Jokowi Mulai Khawatir dengan Pergerakan Mata Uang China

Minggu, 18/08/2019 06:28 WIB
Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (Breakingnews.co.id)

Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (Breakingnews.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Dalam rapat terbatas dengan para menteri Kabinet Kerja, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai menunjukkan kekhawatirannya terhadap pergerakan mata uang yuan China yang terus didevaluasi oleh bank sentralnya (People`s Bank of China/PBoC).

Selasa pekan lalu, usai rapat terbatas di Kantor Presiden, Jokowi mengumpulkan jajaran Menteri Ekonomi dan pemangku kepentingan terkait di Istana Merdeka untuk membahas hal tersebut.

Deretan menteri yang hadir yakni Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, hingga Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto.

Tak hanya itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pun hadir dalam rapat yang berlangsung kurang lebih selama 2 jam itu.

Melansir CNBC dan Washington Post, Rabu lalu (14/8/2019), sebelum Jokowi, dunia usaha sudah terlebih dahulu khawatir akan pelemahan yuan. China akan memiliki keunggulan kompetitif, produknya menjadi lebih murah, dan Indonesia bisa kebanjiran barang "Made in China" akibat impor yang berpotensi meningkat.

PBoC di awal pekan lalu secara mengejutkan mendevaluasi yuan hingga ke level terlemah lebih dari satu dekade melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Meski banyak yang mengecam langkah tersebut, bahkan China sudah diberi label "Manipulator Mata Uang" oleh Pemerintah AS, tetapi pemerintah Tiongkok dan PBoC "membisu". Malah PBoC secara konsisten melemahkan nilai tukar yuan, dan hari ini menetapkan nilai tengah di level 7,0362/US$ lebih lemah dari kemarin 7,0136/US$ (terlemah sejak Maret 2008).

Sebagai informasi PBoC setiap hari menetapkan nilai tengah yuan terhadap dolar AS, dan membiarkannya melemah atau menguat maksimal 2% dari nilai tengah.

Bahaya Currency War Bagi Indonesia

Devaluasi renminbi (nama lain yuan) oleh PBoC juga berdampak terhadap nilai tukar mata uang tersebut terhadap rupiah. Yuan pada pekan lalu menyentuh level terlemah dua tahun melawan rupiah.

Nilai tukar yuan yang murah tentunya bisa memicu peningkatan permintaan impor, dalam kasus ini neraca perdagangan Indonesia pertaruhannya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Pada semester I-2019, impor non-migas asal China tercatat US$ 20,63 miliar dengan kontribusi 28,91% dari total impor Indonesia.

Jika defisit neraca perdagangan membengkak, maka akan sulit untuk menekan defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian Indonesia.

Pada kuartal II-2019, CAD menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.

CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB.

Meningkatnya impor akibat rendahnya nilai tukar yuan tentunya akan menyulitkan untuk menekan CAD kembali ke bawah 3% dari PDB.

Tidak hanya itu, Amerika Serikat kini kemungkinan akan bertindak, jika Pemerintah Washington ikut mendevaluasi dolar AS maka currency war atau perang mata uang akan resmi terjadi.

Potensi terjadinya currency war sudah menjadi perhatian sejak pekan lalu, pergerakan mata uang yen Jepang yang terus menguat menjadi indikasinya.

"Penguatan yen yang sedang berlangsung saat ini merupakan sinyal lain dari pergeseran sentimen terhadap dolar AS yang akan segera melemah, terutama jika kekhawatiran `intervensi` (dari AS) menjadi menjadi semakin nyata" kata John Marley, konsultan forex di SmartCurrenyBusiness.

Berbeda dengan yen yang dianggap aset aman atau safe haven, rupiah merupakan mata uang emerging market memberikan imbal hasil tinggi, tetapi sama dengan risiko yang dimiliki.

Ketika Pemerintah AS benar mendevaluasi nilai tukar dolar AS, rupiah belum tentu bisa menguat melawan mata uang Paman Sam, ada kemungkinan malah akan semakin melemah.

Currency war dianggap dapat semakin menghambat roda perekonomian global yang sedang melambat, sehingga pelaku pasar akan melakukan risk aversion dengan keluar dari negara emerging market dan mengalihkan investasinya ke aset safe haven. Skenario tersebut tentunya membuat nilai tukar rupiah akan semakin jeblok.

Dampak paling buruk dari currency war adalah kemungkinan terjadinya Depresi Besar (Great Depression) seperti yang terjadi pada tahun 1930an di AS.

Profesor ekonomi di Cornell University, Stephen Charles Kyle, mengatakan potensi kenaikan tarif impor dan depresiasi mata uang mempercepat langkah ekonomi memasuki Great Depression pada tahun 1930an.

"Kita bahkan tidak ingin berada pada langkah awal di jalur ini. Inilah yang persis terjadi saat Great Depression 1930: setiap negara menaikkan tarif impor, dan bersaing dengan mitra dagangnya dengan mendepresiasi nilai tukar mata uangnya. Beberapa tahun setelahnya, berdagangan global hampir berhenti total" kata Kyle.

Jadi pantas jika pemerintah mulai khawatir dengan sikap China yang "sedikit bicara banyak bekerja" mendevaluasi yuan.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar