Mochtar Pabotinggi: Agama Dipolitisasi Bukan Zaman Ahok Saja

Minggu, 18/08/2019 18:29 WIB
Mochtar Pabotinggi (law-justice.co/ Bona Ricki Jeferson Siahaan)

Mochtar Pabotinggi (law-justice.co/ Bona Ricki Jeferson Siahaan)

law-justice.co - Lahir di Bulukumba, Sulawesi, 74 tahun lalu, Mochtar Pabotinggi  masih terlihat bugar dan semangat. “Saya sering olahraga dan berpikir positif, makanya saya selalu bahagia menjalani hidup ini,” katanya sambil tertawa, saat menerima kedatangan law-justice.co di rumahnya.

Di ruang tamunya Mochtar bercerita tentang perjalanan hidupnya, sebagai peneliti yang juga seorang penyair. Kesukaannya membaca, membuatnya selalu merasa ingin tahu dan ingin meningkatkan wawasannya. Bukan hanya itu, dukungan dari orangtuanya juga memberikan pengaruh besar dalam kehidupannya.

Perkenalannya dengan dunia penelitian, saat Mochtar diterima bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1977. Ia adalah lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan Sastra Inggris. Melalui lembaga tempatnya bekerja itulah, Mochtar kesempatan belajar untuknya terbentang luas.  Ia mendapatkan beasiswa pada 1979 untuk mengambil strata dua di Massachsetts, Amerika Serikat. Mochtar juga berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas Hawaii, juga di Amerika Serikat.

Meski pun tekun belajar, dulunya Mochtar ternyata juga seorang aktivis yang sering ikut demonstrasi, khususnya saat peristiwa Malari (1974). “Saya mengenal Hariman Siregar, waktu itu Hariman datang ke Jogja dan disitu saya intens berdialog bahkan menyumbangkan pikiran untuk pergerakan dirinya,” ujar Mochtar mengenang masa mudanya.

Selain di dunia pendidikan dan penelitian, Mochtar juga aktif di bidang jurnalistik. Pengetahuan luas yang dimilikinya  mengantarkan dirinya menjadi redaktur di Mercu Suar, Majalah Titian dan Harian Kami. Ia juga pernah dipercaya menjadi Ketua Seni Budaya Muslim Indonesia di Ujungpandang dan penggiat Teater Gadjah Mada.

Meskipun seorang peneliti, Mochtar memang dikenal juga sebagai penyuka seni. Ia pernah  juara dalam lomba deklamasi se-Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi sutradara dan bermain drama dalam grup Teater Gadjah Mada, membuat puisi, esai, dan cerita pendek.

Karya-karyanya itu dimuat oleh surat kabar Pelopor Yogya, majalah Basis, Horison,Budaya Jawa, Prisma, dan Tempo. Puisinya bahkan sudah dibukukan dalam antologi puisi Tonggak 3, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dimuat dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Images in Indonesian Poetry (1990).

Menurut Mochtar, seni dan politik adalah suatu kesamaan. Memahami politik sama dengan memahami seni, sehingga baginya tak sulit untuk mempelajari bahkan memahami arti keduanya.

Lebih jauh mengenai pandangannya mengenai situasi politik terkini, dan aktivitasnya sebagai penyair, berikut petikan wawancara dengan Mochtar Pabotinggi, yang dilakukan beberapa waktu lalu:

Negeri ini seakan tidak pernah sepi dari gejolak. Apa sebenarnya akar permasalahannya, mengacu pada Pilkada 2017. Waktu itu, Ahok yang memang bisa kerja, tapi justru mati-matian disingkirkan. Begitu juga saat pemilu tahun ini. Kesannya, tidak ada tempat bagi orang yang mau memajukan bangsa ini.

Pertama, negara ini didirikan oleh dan dengan cita-cita yang luar biasa dan sangat luhur. Itu berkat orang-orang muda pada tahun 1908 yang sangat-sangat gigih membaca, itu adalah produk politik etis. Dari situlah kita mendapatkan Pancasila dengan dasar-dasar yang sangat bagus itu, dan itu suatu kenyataan.

Kedua, kita sangat beruntung mempunyai bahasa persatuan, memiliki mayoritas umat Islam yang moderat. Ketiga, kita juga punya bapak-bapak pendiri yang teladan dan bukan orang yang menumpuk harta.

Dari dulu, bangsa kita banyak yang didistorsi, seperti kebudayaan dan politik, dari jaman kolonial. Jadi berpikir warasnya itu menjadi banyak irasionalitas, banyak yang tersimpan. Salah satunya yang irasionalitas itu yang tadi itu, bagaimana agama di politisasi. Tetapi agama yang dipolitisasi itu bukan baru kali ini, bukan jaman Ahok saja, berpuluh tahun lalu juga sudah ada cuma tidak separah itu.

Nah, mengapa pada zaman Ahok itu lebih parah? Karena ada unsur penetrasi paham dari luar, jadi pencekokkan dari luar terhadap fanatisme dan fundamentalisme itu. Tetapi itu pun sebetulnya masih kalah dari pertandingan kekuasaan yang tidak fair dengan memakai cara-cara yang buruk dalam merebut kekuasaan.

Bangsa atau nation adalah hal yang sangat berharga kita miliki.  Bung Karno dan Bung Hatta berhasil menciptakan konsep bangsa yang sangat luar biasa. Yang dimana tidak boleh ada diskriminasi disitu, kita setara disitu, yang rahmatnya seperti udara yang bisa dihirup oleh semua orang. Nasionalisme itu seperti udara yang bisa kita hirup selama hidup kita.

Jadi seperti kasus Ahok kemarin itu, tidak boleh kita mengusung panji-panji primordial di dalam perhelatan bangsa, Ahok itu tidak bersalah dalam kasus itu. Kalau orang mau buka pidatonya saat di Kepulauan Seribu, sama sekali tidak ada, bahkan dia tidak kampanye sebetulnya. “Udah bapak-bapak, ibu-ibu kalau tidak memilih saya ya tidak usah”. Tiga kali dia bilang begitu.

Jadi bukan berkampanye seperti yang dituduhkan. Dan juga betul seperti di dalam persidangan dia katakan, mana pula saya menghina Islam, orangtua angkat saya Islam kok. Kata-katanya jelas  kita bisa lihat, itulah betul-betul namanya post-truth di situ.

Post-truth itu bukan sesuatu yang baru, suatu muslihat lama. Orang yang tidak mau mengakui kebenaran, malah memutar kebenaran itu, dan putaran itu terus dicocor begitu. Menista ini menista ini, padahal sebenarnya tidak menista itu. Jadi itu adalah taktik. Hal tersebut bukanlah hal yang baru, sebelum-sebelumnya para tokoh atau orang besar juga pernah mengalaminya.

Nah, dengan semua itu, saya flashback sedikit, ada faktor yang sangat-sangat salah, yaitu demokrasi terpimpin. Mengapa? Karena dia menghancurkan demokrasi. Padahal Bung Karno ini kan pembentuk nation. Beliau menghancurkan demokrasi dengan cara menghapus pemilihan umum dan mengangkat anggota-anggota DPR tanpa pemilihan umum.

Kerusakan demokrasi terpimpin ini dilanjutkan oleh Soeharto dengan cara yang lebih canggih, tapi sebenarnya sama. Ada pemilihan umum tapi sepenuh-penuhnya direkayasa. Dilitsus, semua disaring oleh Soeharto, siapa yang bisa dan siapa yang tidak bisa. Semua akhirnya terkumpul disitu, terjadilah orde baru itu.

Orde baru adalah orde yang kelihatannya keren, pembangunan dimana-mana tapi sudah rapuh dasarnya itu. Ketika orde baru runtuh karena begitu banyaknya korupsi, begitu banyaknya pelanggaran HAM, tidak ada koreksi.

Apa artinya kita berganti sistem tapi tidak berganti orang. Dengan segala hormat kepada Pak Habibie, tapi dia itu orang Orde Baru,  orang nomor dua.  Nah bagaimana orang nomor dua di Orde Baru, lalu menjadi orang nomor satu reformasi. Bagaimana coba?  Jadilah semua praktek-praktek Orde Baru itu lanjut ke reformasi. Akhirnya kita mendapat limbah sampah banyak sekali di reformasi ini. Karena tidak ada koreksi mendasar sebelumnya.

Jadi kalau KPK ada, tapi di dalamnya ada unsur-unsur yang merusaknya, atau pemerintahan Jokowi, tetapi di dalamnya ada orang-orang Orde Baru, ya memang itu bagiannya. Tetapi sepanjang apa pun dalam tarik tambang itu, saya kok yakin insyaallah barisan kemenangan akan menang. Itu bukan lagi telaah ilmiah tapi suatu keyakinan saja. Itu karena saya percaya terhadap modal-modal bangsa kita itu.

Setiap keyakinan menjadi suatu kebenaran bagi para pemeluknya. Bagaimana menjalankan kehidupan bernegara tetapi juga mematuhi perintah agama, misalnya dalam memilih pemimpin?

Itulah hidup di dunia, harus kita batasi masing-masing. Begini praktisnya, agama itu ajaran-ajaran untuk akhirat tapi ada juga yang tentang dunia, tapi ujung-ujungnya untuk akhirat itu. Yang namanya negara ini, urusan antara kita yang beragam ini pasti bukan agenda akhirat. Kan kita beda-beda pasti agenda dunia saja begitu.

Bagaimana kita bisa sama-sama selamat di dunia, ya saling menghargai, saling membangkitkan, saling memuliakan begitu. Tidak boleh saling menafikkan, apalagi saling membunuh, atau yang lainnya. Dan itu sudah prinsip, kalau kita kaitkan dengan ajaran Islam misalnya, Nabi Muhammad SAW itu sudah langsung berhadapan dengan Yahudi, Kristen juga pada masanya itu.

Bahkan buat perjanjian juga begitu, Piagam Madinah. Kami tidak ganggu kamu, kamu tidak ganggu kita. Kita bela sama-sama, bila ada serangan dari luar. Jadi itu sebenarnya ada dua jalan lurus. Ada jalan lurus agama, dan ada jalan lurus politik.

Politik itu dunia saja. Jalan lurus agama itu, juga biarkan saja, ada tempatnya tersendiri. Kita tidak mungkin menjalankan jalan lurus agama itu dengan baik bila jalan lurus politik kita juga tidak benar. Kita nanti sibuk berkelahi saja, perang saja terus menerus padahal itu kan tidak begitu.

Apa ancaman yang paling krusial bagi bangsa ini? Mereka yang ingin mengganti ideologi atau korupsi yang sudah mengakar?

Saya kira dua-duanya itu,  tidak bisa dikatakan yang mana begitu. Ada persambungan antara keduanya itu.  Pertama, korupsi itu mengakar. Sejak sebelum kemerdekaan,  zaman Belanda itu kita dididik untuk korupsi. VOC itu sarangnya korupsi dan runtuh karena korupsi.

Waktu itu, jika ada yang mau diangkat jadi Bupati, apalagi gubernur jenderal, banyak upeti yang harus disediakan agar lolos.  Jadi korupsi sudah mulai dari situ. Mungkin karena wilayahnya luas atau gajinya di VOC tidak terlalu tinggi, atau mungkin juga karena serakah.

Jadi korupsi itu sudah merajalela waktu itu dan itu terbawa sampai ke kita. Mengapa berjalin karena satu sama lain? Ambil spesialis satu kementerian, yang dikuasai oleh orang Islam, kan dikorupsi itu, untuk dikasih ke umatnya. Jadi bersambung. Ada semacam suatu kewajiban bagi yang menjabat untuk memberi. Semuanya begitu, ya itu tidak betul.

Tapi menurut saya yang paling berbahaya itu sebetulnya, meskipun bersambung,  adalah ideologi. Mengapa ideologi? Karena itu langsung. Kalau kita membawa ke fundamentalisme Islam yang disebut Khilafah, kan tujuannya untuk menghancurkan republik. Menghancurkan demokrasi. Menghancurkan negara dan bangsa.

Bagi Khilafah, buat apa negara bangsa, kita kan Khilafah. Itulah salah satu pemikiran yang sangat-sangat ketinggalan jaman. Karena pada saat itu, orang belum tahu apa yang disebut bangsa. Baru ketika terjadi revolusi industri, orang jadi melihat bangsanya masing-masing.

Nah, bagaimana kita bisa hidup lanjut kalau negara bangsa kita hapuskan. Apa kita bisa hidup dengan orang-orang Islam di Filipina Selatan, di Sri Langka, dan lain-lain, apakah itu bisa? Sama sekali tidak itu. Dulu kan yang berkuasa bisa mengomando secara gampang, tapi sekarang tidak begitu, yang berkuasa sekarang itu rakyat. Rakyat pada tempatnya masing-masing dan mempunyai suara-suara yang berbeda-beda, dan ini semua ingin berdaulat. Kalau dulu kan raja saja yang ingin berdaulat, sekarang kan rakyat yang berdaulat, bagaimana itu bisa Khilafah coba. Itu saja sudah tidak masuk akal.

Dan juga, bagaimana Khilafah? Siapa sekarang yang berhak menyebut dirinya sebagai Khalifah? Jadi ideologi itu macam-macam, tapi ideologi yang sifatnya fundamentalis cuma agama itu yang tidak bisa kita tolerir sama-sama.

Upaya mengganti ideologi di Indonesia terus saja terjadi. Apakah akan berhasil pada akhirnya?

Bukan hanya mengganti ideologi, tapi sudah ingin mengganti negara dari atas dasar modal ideologi. Tapi tidak pernah berhasil kan? Upaya itu memang terus ada, dan hidup terus. Ini terjadi karena ada orang-orang yang membaca buku yang seharusnya tidak mereka baca. Dan sedikit sekali orang mau membaca, apalagi sekarang. Saking banyaknya ini di ponsel, orang merasa lebih pintar padahal sebenarnya makin bodoh. Mengapa makin bodoh? Karena sebenarnya yang masuk ke dalam dunia maya itu kan hanya pecahan-pecahan, fragmen-fragmen saja, tidak utuh.

Beda halnya dengan buku. Buku itu ditulis dengan komprehensif. Dan sedapat mungkin tuntas selesai dibahas itu. Jadi orang yang membaca buku kesimpulannya lebih cerdas daripada orang yang hanya beselancar di dunia maya, berapa pun sering dia membaca di situ.

Misalnya, saya baca satu buku, “Indonesia Menggugat” Bung Karno. Itu saja sudah mantap sekali. Daripada baca bolak-balik yang ada di media sosial. Makin bodoh lagi, kumpulan di grup Whatsapp (WA). Grup WA itu bagai katak dalam tempurung, karena dia hanya mau mendengarkan sendiri.

Makanya saya tidak suka masuk WA grup, kalau ada yang masukin saya, maka langsung saya keluar. Karena saya pikir ngapain masuk disitu. Kan sudah ada email. Ngapain dikelompokkan dan dibicarakan sama-sama, kan terlihat bodoh seperti itu. Kan urusan kita masing-masing beda-beda. WA group itu membodohi masyarakat.

Berarti menurut anda, Indonesia ini darurat membaca?

Ya betul itu, darurat membaca. Sangat-sangat darurat membaca. Justru membaca yang tidak perlu dan membuat orang menjadi aneh-aneh.

Sekarang soal sastra, sejak kapan tertarik dengan dunia sastra khususnya sajak?

Wah, saya dari dulu itu. Pertama kali saya menulis puisi barangkali, atau mungkin cerita pendek. Tapi kegemaran saya membaca sastra. Saya membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka sejak kelas lima SD. Buku-buku yang berat pun sudah  saya baca saat kelas satu SMP. Jadi kecenderungan dalam penguasaan bahasa itu terpengaruh karena kesukaan pada buku-buku.

Nah, puisi, saya tidak pernah membeda-bedakan antara puisi dengan pros. Dua-duanya saya kerjakan. Jadi puisi-puisi saya terbit di tingkat nasional, di Makassar lebih awal lagi yaitu tahun 1958, pada waktu itu saya banyak membuat cerita pendek. Kemudian ketika itu saya mulai menulisi puisi terbit pada tahun 1969, di penerbit berita nasional seperti di Horison dan Basis, keduanya majalah sastra.

Memang ada impuls-impuls keindahan yang mau tidak mau harus puisi, ada impuls-impuls keindahan yang harus prosa. Jadi banyak masing-masing. Ada bagian yang indah sekali tapi tidak bisa diprosakan tapi harus dipuisikan. Ada juga antara keduanya.

Beberapa buku sastra karya Mochtar Pabotinggi (law-justice.co/ Bona Ricki Jeferson Siahaan)

Jadi puisi itu kan kata-kata yang tidak banyak tapi sangat menyentuh. Tapi kalau anda ingin menyampaikan pikiran, tidak bisa lain harus prosa begitu. Ada juga kadang-kadang dimana, suatu pikiran suatu peristiwa yang dituliskan mau tidak mau harus prosa, meskipun itu maksudnya adalah puisi, dan itu bisa.

Misalnya WS Rendra menulis tentang “Aminah”, dia menggambarkan itu, bahasanya bahasa prosa tapi sangat menyentuh, seperti puisi. Ada juga puisi-puisi yang sifatnya sangat halus dan memang tidak bisa disimpulkan, itu abstrak saja begitu. Keindahannya pada keabstrakannya itu, misalnya puisi-puisi Goenawan Mohamad.

Berbeda dengan Rendra, apa yang dikatakannya lewat sajaknya ya begitulah. Misalnya dia mengatakan, “Aku adalah elang rajawali” atau “bersatulah pelacur-pelacur Jakarta” itu kan prosa sekali tapi itu puisi. Itulah Rendra dengan bahasanya yang nakal, tapi berani dan benar.

Bagaimana proses kreatif saat menulis puisi?

Itu bisa spontan. Puisi misalnya bisa selesai dengan satu jam. Tiba-tiba saja, mengalir. Ilham itu bisa datang sekaligus. Tapi itu langka sebetulnya. Yang sering itu, harus dibuat berulang-ulang. Puisi itu, katakanlah paling tidak 70% itu harus dikerjakan berulang-ulang.

Satu puisi ditulis berapa kali begitu, dan tidak ada batas. Dan ilham atau kata-kata bagus itu tidak sekaligus. Tapi yang paling penting dari semua itu, potret besarnya sudah ada. Ada potret yang sekaligus ada kata-katanya, ada potret yang masih abstrak. Itu yang kita harus kerjakan agak lama.

Konsierto di Kyoto diterbitkan pada tahun 2015. Hingga kini belum ada lagi buku puisi baru yang diterbitkan. Ada rencana untuk menerbitkan buku baru?

Ada rencana tapi belum. Saya baru menyelesaikan puisi yang panjang sekali. Itu tentang perjuangan rakyat Palestina. Saya sangat berharap itu dapat dimuat. Waktu itu saya kirim ke Kompas tapi tidak bisa memuatnya, mungkin karena terlalu panjang ya, jadi saya harus cari yang lain.

Isinya mengenai keberpihakan orang Palestina. Sangat bagus  dan itu bersemai dalam jiwa saya ketika itu. Tentang seorang martir muda yang tewas dilintas oleh buldoser Israel. Ketika buldoser itu hendak menghancurkan rumah-rumah Palestina. Pemuda itu berdiri ditengah-tengah tidak mau minggir lalu diinjak oleh buldoser. Buldoser itu kan menghancurkan rumah-rumah karena ingin membuat pemukiman Israel. Itu saya tulis dan saya mudah-mudahan ada berkah dari Allah.

Ini bukan soal menghujat orang Yahudi, tapi tentang ketidakadilan. Saya juga mengatakan orang-orang Yahudi juga menerima siksaan yang luar biasa, penderitaan yang luar biasa jama Nazi, Holocaust sangat luar biasa. Tapi juga itu bukan kartu yang bebas untuk melakukan kepada orang lain. Jadi itu pesan dari puisi itu disitu. Saya terangkan juga bagaimana orang-orang Yahudi menderita, simpati saya juga kepada orang-orang Yahudi.

Kenapa saya menulis itu, karena saya ingin negara itu pada akhirnya menjadi satu. Dua negara itu mustahil, tanah yang sempit itu menampung orang yang besar. Jadi satu negara yang setara. Seperti cita-cita Indonesia kan begitu, kita kan tahu banyak orang-orang yang masih terdiskriminasi dan kita ingin mereka juga merasa satu dengan kita. Kalau kita hanya mau bersatu dengan kalangan kita, berarti mengingkari kemanusiaan mereka.

 

 

 

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar