Jaja Ahmad Jayus:

Sering Terjadi Gesekan Antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung

Minggu, 28/07/2019 18:53 WIB
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus (law-justice.co/Nikolaus Tolen)

Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus (law-justice.co/Nikolaus Tolen)

law-justice.co - Bulan Juni silam, genap satu tahun Dr. Jaja Ahmad Jayus SH., M.Hum menduduki kursi pimpinan di Komisi Yudisial (KY). Menjadi orang nomor satu di sebuah lembaga negara, tentu menjadi prestasi yang sangat membanggakan bagi Jaja, demikian ia biasa disapa.

Laki-laki kelahiran Kuningan, 6 April 1965 ini, mengawali karirnya  sebagai dosen, pada tahun 1990. Jabatan terakhirnya adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung.

Jaja yang anak seorang penjual daging, tidak lelah menempuh berbagai pendidikan demi meraih cita-citanya. Gelar S-1 diperolehnya dari Fakultas Hukum Unpas, Jurusan Hukum Keperdataan pada tahun 1989. Selanjutnya, gelar Magister Hukum diraihnya pada tahun 2001 dari Universitas Khatolik Parahyangan, Bandung. Gelar doktor  diperolehnya dari Universitas Padjajaran, Bandung pada tahun 2007. 

Suami dari N. Ike Kusmiati ini,  bukanlah orang baru di KY. Ia sudah menjadi komisioner KY sejak tahun 2010. Namun, dia dan rekannya Mardaman Harahap baru diangkat menjadi pimpinan setelah Aidul Fitriciada Azhari dan Sukma Violetta tidak terpilih lagi dalam pemilihan yang dilakukan oleh tujuh orang komisioner KY setahun lalu.

“Jangan pernah berhenti berfikir dan berinovasi dalam mendorong peradilan yang bermartabat, bersih dan akuntabel” adalah motto hidup sekaligus cita-cita yang terus digaungkan Jaja sepanjang hidupnya.

Ia berharap, jika peradilan dan hakim bersih dan akuntabel, maka penegakan hukum di Indonesia, juga akan berjalan dengan baik dan bersih. Karena itu, dia tak henti-hentinya mengawasi moral para hakim dengan menjalin kerja sama dengan Mahkamah Agung. 

Law-justice.co berkesempatan berbicang-bincang dengan Jaja, di sebuah siang di kantornya, beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:

Akhir Juni Kemarin, tepat setahun Anda menjadi Ketua Komisi Yudisial (KY). Sejauh mana perkembangan dan kinerja KY hingga saat ini?

Tentunya, sesuai tugas dan fungsinya KY, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Adhoc pada Mahkamah Agung (MA) kepada Dewan perwakilan Rakyat (DPR). Tentunya disini kita benahi aspek kualitasnya, agar hakim-hakim yang dihasilkan itu, dari segi integritas dan kualitas itu memenuhi standar yang sudah ditetapkan. 

Pertama, kita sekarang membenahi  sisi melakukan asesmen. Setiap calon Hakim Agung atau Hakim Adhoc pada MA itu harus melakukan asesmen yang dikenal dengan nama Proper Assesment.Kita sudah mencoba ke arah kemandirian, mempergunakan, memberdayakan dengan peran bantuan dari pihak ketiga itu yang sifatnya sebagai narasumber. Sehingga kualitasnya bisa dikontrol dan hasilnya bisa dikontrol. Itu yang pertama.

Kemudian juga dalam rangka menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim atau menjaga dan menegakkan kehormatan serta perilaku hakim. Nah, peran menjaga ini kita optimalkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersentuhan dan dirasakan langsung bagi peningkatan integritas hakim. Kemudian juga ketika kita menegakkan, maka selama ini ada komunikasi yang dibangun agar pelaksanaan-pelaksanaan tugas dari komisioner bisa efektif.

Misalnya seringkali kita memperdebatkan soal KY tidak boleh masuk ke dalam ranah bersifat teknis yudisial. Memang kita sudah sepakat, kalau menyangkut pertimbangan hukum, menyatakan benar tidaknya suatu keputusan, KY dan MA tidak punya kewenangan. Oleh karena itu, kita masuk seandainya ada pelanggaran substantif betul, seperti pelanggaran formil yang substantif, maka kita sudah ada kesepakatan dengan MA, KY silahkan memeriksa.

Kalau terbukti ada pelanggaran, serahkan ke MA. MA masuknya bukan dari pintu kode etik tapi dari pintu pembinaan teknis peradilan, Pasal 32 a Undang-undang  Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan itu sudah berjalan.

Jadi ada keharmonisan hubungan kelembagaan antara KY dengan MA. Susbtansi, ketika KY menemukan pelanggaran itu, MA menerimanya. Kemudian juga, komunikasi yang dibangun adalah bagaimana agar peran-peran KY juga, MA itu memahami betul bahwa KY sudah melakukan penilaian yang sangat objektif, sehingga rekomendasinya itu sebisa mungkin saya dorong untuk bisa ditindaklanjuti oleh MA.

Nah, kemudian secara internal kita juga dalam rangka memberikan pelayanan kepada publik, maka saya dorong agar proses penanganan laporan dari masyarakat secepat mungkin, tidak boleh ada tunggakan, kalau bisa zero setiap tahunnya. Kalau zero kan, tidak mungkin karena misalnya ada laporan di akhir minggu terakhir bulan 12 kan nggak mungkin, pasti akan masuk ke bulan Januari. Tetapi semaksimal mungkin pelayanan publik, keluhan-keluhan terhadap pelayanan itu bisa ditindaklanjuti oleh KY, dengan memberikan harapan bahwa mereka dilayani dengan baik. 

Kemudian, kita sekarang juga mendorong adanya center of ethicsendiri, sehingga KY itu menjadi pusat kalau berbicara tentang etik. Kemudian kita mendorong tentangassemnet center, melakukan penilaian terhadap calon Hakim Adhoc Tipikor maupun PHI dan hakim Agung di MA. Itu penataan yang sedang dilakukan bersama dengan komisoner yang lain.

Soal MA masuk melalui pintu masuk pembinaan bukan melalui kode etik, apakah karena berkaca pada kasus hakim Sarpin Rizaldi yang memenangkan gugatan praperadilan Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi?

Itu karena, sering terjadi gesekan antara KY dengan MA. MA mengatakan itu teknis yudisial. Ok kami sepakat. Kalau yang ada pelanggaran substantif formil atau formil substantif, KY boleh masuk, tetapi ketika menemukan, nanti MA masuknya dari teknis pembinaan, bukan dari pelanggaran kode etik. Ujung-ujungnya sama, memberikan memberikan pembinaan secara adminisratif berupa sanksi.

MA masuknya bukan dari situ (kasus Hakim Sarpin), tetapi ada salah satu kasus, saya lupa nama hakimnya di Pengadilan Jakarta Selatan yang menetapkan sesorang sebagai tersangka. Kan kewenangan menetapkan seseorang sebagai tersangka bukan kewenangan hakim, tetapi kewenangan penyidik. Bagaimana jadinya kalau seandainya hakim menetapkan tersangka, kemudian dia harus menyelesaikan, memutus apakah dia bersalah atau tidak bersalah. Nanti disitu tidak ada fairness, tidak ada perlakuakn yang sama, tidak ada kebijaksanaan. 

MA mengkualifikasikannya pelanggaran formil substantif. Nah, KY boleh, silahkan periksa, nanti kalau menemukan pelanggaran silahkan ke MA. Sejauh ini sudah berjalan dengan baik. Ada satu dua kasus sudah kita praktikan.

Tetapi ada beberapa rekomendasi KY yang sebenarnya tidak dijalankan oleh MA, apa penyebabnya?

Ya, itu MA berpandangan bahwa itu menyangkut teknis yudisial. Nah disini, memang ada perbedaan-perbedaan tipis kalau seandainya ini yang sedang dilakukan terus proses komunkasi kalau seandainya itu substantif betul, walaupun itu teknis yudisial, MA juga bisa masuk dari pembinaan teknis peradilan.

Artinya tidak benar penilaian masyarakat yang menilai KY tidak punya taring dalam mengawasi MA?

Formil substantif silahkan masuk, tetapi menyangkut pertimbangan hakim, pertimbangan putusan dan sebagainya, benar salahnya itu prosesnya banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Tapi kalau seandainya itu berulang-ulang dilakukan oleh hakim yang sama, sebetulnya di MA kita sudah memperoleh informasi, kalau pun itu pelanggaran teknis yudisal, tetapi bahasanya itu hakim itu lagi-hakim itu lagi, maka mereka juga sudah memeberikan catatan-catatan. Misalnya untuk menyeleksi dalam rangka rotasi dan mutasi atau promosi.

Misalnya kalau dia dalam setahun ada 10 laporan, dan perkaranya sama, ya itu menajdi catatan. Tetapi sanksinya dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk menjadi bahan dasar bagi MA untuk menilai promosi yang bersangkutan, dia layak nggak untuk menajdi hakim tinggi. Atau ketika dia berkeinginan untuk menjadi ketua pengadilan. Iitu sudah menjadi pertimbangan di MA.

Beberapa waktu lalu, terjadi percekcokan antara MA dengan KY. MA melaporkan Komisioner KY, tepatnya Juru Bicara Farid Wajdi ke Polisi. Apakah ini cermin dari tidak dianggapnya KY oleh MA?

Ya, itu sudah lama, setahun yang lalu, nggak perlu saya komentari. Intinya, itu nggak mempengaruhi hubungan antara MA dengan KY. Kemarin saya ketemu dengan Ketua MA, bertemu dengan para hakim, biasa-biasa saja. Kalau soal kasusnya, no comment, saya tidak mau membuka sesuatu yang bisa menjadi diskusi lagi. Sekarang kan Pak Farid masih disini, masih melaksanakan tugasnya. Tentunya kita melakukan komunikasi agar jangan dianggap bermasalah sambil kita melakukan introspeksilah. Kita dorong sekarang pendekatan softsupaya MA juga kalau ada hakim agung yang kalau dari bawah ada keluhan, itu perlu ada pembinaan.

Motto hidup bapak sejak awal tentang pentingnya hakim yang bersih, dan peradilan yang bersih. Dan itu juga yang bapak tekankan saat memberikan sambutan ketika terpilih menjadi Ketua KY. Apakah memang sejak awal ingin menjadi pimpinan KY?

Itu kan cita-cita MA, kita harus dukung dong. MA kan ingin mendorong peradilan yang agung. Peradilan agung itu hanya isa diwujudkan oleh integritas hakim clear, yang bersih. Kalau seandainya dia situ tidak ada pengaruh apa-apa, maka putusan pasti akan professional, pasti akan bersih, dan ujungnya pasti dia tidak akan memihak, maka putusannya pasti akan berkualitas. Itu hasilnya.

Itu bukan hanya cita-cita saya,  sebenarnya juga cita-cita semua orang ya. Dan kalau sampai dijadikan motto, itu artinya sesuatu yang harus saya kerjakan dengan berbagai cara, gagasan, dan kegiatan seperti konsep yudisial education untuk mencegah hakim melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan pedoman-pedoman hakim.

Kalau hubungan dengan MA diakui harmonis, bagaimana dengan Internal. Beredar info, kalau internal KY nggak solid, ada faksi. Bagaimana penjelasan bapak?

Harmonis dinamis. Jangan disebut ada faksi, karena kalau perbedaan pandangan sesuatu yang biasa. Justru kalau tidak ada perbedaan pandangan, masukan, maka mati dong dinamisasinya. Kan organisasi yag baik itu harus dinamis.

Itu hanya beda pandangan, tetapi bahasa sebenarnya adalah dinamika suatu organisasi, dan itu wajar. Tidak ada perpecahan, saya mengangapnya begitu, karena biasa-biasa saja. Rapat masih berjalan, kemduain ketika menyeleksi hakim agung, tujuh orang masih hadir. Rapat Senin, Selasa, pleno masih berjalan. Di mana disitu ada perpecahan, itu adalah dinamika, dan masih wajar.

Ada beberapa negara di luar seperti Swedia, Denmark anggaran MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) itu disusun oleh KY. Apakah hal yang sama bisa diterapkan di Indonesia?

Itu bermaksud untuk membebaskan pengaruh daripada pemerintah itu, Maka MA itu di berbagai negara seperti Belanda, Prancis, Jerman, kalau di Jerman tidak ada KY, dewan apalah istilahnya, yang ada KY di Belanda, MA itu tugasnya dan hakim yang ada di bawahnya ya memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kebutuhan keuangan dan lain-lainnya itu, yang mendorong adalah Komisi Yudisial, sehingga komunkasinya adalah KY dengan pemerintah. Itu sebagai suatu cara untuk menghindari munculnya intervensi.

Di Indonesia tidak seperti itu?

Di kita, perubahan undang-undang yang tadinya kewenangan organisasi dan keuangan itu ada di Kementerian Kehakiman, sekarang kementerian Hukum dan HAM, itu ditarik ke MA. Kalau di Belanda, dibentuk dulu KY, maka hak itu diserahkan kepada KY bukan MA.

Tapi alangkah baiknya kalau hal itu diterapkan di Indonesia?

Itu menuntut proses hukum. Kalau nanti politik hukumnya berubah ya, berubah. Tapi itu kan diatur di Undang-Undang MA, dan di undang-undang Kekuasaan Kehakiman, di undang-undang MA terutama. Kalau mau berubah ya, itu politik hukum, karena yang berhak membuat UU adalah DPR dan pemerintah. KY boleh saja mengusulkan, tetapi yang punya politik hukum dalam pembuatan UU kan pemerintah dan DPR.

Kita mendorong istilah yang sering kali muncul di publik itu sense of responsibilityitu, tapi saya ubah polanya dengan menggunakan independen dan akuntabel, sama saja sebetulnya. Misalnya, harus clear dari sisi pengaruh ketika melakukan rotasi, mutasi, dan promosi. Harus clear ketika berbicara anggaran dan sebagainya. Jadi tanggung jawab yang dibagi.

Ada berapa rekomendasi KY yang tidak dijalankan oleh MA?

Jumlahnya saya lupa ya, cuma memang masih ada rekomendasi-rekomendasi KY yang MA berpandangan itu masuk ranah teknis yudisial. 

Kalau laporan setiap tahun dan penyelesaiannya bagaimana?

Saya lupa persisinya, sekitar tiga ribu lebih, baik langsung maupun melalui online,webKY. Jadi setiap tahun itu fluktuatif, kadang-kadang naik, kadang-kadang turun, tapi tipis. Untuk penyelesaiannya, saya sekarang mendorong agar setiap, yang tadi saya bilang dalam rangka pelayanan publik itu didorong agar setiap tahun itu tidak ada sisa penangan laporan, zerodan sesuai waktu.

Dari sekian banyak laporan, yang paling dominan soal apa?

Memang terkait profesionaisme. Dari sekian banyak itu, yang sampai diperiksa itu seratusan berkas, dan yang terbukti sekitar 30-an. Laporan itu kebanyakan dari tingkat bawah,tapi ada juga hakim tingkat atas seperti kasasi. Laporan yang paling banyak itu berasal dari kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, Semarang, dan Makassar.  Dari hakim Agung juga ada. Ada yang minta kita klarifikasi, kita surati untuk diperiksa, mereka klarifikasi ke kita, kalau nggak menggunakan haknya dianggap tidak menggunakan haknya. Ada yang itu menyangkut Teknik yudisial ada yang menyangkut kesalahan ketik dan sebagainya, itu kita rekomendasikan untuk dikenai sanksi.

Bagaimana dengan hakim yang sering dissenting opinionuntuk meringankan atau bahkan ingin membebaskan terdakwa?

Kan itu majelis, tidak bisa dilihat orang per orang. Kalau seandainya fakta di persidangan itu, dia  berkeyakinan seperti itu, ya itu hak hakim untuk melakukan dissenting opinion, itu disediakan oleh undang-undang. Kemudian kalau menurut majelis hakim itu hukumannya terlalu berat lalu diturunkan, itu juga haknya majelis hakim, tergantung fakta hukum yang ada dalam berkas perkara, kalau di tingkat MA.

Kalau di tingkat judefaksi, kalau seandainya itu berbeda dengan tuntutan jaksa, keyakinan hakim terhadap alat bukti, ya itu keyakinan. Nah, itu lah yang dimaksud dengan teknis yudisial, KY tidak masuk sampai kesana. Ketika ada keputusan hakim itu tidak tepat, tidak benar, keliru, dan sebagainya, maka upayanya upaya hukum, banding, kasasi, dan PK. 

Bagaimana KY menyikapi peristiwa pemukulan hakim oleh pengacara di PN Jakarta Pusat?

Saya sudah datang ke sana. Sebenarnya kejadian seperti itu tidak hanya itu ya. Sehari sebelumnya juga ada, semacam pencemoohan terhadap hakim, gebrak-gebrak meja di PN Jakpus itu. Tetapi karena kasusnya, kasus biasa ya, tidak muncul ke publik, tidak dipublikasi.

Dan yang seperti itu, pernah saya tangani di Lubuklinggau, tiba-tiba akan mengetukan palu, ada pengunjung yang mengajukan interupsi. Karena ada potensi si terdakwa itu dibebaskan. Cuma karena kasus itu meyangkut nama seseorang, sehingga dipublikasikan oleh wartawan. Nanti kita akan investigasi, karena kecurigaan harus ada dasar. Tim advokasi dan investigasi akan jemput bola untuk menyelesaikan kasus ini. KY akan jemput bola.

 

 

(Nikolaus Tolen\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar