Prabowo Ingin UUD 1945 Asli, Berikut Penjelasan Fadli Zon

Minggu, 18/08/2019 14:29 WIB
Fadli Zon dan Prabowo Subianto (Beritao.com)

Fadli Zon dan Prabowo Subianto (Beritao.com)

Jakarta, law-justice.co - Gerindra menegaskan ingin mengembalikan sistem kenegaraan sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara 1945 versi asli.

Hal itu diungkapkan oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto belakangan ini. Apakah dengan demikian MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara seperti dulu?

Melansir Detik.com, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menjelaskan, UUD `45 yang asli perlu dikembalikan, karena kini UUD `45 sudah mengalami empat amendemen sejak 1999 hingga 2002.

"Yang asli itu adalah yang sesuai dengan 18 Agustus 1945," kata Fadli kepada wartawan, Sabtu (17/8/1945).

Tanggal yang disebut Fadli adalah saat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD `45. Fadli ingin naskah bersejarah UUD `45 dikembalikan, soalnya amendemen UUD usai reformasi dinilainya telah mengandung upaya liberalisasi ekonomi Indonesia.

"Ya pokoknya kita ingin UUD 1945 yang asli rohnya harus dikembalikan. Karena, konstitusi kita saat amandemen semangatnya adalah meliberalisasi konstitusi kita. Ekonomi kita mau dibikin ekonomi liberal," ujar Fadli.

Dulu, MPR merupakan lembaga tertinggi negara. Presiden bertanggung jawab ke MPR. Namun sejak 2004, yakni sejak presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bukan dipilih MPR, presiden tak lagi bertanggung jawab ke MPR. Apakah Gerindra ingin mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi negara?

"Tidak harus. Tapi kalau kita sepakati bersama juga tidak ada masalah. Sebenarnya dulu juga maksudnya begitu, kan permusyawaratan perwakilan," kata Fadli yang juga Wakil Ketua DPR ini.

Dulu, GBHN produk MPR harus dilaksanakan presiden, karena presiden adalah mandataris MPR. Bila presiden tidak menjalankan GBHN maka presiden bisa dimintai pertanggungjawabannya oleh MPR. Presiden bisa kena pemakzulan.

Gerindra setuju dengan upaya dihidupkannya kembali GBHN. Namun bukan berarti nanti presiden mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN-nya ke MPR, karena presiden kini sudah tak lagi dipilih MPR. Soal pertanggungjawaban presiden terhadap GBHN, itu perlu dibahas dalam amandemen.

"Ya itu harus kita pikirkan bersama. Kalau meletakkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara lagi tentu ada sanksinya, diterima atau ditolak laporan presiden itu. Tapi kalau MPR bukan lembaga tinggi ya saya kira itu adalah bagian dari mekanisme pengawasan dan kontrol," kata Fadli Zon.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar