Kritik Pidato Presiden, Narasi Usang Kaset Rusak Diputar Ulang

Rabu, 21/08/2019 05:04 WIB
Presiden Jokowi (Oto Detik)

Presiden Jokowi (Oto Detik)

Jakarta, law-justice.co - Tanggal 16 Agustus 2019 yang lalu, Presiden Jokowi telah menyampaikan pidato dalam sidang Pembukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sidang tersebut beragendakan penyampaian pidato oleh Presiden Jokowi dalam rangka penyampaian pengantar/keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN tahun anggaran 2020.

Dalam pidatonya, selain menekankan pada persatuan, Jokowi juga memaparkan lima poin yang akan menjadi fokus pemerintahannya ke depan. Lima fokus itu adalah melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, pangkas yang menghambat investasi, reformasi birokrasi, dan pembangunan APBN tepat sasaran.

Usai penyampaian pidato, ramai para pengamat memberikan penilaian. Ada yang mengapresiasi tetapi banyak juga yang mengkiritisi sebagai pidato yang tidak banyak mengandung nilai bahkan cenderung menggelikan. Bagaimana para pengamat menilai pidato Presiden Jokowi pada sidang tahunan kali ini ?. Mengapa pidato ini bernuansa narasi usang yang cukup menggelikan ?

Panen Kritikan

Adalah Ketua SETARA Institute Hendardi yang menilai, pidato Presiden Joko Widodo di hadapan sidang tahunan MPR dan di depan DPR-DPD di Jakarta,terbatas memuji BPK yang telibat dalam beberapa keanggotaan internasional yang artifisial, tetapi tidak menyajikan bagaimana desain BPK dan visi Jokowi yang kontributif dalam pemajuan pencegahan korupsi," ujar Hendardi di Jakarta.

Jokowi hanya memaparkan paradigma baru pemberantasan korupsi yang berorientasi pada pencegahan dengan inovasi teknologi dan birokrasi yang transparan."Jokowi juga tidak menyampaikan visi progresif pemajuan HAM termasuk bagaimana memastikan bangsa ini merdeka dari sejarah kelam pelanggaran HAM masa lalu, meskipun pada dimensi hak ekonomi, sosial, dan budaya bobot perhatian Jokowi lebih dominan," ucapnya.

Selain tidak banyak membicarakan soal pemberanasan korupsi dan HAM, Jokowi juga  tidak banyak menyinggung soal pembangunan negara hukum. Pada hal  seharusnya pembangunan hukum menjadi prioritas pemerintah dalam lima tahun ke depan. Negara hukum adalah "condition sine qua non" atau saling berkelindan dalam mendorong pembangunan ekonomi dan mewujudkan kepastian usaha. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menekankan bahwa "Indonesia adalah negara hukum" dan aspek terpenting dari negara hukum adalah jaminan hak asasi manusia.

Sementara itu Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai Jokowi terlihat menggebu-gebu membahas investasi yang luas dan tidak menyentuh sama sekali masalah hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) hingga pemberantasan korupsi."Padahal kegelisahan rakyat yang sekarang timbul karena merasa hukum dan penegakan HAM tidak adil. Membahas investasi luas dan bilang akan menghajar yang menghalangi investasi justru buat curiga," kata Pangi kepada CNNIndonesia.com, Senin (19/8).

Padahal, imbuh Pangi, kegaduhan politik di akar rumput, konflik sosial, kesenjangan dan ketidakadilan menjadi biang kerok permasalahan bangsa karena lemahnya agenda penegakan hukum. Sehingga, narasi Jokowi yang akan menghajar siapapun yang menghambat investasi justru menimbulkan kecurigaan bahwa Jokowi takut membahas masalah hukum dan HAM demi membela korporasi besar atau pihak-pihak yang sudah berkontribusi di kampanye pilpres 2019.

Saat ini  kegaduhan politik di akar rumput, konflik sosial, kesenjangan dan ketidakadilan menjadi biang kerok permasalahan bangsa karena lemahnya agenda penegakan hukum. Sehingga, narasi Jokowi yang akan menghajar siapapun yang menghambat investasi justru menimbulkan kecurigaan bahwa Jokowi takut membahas masalah hukum dan HAM demi membela korporasi besar atau pihak-pihak yang sudah berkontribusi di kampanye pilpres 2019.

Memang  investasi yang luas bisa menciptakan lapangan kerja yang juga luas. Namun kenyataannya, selama lima tahun periode pertama Jokowi, penciptaan lapangan kerja kurang terlihat. Beberapa BUMN seperti Krakatau Steel juga justru tidak menguntungkan. Sebagai contoh pembangunan tol dan infrastruktur Jokowi selama ini yang ternyata tidak menguntungkan perusahaan-perusahaan dalam negeri.

Jokowi pernah mengungkapkan janji politik soal membangun Indonesia menjadi negara maritim yang tangguh dan membangun Sumber Daya Manusia (SDM) dengan konsep revolusi mental. Namun saat pidato tempo hari, Jokowi melupakan keduanya. Pada hal seharusnya  visi seorang presiden harus berkelanjutan dan memperkuat apa yang sudah ia lakukan di periode yang sudah ia jalankan.

Lain lagi kritik yang disampaikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga ini menganggap telah  terjadi kesalahpahaman mengenai arti pencegahan korupsi dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo atau Jokowi yang dibacakan pada Jumat, 16 Agustus 2019.

Menurut ICW, pemerintah mestinya tidak mengartikan pencegahan korupsi sama dengan berhenti menangkap pelaku korupsi. “Atau ketika dilakukan penyadapan, orang yang disadap kemudian dilarang melakukan transaksi uang, itu cara pandang yang tidak tepat,” kata peneliti ICW, Donal Fariz dihubungi, Jumat, 16 Agustus 2019.

Sebelumnya, dalam pidatonya Jokowi mengatakan ukuran kinerja para penegak hukum dan HAM harus diubah, termasuk pemberantasan korupsi. Ia mengatakan keberhasilan penegakan hukum bukan hanya diukur dari jumlah kasus dan orang yang dipenjara, namun harus juga dihitung berdasarkan pengembalian aset negara.

Dari pidato itu, Donal menganggap Jokowi menginginkan pemberantasan korupsi yang mengutamakan pencegahan. Namun, menurut Donal, pencegahan korupsi itu bukan cuma tugas penegak hukum atau Komisi Pemberantasan Korupsi, tapi juga tugas pemerintah. Ia menilai peran pemerintah dalam pencegahan korupsi sangat kecil

Sementara itu Politikus Gerindra Fadli Zon  memuji pidato Jokowi yang mengimbau persatuan. Tapi Fadli mengkritik pidato mengenai ekonomi yang dinilai tidak sesuai dengan realitas lapangan."Pidato itu bagus membicarakan persatuan, tapi ekonomi bilang semua positif. Tapi di masyarakat kita harus memeriksa kenyataan di masyarakat," ucapnya.

Fadli mengatakan naiknya tarif dasar listrik sangat memberatkan masyarakat. Dia menuding Jokowi mendapat informasi yang salah mengenai angka pertumbuhan ekonomi."Di masyarakat menderita dan susah, Presiden harus memeriksa kenyataan di masyarakat. Jangan angka saja. Saya itu ke bawah berbeda. Harga listrik naik, dan daya beli kurang," tukas Fadli.

Menanggapi banyak  kritik tersebut, Wakil Ketua TKN Arsul Sani mengatakan, dari sekian banyak misi dan agenda yang terdapat dalam dokumen yang diserahkan kepada KPU pada saat pencapresan, tentu tidak mungkin semua disampaikan untuk pidato yang memang dijadwalkan tidak terlalu lama itu."Tentu dipilih visi misi dan agenda yang pas buat dipidatokan di hadapan para relawan pendukung dan rakyat," ujar Arsul saat dihubungi pada Senin (15/7/2019).

Pidato Jokowi kemarin malam, ujar Arsul, jangan dipahami bahwa pemerintahan lima tahun ke depan hanya melulu akan fokus pada hal-hal yang berbau ekonomi."Tanpa dipidatokan secara khusus tentang penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan penyelesaian kasus HAM berat masa lalu, tidak berarti ketiga hal tersebut tidak akan menjadi agenda kerja prioritas pemerintahan Jokowi-Ma`ruf," ujar Arsul.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang mengatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu tetap akan menjadi prioritas pemerintah lima tahun ke depan. Moeldoko mengakui penyelesaian kasus HAM tidak dibahas secara eksplisit oleh Jokowi dalam pidato Visi Indonesia, namun hal ini bukan berarti dikesampingkan. "Tidak ada upaya, niat untuk abai terhadap persoalan-persoalan itu, tidak. Tolong cara memahaminya," ujar Moeldoko, Senin (15/7/2019).

Narasi  Yang Menggelikan

Salah satu point pidato Jokowi yang cukup mengejutkan tapi sekaligus juga menggelikan adalah terkait dengan pernyataannya tentang kritik. Dalam pidatonya kali ini Presiden Joko Widodo telah meminta semua lembaga dan para penegak hukum untuk tidak alergi terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. “Bagaimanapun kerasnya kritik itu, harus diterima sebagai wujud kepedulian, agar kita bekerja lebih keras lagi memenuhi harapan rakyat,” kata Jokowi.

Sebab, kata Jokowi, kritik yang disampaikan masyarakat merupakan wujud kepedulian warga terhadap lembaga negara dan pemerintah. “Perbedaan bukanlah alasan bagi kita untuk saling membenci, bukan alasan bagi kita untuk saling menghancurkan, atau bahkan saling meniadakan. Jika perbedaan itu kita kelola dalam satu visi besar yang sama, maka akan menjadi kekuatan yang dinamis. Kekuatan untuk mencapai Indonesia Maju," terang Jokowi.

Jokowi bisa saja dalam pidato kenegaraannya mengajak agar institusi pemerintah dan penegak hukum tak anti kritik. Namun, di saat yang bersamaan sejumlah buruh yang ingin menyampaikan aspirasinya didepan Gedung DPR RI  justru ditangkap oleh polisi. Padahal, sejumlah buruh ini hanya ingin menyampaikan aspirasi mereka, yaitu menolak revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) yang dinilai akan merugikan para pekerja.

Mereka sengaja memilih waktu penyampaian aspirasinya  saat Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta. Namun, mereka justru mendapat kekerasan fisik dan verbal dari aparat.  Bahkan sebagian pengunjuk rasa sudah ditangkap polisi sebelum berhasil mencapai pintu depan Gedung DPR/MPR. Mereka diteriaki, diancam, dipukul, dan akhirnya ditangkap hanya karena kekhawatiran polisi. Alhasil aksi penyampaian aspirasi itu malah menjadi aksi pembungkaman.  Pada hal aksi yang dilakukan  sudah sesuai dengan aturan, yakni dengan mengirim pemberitahuan.

Ternyata pidato Jokowi yang menyinggung soal aparat hukum tak boleh alergi kritik, justru memercik muka sendiri. Di depan seluruh media nasional dan ditonton, mungkin ratusan juta masyarakat Indonesia, Jokowi menegaskan kritik adalah hal baik buat pemerintah. Uniknya, ketika kritik itu hendak disampaikan, tapi mereka justru dihadang bahkan ditangkap.

Kejadian di depan Gedung DPR/MPR itu sebenarnya bukan yang pertama terjadi. Banyak kejadian tersaji mengenai bagaimana represifnya aparat menyikapi adanya aksi demostrasi. Sekedar contoh misalnya tindakan represif aparat kepolisian terhadap massa aksi demonstrasi Ikatan Masiswa Muhammadiyah (IMM) saat menyampaikan aspirasi terhadap Presiden Joko Widodo di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (2/3)  tempo hari.

Bukan hanya kelompok masyarakat yang demonstrasi, kiranya sudah banyak pula individu yang ditangkap karena melancarkan kritik dan dianggap menghina  Jokowi selaku presiden RI. Sebutlah diantaranya Ringgo ditangkap umat 18 Agustus 2017 di Medan Timur, Medan. Siswa salah satu SMK di Medan ini telah ditetapkan tersangka setelah menjalani pemeriksaan di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara.

Polisi juga menangkap Jamil Adil karena dianggap telah menghina Presiden dan Kapolri. Dia ditangkap pada 29 Desember 2016, pukul 08.30 WIB . atas tindakannya tersebut. JA sendiri merupakan warga Bantaeng, Jalan Kebon Baru, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara (Jakut).

Ada juga  Ropi Yatsman (36 tahun ) yang ditangkap di Padang, Sumatera Barat, Senin 27 Februari 2017. Dia ditangkap karena diduga mengunggah dan menyebarkan sejumlah konten gambar hasil editan dan tulisan di media sosial bernada ujaran kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah, di antaranya Presiden Joko Widodo.

Beberapa waktu lalu, Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan Yulianus Paonganan, pemilik akun @ypaonganan, sebagai tersangka kasus penyebaran konten pornografi. Yulianus melalui akun Facebook dan juga Twitter miliknya menyebarkan sebuah foto Presiden Joko Widodo yang duduk bersama artis Nikita Mirzani. Selain Yulianus, ada Muhammad Arsyad Assegaf (24). Mabes Polri mengatakan, Muhammad Arsyad alias Imen (24) secara sengaja melakukan penghinaan terhadap presiden Joko Widodo dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri melalui akun facebook.

Seorang wanita bernama  Sri Rahayu juga ditangkap Satgas Patroli Siber Polri di kawasan Cianjur, Jawa Barat, pada Sabtu, 5 Agustus 2017 dini hari. Penangkapan dilakukan terkait sejumlah unggahan Sri yang berbau permusuhan, SARA, dan hoax.Unggahan berupa gambar dan tulisan di akun Facebook Sri ini diketahui berisi beragam konten kebencian. Antara lain konten SARA terhadap Suku Sulawesi dan Ras China, penghinaan terhadap presiden Jokowi.

M Said seorang warga Kelurahan Kamal, Kalideres, Jakarta Barat, ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Ia  ditangkap lantaran mengunggah konten yang diduga mengandung unsur penghinaan terhadap Presiden Jokowi dan Kapolri di akun Facebooknya.

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri juga menangkap Bang Izal. Pelaku dugaan ujaran kebencian kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Pelaku yang diketahui bernama Bang Izal ditangkap pada Kamis 21 Juli 2017. Pelaku mengunggah konten berbau ujaran kebencian itu lewat akun Facebook bernama Faizal Muhamad Tonong.

Kiranya masih sangat panjang deretan orang yang dibui gara gara di anggap mengkritik dan menghina Jokowi. Sehingga ketika ia pidato menyatakan supaya para pejabat tidak anti kritik, pernyataan itu memunculkan rasa geli.

Watak Asli

Penangkapan penangkapan yang terjadi di negeri ini menunjukkan bahwa demokrasi belum begitu baik berjalan, jika diukur seberapa jauh warga negaranya memiliki kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya di muka umum. Indonesia masih kalah jauh dengan India misalnya, dimana soal kebebasan berekspresi dan berpendapat warganya memiliki wajah ramah soal kebebasan.

Bagi yang terbiasa menonton film India, seringkali kita saksikan kritik-kritik yang dialamatkan kepada penguasa, termasuk aparatur negara. Kepolisian India, misalnya, seringkali digambarkan sebagai sosok lembaga korup atau lebih berpihak kepada siapa yang berkuasa. Belum lagi soal kritik lainnya, seperti kritik terhadap kepercayaan dan agama yang tentu bisa kita saksikan di film PK yang tak tanggung-tanggung, kepercayaan terhadap agama betul-betul dikritik secara ramah dan jenaka.

Reformasi memang membawa kepada suasana yang lebih demokratis, sebagaimana yang kita rasakan sejak setelah runtuhnya rezim Orde Baru. Namun akhir akhir ini kebebasan itu terasa mulai menjadi barang langka lagi.

Setelah rezim Jokowi berkuasa, nampaknya ada yang salah dengan eksistensi penguatan negara, dimana kritik menjadi salah satu ancaman yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan sebuah rezim. Belakangan kita tahu, banyak produk undang-undang yang lahir mengarah kepada nuansa anti kritik, sehingga mengganggu penguatan ke arah demokratisasi yang sepanjang rezim sebelumnya justru membaik. Lahirnya UU ITE, Perpu ormas atau UU politik yang menyepakati persentase soal presidential treshold adalah beberapa produk hukum yang sedikit banyak mengekang demokrasi di negeri ini. Semua produk hukum ini banyak yang pada akhirnya dimanfaatkan penguasa untuk menjerat mereka yang kritis terhadap rezim, bahkan tanpa harus menunggu proses hukum, mereka ditangkap dan dipenjarakan.

Aparat dengan mudah menjerat mereka-mereka yang kritis dengan ungkapan "kebencian" atau "penghinaan" yang dianggap mencemarkan atau merugikan pihak lain. Padahal, jika kita bandingkan dengan alam demokrasi semasa rezim SBY, kritik melalui rezim, sudah tak terhitung banyaknya di media sosial. Bahkan, pernah ada demonstrasi yang membawa kerbau bertuliskan "SBY" atau membakar patung "SBY" yang tak pernah dipolisikan oleh penguasa.

Mereka yang melakukan kritik dan ditangkap, bukanlah orang-orang penting yang memiliki sederet privilege kekuasaan atau afiliasi politik. Mereka bahkan orang-orang "kampung"  yang sama sekali tak mengerti soal bagaimana dan apa itu politik. Yang mereka tahu dan rasakan, adalah perasaan mereka akibat disuguhi beragam informasi yang mereka terima, terjadi sebuah ketidakadilan, sehingga mereka harus mengkrtitik sesuai dengan cara mereka sendiri.

Kritik bagi sebuah rezim seharusnya dipahami sebagai sisi lain dari informasi yang diungkapkan warganya, membuka kejelekan dan kebobrokan yang pada akhirnya disadari oleh rezim untuk diperbaiki dan diluruskan. Membungkam ekspresi kebebasan berpendapat sangatlah bertentangan dengan demokrasi, terlebih ketika rakyat berharap banyak terhadap rezim akan sebuah kebebasan dan keadilan dalam berdemokrasi.

Ditengah tengah suasana pengekangan dan anti kritik yang terjadi saat ini, cukup asing di telinga ketika kemudian pemimpin Negara menyuarakan himbauan agar para para penegak hukum  tidak alergi terhadap kritik. Pernyataan yang membuat sebagian orang ketawa ketiwi karena tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Sehingga pernyataan itu lebih dimaknai sebagai ungkapan basa basi untuk menutupi perilaku otoriternya dalam memimpin negeri ini. Kesimpulannya pidato Jokowi kali ini bak kaset rusak yang terus diputar ulang.

 

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar