Ironi Bintang Jasa Diobral, Justru Jatuh Pada Orang Tak Berjasa

Minggu, 18/08/2019 05:30 WIB
Berjasa Kepada Negara, Presiden Jokowi Anugerahkan Tanda Jasa Kehormatan (Warta Kota)

Berjasa Kepada Negara, Presiden Jokowi Anugerahkan Tanda Jasa Kehormatan (Warta Kota)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Joko Widodo memberikan bintang tanda kehormatan  kepada 29 tokoh yang dianggap sudah banyak berjasa kepada bangsa dan negara. Pemberian tanda kehormatan berlangsung di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/8/2019). Penghargaan ini diberikan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-74 RI.

Pemberian tanda jasa kehormatan ini merupakan hasil persetujuan sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (Dewan GTK) periode Agustus 2019. Di antara 29 penerima penghargaan yang diberikan Presiden Jokowi di Istana Negara kemarin, sekitar dua pertiga adalah pejabat atau bekas pejabat dan istri bekas pejabat. Cuma beberapa orang saja yang memang rakyat biasa yang tahun ini menerima tanda jasa, bintang, atau tanda kehormatan.

Ironisnya di tengah proses penegakan hukum yang jalan di tempat dan mencari keadilan sangat sulit diperoleh di negeri ini, justru ada 10 orang bekas pejabat dan pejabat penegak hukum yang mendapat bintang tanda kehormatan. Mulai dari mantan Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Agung, Wakil Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda dan lain-lain.

Namun di antara mantan pimpinan Mahkamah Agung tersebut, justru nama mantan Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkostar tidak memperoleh bintang penghargaan. Padahal Artidjo adalah satu-satunya Hakim Agung yang menjadi momok para koruptor di Indonesia karena dalam putusannya selalu memperberat hukuman para pencuri uang negara ini.

Wajar saja jika rakyat mempertanyakan apa kriteria yang diambil pemerintah dalam memberikan tanda bintang kehormatan ini. Rakyat mengingatkan agar pemerintah jangan mengobral dan selektif dalam memberikan gelar dan tanda jasa. Pemerintah harus memberikan tanda jasa itu kepada pihak yang benar-benar berprestasi dan berintegritas.

Patut diingatkan agar pemerintah menjaga perasaan publik dalam memberikan gelar dan tanda jasa.“Jangan sampai muncul pertanyaan dan sorotan publik. Dasarnya harus berpijak pada common sense dan publik juga jangan sampai negatif menilainya”.

Sebagai contoh pemberian bintang jasa kepada pengusaha hutan Prajogo Pangestu. pengusaha yang sukses merambah hutan Indonesia selama puluhan tahun di jaman Suharto yang membuat rusak hutan Indonesia, justru diganjar dengan penghargaan. Pemberian bintang jasa terhadap Prajogo sebagai tindakan yang menunjukkan Presiden Jokowi tidak sensitif dan kecolongan.

Pemberian bintang jasa merupakan hak prerogatif Presiden. “Karena ini hak prerogatif, konsekuensinya jadi subyektif dan personal. Publik tidak bisa intervensi. Tapi pemberian bintang atau tanda jasa menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik ini akan menjadi rutinitas belaka bila tak selektif seperti yang terjadi sekarang.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebetulnya tak mensyaratkan penerima anugerah harus berasal dari pejabat atau bekas pejabat. Kriteria penerima setiap jenis penghargaan itu pun sudah amat jelas dan berlaku bagi siapa saja asalkan berjasa terhadap negara. Tapi, anehnya, sebagian besar penerima penghargaan kali ini berasal dari kalangan penguasa atau pernah berkuasa serta pengusaha bermasalah pada era yang lalu.

Dengan kata lain, para pejabat dan istri mereka dianggap paling berjasa terhadap negara kita selama ini. Kalau logika ini diikuti, berarti banyak sekali pengabdian, prestasi, dan pengorbanan yang mereka berikan sehingga membuat negeri ini menjadi lebih baik. Sebagian publik tentu tak setuju dengan asumsi ini, karena banyak indikasi justru menunjukkan pengelolaan negara ini amat semrawut. Korupsi juga tetap merajalela. Sebagian pejabat atau bekas pejabat bukannya berjasa, melainkan malah menjadi benalu bagi negara.

Walaupun para pejabat dan istri mereka berhak menerima penghargaan itu. Tapi seharusnya mereka telah menunjukkan prestasi yang luar biasa. Syarat lain, mestinya pula figur yang dianggap sebagai putra atau putri terbaik bangsa ini juga telah teruji integritasnya. Tidaklah pantas sosok yang diindikasikan pernah bermasalah saat berkuasa, justru yang mendapat penghargaan dari negara.

Pemilihan penerima penghargaan bisa dilakukan lebih obyektif bila mekanisme seleksinya diperbaiki. Ini harus dimulai sejak penentuan anggota Dewan Gelar yang akan menyeleksi calon penerima penghargaan. Sesuai dengan undang-undang, anggota dewan ini berasal antara lain dari unsur militer dan tokoh masyarakat. Figur yang masuk ke dewan ini jelas amat menentukan orang-orang yang diusulkan untuk menerima penghargaan.

Jika Dewan Gelar dan pemerintah mau bekerja serius, tidaklah sulit mencari figur yang benar-benar berjasa bagi bangsa ini. Mereka tidak harus memegang jabatan penting untuk berprestasi dan mempunyai sumbangan besar untuk negara kita. Di luar pejabat, banyak sekali orang tak dikenal di negeri ini yang berjasa besar dalam bidang yang mereka geluti. Sebagian dari mereka bahkan lebih tulus pengorbanannya dan lebih layak diteladani daripada sebagian besar pejabat kita.

Mudah-mudahan tahun depan tidak ada lagi orang atau pejabat yang bermasalah tapi justru mendapat penghargaan. Saatmya stop obral penghargaan dan bintang jasa jika hanya sekadar basa-basi untuk menyenangkan hati seorang atau sekelompok pihak saja. Kalau tetap tidak ada perubahan, burung Garuda terus meneteskan air mata sebab bintang diobral habis dan jatuh justru pada orang yang tidak berjasa kepada bangsa dan negara..

(Roy T Pakpahan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar