terisi 2/3-nya.

Mereka yang datang menonton kebanyakan anak-anak muda. Bahkan terlihat ada rombongan santri berusia sekitar 20-an tahun. Salah satu dari mereka bersarung dan perpici. Dan dia menjadi satu-satunya penonton yang bersedia berdiri tegap saat lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan sesaat sebelum film mulai diputar.

Penonton pun seolah tersihir mengikuti jalan cerita film yang sesugguhnya lumayan berat karena begitu banyak pesan penting yang hendak disampaikan Pramoedya Ananta Toer, penulis kelahiran Blora, Jawa Tengah, ini. Konsentrasi penuh penonton tercermin dari tidak adanya interupsi cahaya handphone yang di beberapa kesempatan menonton film lain, kami kerap menegur keras mereka yang tidak disiplin, menyalakan hp saat film berlangsung.

Sebuah status di akun Facebook milik warga Bandung juga tak kalah seru mengisahkan bagaimana anak-anak muda Bandung antusias antri hendak menontong film ihwal nasionalisme dan kebangkitan nasional yang dibaurkan dengan kisah cinta Minke dan Annelies Mellema, gadis peranakan Jawa - Belanda. Meski kemudian terungkap mereka sesungguhnya tidak tahu jika film itu diadaptasi dari buku pertama Tetralogi Buru karya agung Pram, demikian Pramoedya biasa disapa, yang telah diterjemahkan ke dalam 57 bahasa. Wajar saja, karena sekian lama buku-buku Pram dilarang untuk dibaca di Indonesia, setidaknya hingga 1990-an. Baru pada awal era millennium buku Tetralogi Buru tersedia di beberapa toko buku di Jakarta. Selain Bumi Manusia, Tiga buku lainnya adalah Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

 

Pramoedya Ananta Toer (foto: CNN)

Hingga saat ini jumlah penonton film Bumi Manusia sudah mencapai 750.000. Nyata betul sambutan hangat masyarakat terhadap film ini.

Astuti Ananta Toer, putri sulung Pram lewat pesan yang dikirim via WhatsApp kepada penulis mengaku kelelahan setelah road show ke sejumlah kota di Jawa, ”baru kali ini wawancara pers sampai pagi dari pagi; pers yang datang itu 250 di Surabaya. Kami juga keliling terus untuk promo, terakhr kemarin di Yogya dengan Romo Sultan.” Mbak Titi, panggilan akrab Astuti, mengaku justru belum promo film ke Blora, kota kelahiran Pram. “Blora belum,” tulisnya singkat.

Film hasil garapan rumah produksi Falcon Pictures ini sudah dikerjakan sejak setahun lalu. Falcon menggandeng Hanung Bramantyo, sutradara muda peranakan Cina (ibu) -  Jawa (bapak) yang banyak menggarap film-film bertemakan cinta. Keputusan ini sempat kontroversial. Sejumlah pihak meragukan apakah dia mampu mewujudkan imajinasi yang ada dalam kitab maha karya Pram ke dalam bentuk visual, termasuk menghidupkan sekitar 22 tokoh yang mejalankan cerita Bumi Manusia.

Keraguan semakin jadi saat sang sutradara kelahiran Yogyakarta 43 tahun silam ini, sempat berujar yang isinya mengesankan niatnya untuk mengsimplifikasi buku yang digarap amat serius oleh sang penulis. Dalam wawancara dengan media pada 2018 silam, Hanung mengajak orang untuk kembali membaca Bumi Manusia dalam konteks kekinian. Ia lantas mengatakan, ”Membaca Bumi Manusia dalam konteks sekarang…Itu sebetulnya kan cinta yang sekarang,.. kisah sekarang, tapi diletakkan pada masa tahun 1900-an.”

Hanung hendak mereduksi karya yang telah dipersiapkan lama lewat riset serius.

Bagi Pram menulis adalah pekerjaan amat serius. Dia selalu berujar bahwa menulis buatnya merupakan pekerjaan sarat misi untuk membangun karakter bangsa. “Saya nulis itu dalam rangka ajaran Soekarno “nation and character building”. Itu aja! Selebihnya terserah publik.” demikian katanya seperti di kutip dalam buku Pram Melawan.

“Kalau saya menulis, saya kumpulkan dulu realitas. Baik itu yang bersembunyi di dalam bawah sadar maupun yang saya sadari. Ini seakan-akan satu gelas air materi saya. Saya tetesi ideologi pribadi saya ke dalamnya, lantas dia berproses. Proses ini yang saya tulis,” katanya kepada para penulis buku Pram Melawan, suatu ketika di awal 2000an silam.

Itu benar. Lihat saja bagaiman kuatnya Pram menciptakan karakter Nyai Ontosoroh, perempuan pribumi yang diambil istri hartawan Belanda bernama Robert Mellema. Dari sana kemudian lahir seorang anak laki-laki bernama Robert Mellema dan seorang anak perempuan bernama Annelies.

 

Gaya Ine Febriyanti di film Bumi Manusia (foto: Tempo)

Sosok Ontosoroh yang digambarkan Pram sebagai perempuan dengan pribadi yang cerdas, kuat, tegas dan berani ini, bukan tanpa maksud. Dia menjadikan Ontosoroh sebagai pola. Ceritanya, saat dirinya masih menjadi tahanan politik Orde Baru di Pulau Buru, terjadilah pemberontakan massal di sana. Banyak tahanan mengalami kemerosotan mental.

Untuk membangkitkan semangat sesama tahanan politik atau tapol, Pram kemudian mulai menceritakan soal Ontosoroh. Cerita pun bergulir dari mulut ke mulut. Kepada sesama tahanan, Pram selalu mengatakan, “lihat itu perempuan: menghadapi kekuasaan kolonial seorang diri. Kalian lelaki. Masak merosot begitu mentalnya.” Ternyata pola ini berhasil membangkitkan semangat mereka.

“Kalau tidak, akan banyak yang bunuh diri,” tuturnya seperti dikutip dalam buku Pram Melawan yang terbit pada 2011.Terlepas apakah tokoh ini ada dalam kenyataan, itu bukan masalah. “Dia menjadi pola. Sebuah kenyataan sastra yang diterima.”

Sudah tepat sutradara Hanung memilih aktris Sha Ine Febriyanti untuk memerankan tokoh Ontosoroh. Di film berdurasi 3 jam ini, Ine bermain kuat dan benar-benar mentransformasi diri. Dia mengakui karakter Nyai Ontosoroh itu berat dimainkan, bahkan bagi dirinya yang sudah lama mendalami teater dan menggemari karakter itu sejak lama. Ine sudah ingin memerankan sosok Ontosoroh sejak usia 19 tahun saat dirinya pertama kali membaca Bumi Manusia.

"Nyai Ontosoroh itu adalah karakter berat, wah gila banget. Jadi ketika saya berusaha masuk ke dalam karakter itu, upaya saya enggak cuma sekadar baca bukunya, saya berusaha juga untuk holistik," kata Ine saat berbincang dengan CNN, beberapa waktu lalu.

Akting Ine sebagai Ontosoroh menjadi salah satu kekuatan film ini. Dia salah satu dari sedikit aktris yang bermain kuat sehingga nyaris mampu mewujudkan imajinasi Pram soal karakter Ontosoroh. Tokoh yang menurut pengakuan Pram merupakan. “perpaduan dari ibu saya sendiri. Tegas Sekali! Dia dulu murid ayah saya di H.I.S”. ujarnya seperti dikutip dalam buku Pram Melawan.

Secara umum film ini patut diapresiasi. Penulis skenario, Salman Aristo, cukup berhasil mengadaptasi novel yang sarat pesan, yakni soal kebangkitan nasional, perlawanan terhadap kolonialisme, segala bentuk penindasan dan ketidakadilan serta gugatan Pram terhadap feodalisme Jawa.

Aristo yang menggarap naskah film Bumi Manusia selama dua tahun mampu memunculkan simbol-simbol penting dalam novel epik ini, sehingga nyaris tak terlewatkan. Misalnya gambaran tentang budaya Jawa yang feodal yang memang dibenci Pram. Dalam buku aslinya, Pram seolah ingin menggarisbawahi bahwa kultur Jawa yang feodal turut melanggengkan kolonialisme di Indonesia.

 

Bumi Manusia, bukan sekadar kisah cinta Minke-Annelies (foto: falcon)

Film ini sesungguhnya mengambil alur utama cerita tentang hubungan asmara seorang pemuda Jawa yang bersekolah di HBS (sekolah lanjutan atas Hindia-Belanda) Minke dengan Annelies, gadis indo putri pasangan tuan Belanda yang berkekuasaan besar Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh. Namun skenario yang ditulis Aristo, membuat film ini bukan lagi sekadar film percintaan. Dia berhasil menangkap esensi pesan yang ada dalam buku Bumi Manusia, terutama soal hubungan antara kolonialisme dan budaya Jawa yang feodal.

Pram yang mengaku telah meninggalkan budaya Jawa sejak usia 17 tahun tidak bisa sepenuhnya menyalahkan kolonialisme. Sebab semua hal baru, termasuk hukum itu dikenal berkat adanya kolonlisme, katanya. Kemampuan penjajah Belanda mengawinkan kolonialisme dengan feodalisme pribumilah yang menyebabkan bangsa ini dijajah hingga ratusan tahun.

“Perkawinan antara kolonialisme dan feodalisme pribumi melahirkan namanya priyayi. Priyayi itu yang menjalanka pemerintahan kolonial. Belanda itu cuma ongkang-ongkang aja di kota-kota. Jadi kepala-kepalanya itu bangsanya sendiri sampai enggak pernah measa bahwa dijajah pribumi,” kata Pram dalam buku Pram Melawan.

Di buku maupun dalam film Bumi Manusia muncul sejumlah tokoh Belanda yang baik hati. Sebut saja Herbert de la Croix, Asisten Residen Kota B. Meski Eropa totok ia tidak berwatak kolonial. Ia digambarkan sebagai Belanda yang memiliki empati dan rasa iba terhadap masyarakat pribum. Dia pula yang membantu Minke menyediakan advokat saat berperkara di pengadilan.

Ada juga sosok Magda Peters Juffrouw. Seorang guru Bahasa dan Sastra Belanda H.B.S. di Surabaya. Dia adalah guru yang amat dikagumi Minke karena berpandangan liberal, menentang segala bentuk pemerasan kolonial. Ada juga Dr. Martinet yang baik. Pria berumur kira-kira 50-an tahun adalah dokter keluarga Nyai Ontosoroh.

Sebaliknya Pram menciptakan tokoh pribumi yang antagonis. Ada Sastrotomo, Ayah Sanikem atau Nyai Ontosoroh. Demi memenuhi hasryatnya menjadi jurubayar, berbagai cara pun dia lakukan termasuk menyerahkan Sanikem, anaknya, menjadi gundik Herman Mellema.

Ayah Minke, seorang Bupati dan priyayi Jawa tak luput dari kritik Pram. Dalam film digambarkan priyayi Jawa ini memiliki sikap sangat hierarkis. Dialah orang yang paling keras menentang Minke dekat dengan keluarga Nyai Ontosoroh, sebab posisi Nyai di masa itu dianggap sama rendah dengan “binatang peliharaan”.

 

Adegan dalam film Bumi Manusia (foto: Falcon)

Narasi sejarah yang dibacakan sebagai pembuka film juga terasa apik, sekaligus pengingat setting film ini. Karya Pram memang sarat sejarah karena dia rajin melakukan riset. Menurutnya memahami sejarah itu perlu,”supaya tahu darimana kita berangkat.” Jadi ketertarikan Pram pada sejarah bangsa ini lebih didorong pada keingintahuannya, “kenapa bangsa ini jadi begini. Saya korek-korek apa yang bisa dikorek,” katanya masih dalam buku Pram Melawan.

Suara khas penyanyi solo legendaris Iwan Fals membawakan lagu Ibu Pertiwi yang berlirik kelam, cocok menjadi pengiring gambaran kondisi bangsa ini di zaman penjajahan Belanda yang diskriminatif dan memandang rendah pribumi. Pram yang mengalami pahitnya hidup dijajah Belanda lalu Jepang dengan kuat menuliskan kritik sosialnya terhadap kondisi itu dengan apik. Di film Bumi Manusia pesan ini cukup terwakili.

“Nonton-nya tidak cukup sekali. Harus 2-3 kali biar paham maknanya,” demikian pesan Astuti Ananta Toer, putri tertua yang juga kesayangan Pram, yang disampaikannya via WhatsApp kepada penulis. Sebuah saran yang pas bagi para penonton film ini.

(Rin Hindryati\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar