Dibalik kebijakan impor gila-gilaan (Tulisan-2)

Gerilya Mafia Garam Dibalik Vonis Bebas KPPU

Kamis, 01/08/2019 15:22 WIB
KPPU vonis bebas kartel garam (ilustrasi: Merdeka)

KPPU vonis bebas kartel garam (ilustrasi: Merdeka)

Jakarta, law-justice.co - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada akhirnnya memvonis bebas tujuh perusahaan importir garam yang diduga telah melakukan upaya pengaturan harga garam selama periode 2015-2016. Putusan tersebut menimbulkan tanda tanya karena KPPU sendiri yang menjadi pihak pelapor.

Pada akhir 2018, tim investigator KPPU memutuskan untuk menyelidiki dugaan kartel garam yang dilakukan tujuh perusahaan importir, yakni PT Garindro Sejahtera Abadi, PT Susanti Megah, PT Niaga Garam Cemerlang, PT Unichem Candi Indonesia, PT Cheetham Garam Indonesia, PT Budiono Madura Bangun Persada, dan PT Sumatraco Langgeng Makmur.

Investigator Utama KPPU Noor Rofieq mengatakan, pemeriksaan dugaan kartel garam dilakukan karena lembaganya menemukan ketidakberesan dalam proses impor yang dilakukan tujuh importir tersebut. Ketidakberesan itu, salah satunya terlihat dari proses pengajuan impor garam tujuh importir tersebut yang disodorkan secara bersama-sama. Secara aturan, impor tidak bisa diajukan secara bersama atau melalui kesepakatan, melainkan diajukan masing-masing pelaku usaha.

Ketujuh perusahaan itu diduga telah melakukan upaya kartel sehingga harga garam industri aneka pangan (NaCl 97 persen) melambung tinggi, naik 80 persen sampai 115 persen dari harga pokok produksi. Kenaikan harga tersebut karena kelangkaan pasokan garam.

Selain itu, kenaikan harga ditengarai karena adanya upaya kongsi ketujuh perusahaan tersebut saat mengajukan izin impor garam kepada Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan pada tahun 2015. Izin impor diajukan secara bersamaan setelah mereka melakukan petemuan yang difasilitasi oleh Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI).

Karena adanya pertemuan itu, KPPU menilai ketujuh perusahaan tersebut telah berupaya melakukan kartel garam: mengatur pasokan dan mempengaruhi harga pasar. Tindakan tersebut melanggar pasal Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

 

Petani garam Cirebon (foto: Liputan6)

Setelah melakukan proses penyelidikan yang panjang, dimana sidang pemeriksaan pendahuluan perkara No. 9/KPPU-I/2018 ini dimulai pada tanggal 11 Desember 2018, KPPU membuat keputusan pada senin (29/7/2019) malam.

Pembacaan putusan semula dijadwalkan pukul 15.30 WIB. Awak media sejak pukul 14.00 WIB sudah memenuhi ruang Media Center di KPPU. Juru bicara dan komisioner KPPU Guntur Saragih mengatakan kepada media bahwa pembacaan putusan bakal dilakukan tepat waktu, sehingga para wartawan bisa langsung menuju ruang sidang.

Saat media hendak masuk ruang sidang, mendadak diberitahukan bahwa jadwal pembacaan putusan mundur menjadi pukul 19.00 WIB. Sidang akhirnya baru dimulai pada pukul 20.30 WIB dan berakhir pukul 23.00 WIB.

"Menimbang bahwa berdasarkan penilaian, analisis, dan kesimpulan serta melihat pasal 43 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 1999, Majelis Komisi memutuskan menyatakan bahwa terlapor 1, terlapor 2, terlapor 3, terlapor 4, terlapor 5, terlapor 6, dsn terlapor 7 tidak terbukti melanggar pasal 11 UU Nomor 5 tahun 1999," kata Ketua Majelis Komisi Dinnie Melanie saat membacakan putusan perkara di ruang sidang KPPU.

Dalam sidang pembacaan putusan, Dinnie didampingi oleh dua anggota majelis, yaitu Guntur Saragih dan Yudi Hidayat.

Saat dikonfirmasi oleh Law-justice.co, Guntur mengatakan, putusan tidak bersalah terhadap tujuh perusahaan tersebut hanya karena satu unsur yang tidak terbukti, yakni tentang pengaturan harga secara bersama-sama oleh para terlapor. Selama proses persidangan, KPPU tidak menemukan bukti adanya kenaikan harga secara signifikan, sehingga tidak terjadi praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat akibat dari pengaturan produksi yang dilakukan oleh ketujuh perusahaan tersebut.

“Tindakan (mengarah) pada kartel itu ada, tapi satu unsur tentang mempengaruhi harga itu yang tidak terpenuhi. Sementara yang jadi perkara adalah tentang pengaturan harga. Untuk unsur-unsur lainnya terpenuhi,” ucap Guntur, Rabu (31/7/2019).

 

Sidang dugaan kartel perdagangan garam industri (foto: Gatra)

Dalam putusannya, KPPU berkesimpulan bahwa ada kesepakatan tertulis antar ketujuh perusahaan tersebut pada tanggal 27 Mei 2015, tentang jumlah kuota impor yang ingin diajukan kepada pemerintah. Berdasarkan surat AIPGI Nomor 36 tanggal 8 Juni 2015, kuota impor yang diajukan pada tahun 2015 adalah 397.208 ton.

Jumlah kuota impor tersebut, berdasarkan daftar konsumen yang menjadi lampiran dalam pengajuan impor yang disampaikan ke Kementerian Perindustrian, tidak melalui perhitungan yang riil dan akurat karena terbukti tidak sesuai dengan realisasinya.

“Tapi yang namanya kartel itu kan sebuah kesepakatan bersama untuk menaikkan harga. Kami menilai bahwasanya keniakan harga tersebut tidak dilakukan secara bersama-sama. Kedua, tidak semuanya menaikkan harga. Ketiga, kalaupun ada kenaikan harga, majelis menganggap itu sebagai sesuatu yang wajar karena memang ada faktor inflasi. Jadi kenaikan harga itu menjadi suatu keniscayaan yang normal,” tutur Guntur.

Keputusan tersebut tidak bulat, karena anggota majelis sidang Yudi Hidayat memberikan pendapat berbeda atau Dissenting Opinion. Yudi berpendapat berbeda atas pembuktian unsur “dapat mempengaruhi harga” dan unsur “dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat”. Saat dikonfirmasi, Yudi belum bersedia memberikan keterangan lebih lanjut tentang poin-poin Dissenting Opinion yang ia kemukakan.

Guntur Saragih membenarkan bahwa poin dalam dissenting opinion tersebut, bahwa Yudi Hidayat berpendapat telah terjadi kesepakatan pengaturan harga antar ketujuh perusahaan tersebut sehingga menyebabkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Meski divonis bebas, Guntur menegaskan, praktik pengajuan impor secara bersama-sama tidak semestinya dilakukan oleh para perusahaan tersebut. KPPU menemukan fakta utama bahwa  permasalahan dalam impor garam adalah potensi perembesan garam industri ke dalam pasar garam konsumsi yang dapat merugikan petani garam lokal.

“Permasalahan kartel atau pengaturan produksi memang tidak terbukti melalui proses penegakan hukum persaingan usaha. Namun KPPU tidak menutup mata terhadap perembesan garam industri tersebut sebagai pokok permasalahan industri garam di Indonesia,”ujar Guntur.

Pada 2006, melalui Putusan Perkara No. 10/KPPU-L/2005, KPPU pernah memvonis bersalah tiga perusahaan importir garam, yakni PT Garam, PT Budiono, dan PT Garindo. Ketiga perusahaan tersebut terbukti melanggar Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 11 UU No. 5/1999.

 

KPPU vonis bebas kartel garam (Foto: Kontan)

Perkara tersebut berkaitan dengan kesulitan melakukan pengiriman garam bahan baku ke Sumatera Utara dan kesulitan melakukan pembelian garam bahan baku di Sumatera Utara. Ketiganya terbukti telah melakukan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga divonis membayar dendan Rp 2 miliar.

Dua perusahaan yang divonis pada 11 Maret 2006, yakni PT PT Budiono Madura Bangun Persada dan PT Garindo Sejahtera Abadi, adalah dua dari tujuh perusahaan yang saat ini divonis tidak bersalah oleh KPPU.

Rekam Jejak PT Garindo Sejahtera Abadi

PT Garindo Sejahtera Abadi (GSA) merupakan sebuah korporasi swasta yang bergerak di bidang  perdagangan makanan dan berbagai produk-produk lain yang berkaitan dengan industri ini, termasuk garam. Berdiri sejak 1980 dan berdomisili di Surabaya, perusahaan ini dikenal juga sebagai pemain garam skala nasional, yang mendapatkan komoditas ini dari petani lokal maupun dari proses impor.

Sampai saat itu, di bidang garam, perusahaan ini kerap menyediakan garam cucian bahan baku, industri, dan garam konsumsi beryodium. PT GSA, misalnya, terdaftar dalam direktori perusahaan milik Kementerian Perindustrian untuk komoditas beras. Sementara di Kementerian Perdagangan, perusahaan ini teregister sebagai penyedia garam curah.  terdaftar sebagai penyedia garam curah. Korporasi yang sama juga terdaftar di BPOM untuk produk garam konsumsi beryodium dengan merek Gadjah Tunggal.

Modus Impor PT GSA

Meskipun dikenal sebagai pemain lama dan besar, PT GSA dikenal pula sebagai importir yang nakal dan kerap terjerat dalam berbagai kasus hukum.  Mereka kerap melakukan berbagai modus, mulai dari melakukan impor menjelang panen raya petani lokal, menyuap oknum pejabat di Kementerian Perindustrian dan Perdagangan untu menambah jatah impor, hingga memanipulasi jenis garam industri menjadi konsumsi.

 

Petani garam di Indramayu (foto: nasional kini)

Praktik semacam ini, telah dilakukan perusahaan ini lebih dari satu dasawarsa silam. Pada 2011, misalnya, Menteri Kelautan dan Perikanan, Fadel Muhammad pernah menyegel 29.050 ton garam impor asal India milik PT GSA yang telah didistribusikan ke lima gudang perusahaan itu di Medan. Alasannya, kedatangan garam impor itu melewati tenggat 31 Juli 2011. Dalam aturan yang berlaku memang terdapat larang untuk mengimpor garam pada satu bulan sebelum dan dua bulan sesudah panen raya.

Empat tahun kemudian, PT GSA kembali terlibat dalam kasus dugaan menyuap oknum di Kementerian Perindustrian dan Perdagangan untuk menambah kuota impor. Hal ini mencuat ketika Presiden Joko Widodo meminta Polri untuk menyelesaikan kasus suap kuota impor garam yang melibatkan pejabat tinggi di Kementerian Perdagangan. Menteri Koordinator Maritim, juga menduga penyuapan juga terjadi di Kementerian Perdagangan.  Untuk itu dibentuk Satgas Kartel Garam.

Dugaan itu terbukti benar. Bermula dari dugaan impor garam yang melebihi kebutuhan, pihak kepolisian melakukan penggeledahan di Direktorat Industri Kimia Dasar Kementerian Perindustrian. Hasilnya, ditemukan surat permohonan penambahan kuota impor dari PT Unichem. Selain itu, surat serupa juga ditemukan ketika pihak yang berwajib menggeledah PT GSA.

Dalam penyelidikan lanjutan terungkap bahwa Direktur Utama PT GSA, Tjiandra Johan melakukan penyuapan terhadap penjabat Kementerian Perdagangan sebesar Rp 350 juta untuk mendapatkan izin impor garam. Menurut Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Mudjiono Tjiandra juga menyuap Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan (PP) sebesar 25.000 Dollar AS.

Penyuapan ini dilakukan untuk menaikkan kuota impor yang dimiliki PT GSA.  Sebelumnya perusahaan ini hanya mendapatkan jatah 70 ribu ton. Besaran ini diduga diperoleh setelah perusahaan itu menyerahkan uang senilai Rp 10 ribu Dollar AS pada Juni 2015.  Namun karena tak puas, sebulan kemudian,  korporasi itu kembali menyuap Partogi Pangaribuan menerbitkan surat persetujuan impor untuk perusahaan itu sebesar 116.375 ton.

Atas tindakan itu, Tjiandra Johan pun ditetapkan sebagai tersangka bersama enam orang lainnya, termasuk Partogi  Pangaribuan.  Sempat mangkir karena melarikan diri ke Singapura, bos PT GSA itu akhirnya  menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada 11 September 2015. Namun berbeda dengan tersangka yang lain, sampai saat ini belum ditemukan dokumen persidangan atas nama dirinya. 

PT GSA kembali terbelit kasus impor garam pada 2018.  Namun menurut  Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Daniel Tahi Monang, praktik impor yang memanipulasi garam industri menjadi konsumsi telah dilakukan perusahaan ini sejak 2015. Modus yang dilakukan adalah dengan mengemas garam industri itu dalam bentuk sachet berkapasitas 175 gram per kemasan.

Selain itu, dengan modus serupa PT GSA juga pernah melakukan manipulasi impor garam pada 2017. Ketika itu,  Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Machfud Arifin sampai datang langsung untuk  mengrebek  gudang PT GSA di Gresik. Dalam peristiwa itu dtemukan menemukan  116 ribu ton garam industri impor asal Australia.

Setahun berselang, Bareskrim Mabes Polri kembali menyegel dua gudang garam ilegal milik PT GSA di Gresik.  Seperti disebutkan Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Daniel Tahi Monang, dalam kasus ini ditemukan 40 ribu garam industri yang dimanipulasi menjadi garam konsumsi. Garam yang disita itu sendiri berasal dari Australia dan India dan didatangkan sejak Februari-Maret 2018.

 

Perusahaan garam di Gresik digrebeg polisi (foto: kabargresik)

Melalui hasil uji laboratorium, terungkap bahwa kadar Nhcl garam impor itu tak spai 70 persen. Semenrara kadar yodiumnya juga hanya  berkisar antara 21-22 persen.  Bila merujuk pada UU Kesehatan, kadar yodium itu di bawah standar karena garam konsumsi berkualitas baik memiliki 30 persen kandungan yodium.

Setelah garam itu disimpan di dalam gudang, garam yang sejatinya dipakai untuk pengasinan ikan atau produk industri itu dikemas dalam dua ukuran, yaitu 450  dan 750 gram dan dijual seharga Rp 1.500. Bila seluruh garam terjual, maka diperkirakan nilainya mencapai Rp 40 milyar.

Terkait temuan itu pihak kepolisian telah mengambil tindakan. Salah satunya dengan melakukan penetapan tersangka atas nama MA. Sosok yang menjabat sebagai direktur  PT GSA juga telah ditahan.

Monopoli dan Kartel Garam                                              

Pada 2006, bersama 6 perusahaan lainnya, PT GSA juga pernah dinyatakan bersalah melakukan praktik kartel dalam perdagangan garam di Sumatera Utara oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketiga perusahaan itu dianggap melanggar  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam putusan KPPU itu disebutkan, untuk memenuhi kebutuhan garam di Sumatera Utara, pasokan hanya diberikan kepada PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo yang mendatangkannya dari Madura.  Ketiga perusahaan itu kemudian menjual garam hanya ke empat perusahaan, yaitu PT Graha Reksa, PT Sumatera Palm, UD Jangkar Waja dan UD Sumber Samudera.

Tak hanya itu, dalam putusan yang sama juga disebutkan, PT Garam, PT Budiono dan PT Garindo berkolusi untuk menentukan harga garam.  Ketiganya bersepakat untuk menjual bahwa produk PT Garam dijual Rp 20 per kilogram lebih mahal dari milik PT Budiono dan GSA. Trio korporasi itu juga diketahui saling menjual dan membeli garam untuk memenuhi pesanan masing-masing.

 

Petani garam mulai gunakan sistem terpalisasi guna hasilkan gram kualitas satu (foto: liputan6)

Melalu temuain inilah, KPPU kemudian menyimpulkan terdapat penguasaan pasokan garam oleh PT Garam, Budiono, dan GSA.  Namun alih-alih memberikan saksi tegas, ketujuh perusahaan itu tidak diberikan sanksi tegas, seperti pencabutan kuota garam. KPP hanya memberikan teguran dan larangan untuk melakukan aksi serupa di kemudian hari.

Bersama enam perusahaan lainnya, PT GSA kembali tersandung kasus dugaan kartel dan monopoli impor garam. Praktik semacam ini diduga dilakukan pada 2015.  Ketika itu, menurut laporan investigator KPPU, ketujuh korporasi itu merupakan  importir garam industri. Mereka mengajukan izin kepada Kementerian Perdagangan dan Kementerian Industri karen stok garam di pasaran menipis, padahal lebaran kian dekat.

Berdasarkan dokumen yang sama, secara keseluruhan besaran impor yang siepakati adalah 397.208 ton. PT GSA mendapatkan jatah 122.208 ton. Selain itu, terdapat pula  PT SLM  yang mengimpor 55.000 ton, PT SM memperoleh jatah  55.000 ton, PT CGI diberikan kuota  55.000 ton, PT UCI diberikan jatah  27.000 ton, PT NGC mendapatkan kuota 27.000 ton.

Namun berbeda dengan putusan pada 2006, kali ini KPPU menetapkan bahwa ketujuh importir garam itu tidak terbukti melakukan praktik kartel garam industri aneka pangan. Dalam putusuan yang dibacakan di Gedung KPPU, Jakarta, Senin (29/7) itu terdapat perbedaan pendapatan (dissenting opinion). Salah seorang anggota majelis, Yudi Hidayat tidak sependapat dengan dua anggota majelis lainnya.

Kontribusi laporan: Teguh Vicky Andrew

(Januardi Husin\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar