Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN

Ironi Mobil Listrik, Saya Menyesal, Maafkan Saya

Selasa, 13/08/2019 17:56 WIB
Insinyur Ricky Elson dan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan (Final Frontier Blog)

Insinyur Ricky Elson dan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan (Final Frontier Blog)

Jakarta, law-justice.co - Kejadian seperti ribut-ribut karena polusi udara semakin buruk hingga berujung promosi bus listrik assembling asing, mengingatkan kita pada peristiwa tujuh tahun lalu.

Bila saja sejak tujuh tahun lalu Indonesia sudah bersedia mengakomodasi ide Dahlan Iskan dan Ricky Elson maka saat ini Indonesia sudah menjadi salah satu negara produsen mobil listrik dunia, bersaing dengan semua negara produsen kendaraan listrik lainnya.

Mengapa?

Karena tujuh tahun lalu produsen kendaraan listrik dunia masih dalam tahap uji coba dan belum ada negara atau merek tertentu yang mendominasi di segmen ini.

Mungkin bila proyek ini diteruskan dan dikembangkan lebih lanjut oleh rezim pengganti maka dengan bangga sambil menegakan dagu kita berani berkata... I Love Indonesia... dan menempelkan logo “Made in Indonesia di kendaraan listrik produk dalam negeri, sebagai kendaraan masa depan.

Faktanya, sang penggagas mobil listrik di Indonesia disingkirkan oleh “tangan tangan ajaib”. Tenaga ahlinya cuma bisa menyingkir dari hiruk pikuk pembangunan negeri.

Dahlan Iskan membusuk di penjara. Ricky Elson, anak muda, tenaga ahli dunia di bidang motor penggerak listrik, pemegang 14 paten dunia, menyingkir dari keramaian kota.

Sang  pembuat mobil listrik dalam negeri Tuxuci dan Selo, juga pembuat turbin angin Penari Langit – 100 turbin PLTB (Pusat Listrik Tenaga Bayu) di Pulau Sumba, kini menetap di Ciheras, satu desa pelosok di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, hanya  beternak domba sambil mengamalkan ilmunya sejauh yang ia bisa kepada anak anak muda yang tertarik berguru dan mendalami ilmunya.

Mimpi kembali ke Jepang, kembali ke kehidupan mapan, tempat di mana dia menimba ilmu hingga dihargai dan dipakai kalangan pembisnis Jepang, telah di kuburnya.

Sayang, potensi besar yang dimiliki bangsa untuk kemajuan negeri harus disia-siakan begitu saja.

Pasar hilang, tenaga ahlinya yang tadinya sengaja direkrut, dipanggil pulang untuk mengabdi, kini hanya terbuang percuma.

Kini, Indonesia berencana mengimpor mobil mobil listrik dari Eropa dan China.

Baik sebagai kendaraan umum maupun pribadi sebagai kendaraan masa depan.

Pertanyaan yang selalu mengangguku...

Apakah bangsa ini memang masih suka menjadi bangsa "kuli atau pesuruh?"

Apakah mental-mental inlander yang masih melekat pada sebagian kehidupan bangsa ini tetap disuburkan

Mengapa lebih bangga menggunakan produk-produk asing daripada mendukung, mengembangkan ilmu dan teknologi dalam negeri yang sudah dimiliki?

Bahkan, saat ada anak bangsa yang menonjol, dengan Garuda melekat erat di dadanya maka ada saja yang berusaha mencari cari kesalahan untuk menjatuhkan sosok itu.

Sementara di sisi lain menimang nimang sosok yang hanya bisa menjilat, memuji untuk menggolkan kepentingan pribadi.

Garang kepada bangsa sendiri, tetapi jadi "ayam sayur" saat menghadapi asing yang berusaha menjajah ekonomi negeri...

Sampai kapan akan demikian?

Bahkan, saya yang merekrut Ricky Elson pun menyesalinya dalam blog Dahlan Iskan.net

Main-Main Nasib Ahli Yang Mahal

Manufacturing Hope 123

Saya merasa bersalah.
Salah besar. Terutama kepada anak muda yang hebat ini:
Ricky Elson.

Dia sudah enak hidup di Jepang. Sekolahnya pintar dan setelah lulus pun langsung diminta untuk bekerja di perusahaan besar di sana.

Gajinya bagus dan karirnya melejit. Perusahaan itu juga memberikan lapangan yang luas yang bisa dia pakai untuk berkiprah.

Ricky Elson menemukan banyak inovasi berkelas dunia...!!!

Selama bekerja di Jepang dia berhasil mematenkan 14 penemuan di lembaga paten di Jepang.

Terutama di bidang motor listrik.

Anak yang begitu lulus SMA di Padang ini langsung sekolah di Jepang, menjadi anak emas di sana

Kesalahan saya adalah memintanya pulang ke Indonesia. Untuk mengabdi ke bangsa sendiri. Cukuplah mengabdi 14 tahun untuk bangsa Jepang.

Di berbagai kampus universitas kita, saya memang sering mendengar teriakan mahasiswa seperti ini: mengapa tidak diusahakan memanggil pulang anak-anak bangsa yang hebat-hebat yang kini di luar negeri...!!!

Terakhir suara seperti itu saya dengar waktu dialog dengan mahasiswa Politeknik Negeri Denpasar, dan saat dialog dengan mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Purwokerto dua minggu lalu.

Pertanyaan seperti itu juga disuarakan banyak kalangan, di berbagai kesempatan.

Tentu saya mencoba untuk realistis.

Jangan semua anak kita yang hebat dipanggil pulang.

Panggil lah yang benar-benar diperlukan untuk proyek mendesak yang bisa mengeluarkan bangsa ini dari
kesulitan.

Saya melihat bangsa ini lagi terbelit masalah besar.

Yang belum menemukan jalan keluarnya yang jelas.

Yakni persoalan ketergantungan bangsa ini pada bahan bakar minyak (BBM) impor.

Kian lama impor BBM kita kian besar.
 
Dan akan kian besar.

Salah satu solusi yang saya lihat adalah mobil listrik.

Bukan karena saya ahli mobil listrik, melainkan begitulah pendapat para ahli di seluruh dunia. Kalau kita terlambat mengembangkanya, maka  kita akan terantuk kedalam lubang untuk kedua kalinya.

Mobil-mobil listrik buatan asing akan membanjiri Indonesia dalam 15 tahun ke depan.

Maka saya merayu Ricky untuk pulang. Memang dia semula menolak.

Gajinya akan turun drastis.
Dia sudah menikah. Perempuan Padang juga.
Dia sudah harus bertanggungjawab pada keluarga.

Tapi alasan penolakan terbesarnya adalah ini:

-Apakah saya akan berarti?
-Apakah saya akan mendapatkan keleluasaan untuk mencipta?
-Apakah pemerintah indonesia akan memberikan dukungan?
-Apakah proyek itu benar-benar akan bisa jalan?

Dan banyak pertanyaan yang sifatnya jauh dari urusan uang seperti itu...

Soal gaji yang akan turun, saya bisa mencarikan jalan keluar.
Biarlah seluruh gaji saya sebagai menteri dialah yang menerima.
Setiap bulan.

Tapi soal jaminan kelangsungan proyek saya sulit memberikan. Kecuali bahwa saya akan ikut all out. Termasuk membiayai seluruh pembuatan mobil-mobil listrik proto type.

Ricky memenuhi komitmennya.

Membuat mobil listrik 100 persen made in Indonesia.

Dia juga berhasil membina tenaga-tenaga ahli di Pindad persero, agar bisa membuat bagian yang paling sulit dari mobil listrik:
Yaitu motor listrik.

Tapi nasib mobil listrik kini kian tidak jelas.
Aturan tentang mobil listrik tidak segera keluar.

Sikap Bapak Presiden sendiri sudah sangat jelas: Berikan dukungan yang maksimal untuk mobil listrik. Nyatanya sulitnya bukan main...

Kini Ricky menganggur di Indonesia.
Dia seperti harus menunggu Godot.

Maka dia mulai merasa hidup sia-sia.
Dia ingin kembali ke Jepang.

Dia tidak berani mengatakannya langsung kepada saya, tapi dari beberapa tulisan tentang Ricky di Kompasiana saya bisa merasakan dukanya yang sangat mendalam.

Bahkan salah seorang temannya di Jepang meledeknya dengan kalimat ini:

Sudah puaskah Anda hanya main-main saja di Indonesia?

Saya merasa bersalah.
Saya tidak akan mampu menahannya.
Terutama karena masa depannya yang tidak boleh dikorbankan dengan sia sia di tanah airnya sendiri, Indonesia..

Ricky sebenarnya sangat ideal bagi saya.
Selama hampir dua tahun di Indonesia dia kerja teramat sangat keras.

Sama sekali tidak menonjolkan diri sebagai seorang ahli.
Dia sangat ringan kaki.
Mau terjun langsung ke bawah dan mengurus hal yang sangat detail.

Dia tidak segan-segan ikut angkat-angkat barang.

Dia mau membina dan mengajar secara telaten dan sistematis.
Seperti mempraktikkan dan menularkan ilmu yang dia peroleh selama di Jepang.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar