Mardani Ali Sera, anggota DPR

Ibukota Pindah, Siapa yang Diuntungkan?

Kamis, 22/08/2019 09:01 WIB
Mardani Ali Sera, anggota DPR (Geotimes.co.id)

Mardani Ali Sera, anggota DPR (Geotimes.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Rencana pemidahan ibu kota oleh Presiden Joko Widodo menjadi isu sensitif belakangan ini. Rencana tersebut dibacakan dalam pidato kenegaraan di Sidang MPR/DPR.

Ide pemindahan ibu kota ini bukan hal yang baru, sudah pernah digulirkan sejak zaman Presiden RI sebelumnya. Tetapi yang membuat hal ini cukup sensitif saat ini adalah ide ini digulirkan ketika situasi ekonomi dan keuangan negara lagi berat.

Di sisi lain, kita belum melihat urgensi pemindahan ibu kota ini. Apakah kalau ibu kota tidak dipindahkan, Negara Indonesia ini akan terancam? Dari mana sumber anggarannya? Siapa yang bakal mengelola proyek pembangunan kotanya?

Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ini harus kita lontarkan mengingat kebijakan pemindahan ibu kota ini menimbulkan dampak yang serius bagi keuangan negara dan masa depan bangsa kita.

PERTAMA, saya ingin membedah dari sisi anggaran. Mari kita lihat rincian sumber anggaran pemindahan ibu kota yang direncanakan pemerintah.

Dari rincian anggaran ini dapat kita lihat total estimasi biaya Rp. 466 Trilyun. Jumlah ini sangat besar bila dibandingkan dengan utang luar negeri Indonesia dan APBN tahunan Pemerintah.

Saat ini Utang Luar Negeri Indonesia sudah mencapai Rp. 5.528 Trilyun (Data Bank Indonesia, April 2019), rencana Belanja Negara di RAPBN 2020 sebesar Rp. 2.528,8 Trilyun dengan defisit Rp. 307,2 Trilyun.

Besaran rencana Belanja Negara sebesar Rp. 2.528,8 Trilyun ini belum termasuk biaya pemindahan Ibu Kota, karena menurut pemerintah proses pemindahan ibu kota masih dalam tahap kajian dan perencanaan.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi kita menurun menjadi 5,05% (jauh di bawah pertumbuhan ideal minimal 7%), pengangguran terbuka masih tinggi: 6,82 juta orang (5,01%), jumlah penduduk miskin: 25,14 juta orang, industri manufaktur semakin tertinggal.

Dari data-data tersebut kita dapat melihat masih beratnya kondisi ekonomi dan keuangan negara. Dana yg sangat besar sejumlah Rp. 466 Trilyun sangat tidak tepat ketika digunakan untuk biaya pemindahan ibu kota negara yang kurang berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.

Dana sebesar itu kalaupun ada haruslah digunakan untuk membangun kawasan-kawasan ekonomi dan industri yang tepat sasaran untuk pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah.

KEDUA, perihal aturan tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dari rincian anggaran dapat kita lihat dari total estimasi biaya Rp. 466 Trilyun, 93,5% (435,4 Trilyun)-nya adalah dari sektor swasta (KPBU dan swasta).

Hal ini sangat membahayakan untuk rencana pembangunan ibu ota Negara yang merupakan obyek vital negara.

Sumber pembiayaan gedung legislatif, eksekutif, yudikatif, serta sarana pendukung dan penunjangnya dari KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) dan Swasta.

Ini yang dapat mengancam aspek keamanan dan kedaulatan ibu kota sebagai objek vital negara.

Di dalam Perpres No 38 tahun 2015 Pasal 5 ayat 1 tentang KPBU sudah dijelaskan dengan rinci bahwa infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan Badan Usaha adalah infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial, bukan infrastruktur politik/lembaga negara.

Pada ayat 2 nya ada dicantumkan rincian jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan skema KPBU ini, dan tidak ada infrastruktur politik/lembaga negara.

Di dokumen perencanaan estimasi biaya yang disusun Pemerintah dapat kita lihat gedung legislatif, eksekutif, yudikatif beserta sarana prasarana pendukung dan penunjangnya yang merupakan infrastruktur politik menggunakan skema KPBU yang melibatkan badan usaha/swasta.

Ini berpotensi melanggar Perpres tentang KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) yang ditetapkan oleh Pak Jokowi sendiri.

KETIGA, selain berpotensi melanggar Perpres, adanya potensi ancaman keamanan, kemandirian dan kedaulatan negara apabila infrastruktur politik negara dibangun dengan skema KPBU & swasta. Apalagi ini merupakan ibu kota Negara jantung vitalnya Negara Indonesia.

Hal ini mengingatkan kita kembali akan proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang dilakukan oleh pengembang untuk membangun daerah hunian baru di ibu kota negara yang dikuasai oleh pengembang swasta.

Sebagian orang berpendapat, proyek pemindahan ibu kota ini adalah kompensasi gagalnya proyek reklamasi Jakarta, yang dialihkan dengan proyek pemindahan ibu kota ke luar Jawa dengan 93,5% anggaran biaya oleh badan usaha/swasta.

Kita tidak bisa membiarkan objek-objek vital politik negara kita memiliki bahaya laten ancaman keamanan dan kedaulatan karena infrastrukturnya tidak dikuasai oleh negara.

Kita sudah pernah membahas bahayanya proyek reklamasi pantai utara Jakarta yang akhirnya dihentikan.

Demikian 3 hal yang menjadi dasar utama pentingnya rencana pemindahan ibu kota ini untuk kita kritisi dengan serius: ke-1. Beban ekonomi, keuangan, dan hutang negara yang lagi berat.

Lalu yang ke-2. Potensi pelanggaran terhadap Perpres No 38 tahun 2015. Dan ke-3. Ancaman keamanan dan kedaulatan terhadap ibu kota Negara.

Untuk itu saya mengajak agar seluruh komponen rakyat, akademisi, ahli, politikus, dan tokoh2 masyarakat bersama2 berjuang untuk mengkritisi rencana pemindahan ibu kota ini seperti dahulu kita mengkritisi dengan serius proyek reklamasi Jakarta.

Karena bahaya laten keduanya sama. Ayo kita jaga bersama negeri ini, karena negeri ini milik kita bersama. #KritisiPindahIbukota. Mari kritis konstruktif.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar