Separuh dari Total Titik Panas Karhutla Ada di Lahan Perusahaan

Jum'at, 02/08/2019 14:02 WIB
Ilustrasi Kebakaran Hutan dan Lahan. (Foto: datariau.com)

Ilustrasi Kebakaran Hutan dan Lahan. (Foto: datariau.com)

Jakarta, law-justice.co - Separuh dari total titik panas dalam kebakaran hutan dan lahan tujuh bulan belakangan, ada di lahan konsesi perusahaan.

Data organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat sebanyak 2.087 dari 4.258 titik panas atau hotspot sepanjang Januari-Juli 2019 berada di lahan konsesi.

Wilayah konsesi merupakan lahan yang diberikan hak atau izinnya oleh pemerintah kepada perusahaan atau instansi lainnya.

"Dari Januari hingga Juli 2019 secara nasional tercatat 4.258 titik panas, 2.087 di antaranya berada di kawasan konsesi dan KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut)," papar Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Kelas Walhi Wahyu A Perdana di kantor Walhi, Jakarta Selatan pada Kamis (1/8/2019) dilansir CNN Indonesia.

Di kawasan konsensi itu, lanjut Wahyu, tercatat ada 613 perusahaan yang beroperasi di KHG.

Diketahui Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) sebelumnya mencatat delapan daerah telah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Status siaga ditetapkan akibat ancaman kekeringan dengan risiko sedang hingga tinggi di 2019 ini.

Direktur Kajian Hukum Walhi, Boy Even Sembiring mengatakan harus ada sikap tegas pemerintah yang bisa meninjau ulang atau me-review izin konsesi lahan yang terbakar. Ia juga meminta agar pemerintah bisa mencabut izin konsesi bagi lahan yang sudah berulang kali terbakar.

Sebab menurutnya ada izin yang diterbitkan tidak sesuai dengan karakter lahan.

"Dia berada di ekosistem gambut, kedua, dia berada di ekosistem khusus yang rawan mengakibatkan bencana ekologi," kata Boy di tempat yang sama.

"Seharusnya pemerintah melakukan review. Sesuai tidak perizinan-perizinan yang terbit saat ini dengan kriterianya," jelasnya.

Boy mengatakan penegakan hukum terhadap perizinan yang tidak sesuai tersebut selama ini hanya menggunakan pendekatan kompromis. Sehingga tidak menimbulkan sanksi tegas dan efek jera terhadap pemilik izin yang lalai termasuk juga perusahaan-perusahaan swasta pemilik izin.

Ia lantas mengatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Pertanahan Nasional sebetulnya memiliki wewenang untuk meninjau izin tersebut.

"Pemerintah daerah sebagai penerbit izin dianggap enggak mampu mengawasi, mengontrol jalannya perizinan dengan baik, itu kan bisa ditake-over tuh sama menterinya. Nah jadi menteri LHK punya peranan kunci sebenarnya sama Badan Pertanahan Nasional," jelas dia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar