Hanya Tim Independen yang Bisa Ungkap Kasus Novel

Senin, 22/07/2019 20:50 WIB
Amnesty Internasional Indonesia mendesak presiden Joko Widodo membentuk tim independen guna mengungkap pelaku penyiraman Novel Baswedan. (Foto: Konten)

Amnesty Internasional Indonesia mendesak presiden Joko Widodo membentuk tim independen guna mengungkap pelaku penyiraman Novel Baswedan. (Foto: Konten)

Jakarta, law-justice.co - Keberadaan tim teknis dan perintah langsung Presiden Joko Widodo terkait tengat tiga bulan dinilai tak akan mampu mengungkap kasus penyerangan dengan air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan.

Kalangan pegiat hak asasi manusia (HAM) tetap menyuarakan pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) independen.

Melansir dari Jawapos.com, Minggu (21/7/2019), Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengungkapkan, selama ini tidak ada kasus penyerangan terhadap penyidik KPK maupun aktivis antikorupsi yang berhasil diungkap pihak kepolisian.

Sebut saja teror terhadap penyidik KPK Afief Yulian Miftach pada 2015, penyidik KPK Surya Tarmiani pada 2017, dan teror bom di rumah pimpinan KPK tahun ini.

Lalu, kasus perusakan dan percobaan pembunuhan yang dialami pegawai KPK. Begitu pula kasus teror terhadap aktivis ICW Tama S. Langkun. Penanganan semua perkara itu tidak jelas.

Asfinawati yakin, jika ditangani TGPF independen, hasilnya akan jauh lebih baik. Sebab, pengusutan kasus terhindar dari kepentingan kelompok mana pun.

Sebagai contoh, advokat kelahiran Bitung, Sulawesi Utara, itu menyebut kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Kasus tersebut bisa sedikit terungkap setelah penyelidikan dialihkan dari kepolisian ke TGPF independen.

“Yang bisa terungkap sedikit ketika (dibentuk, Red) TGPF independen seperti Munir. Yang lain kan cuma jadi rumor di masyarakat dan nggak pernah terungkap,” kata dia.

Asfinawati mengatakan, sejak jauh hari pihaknya menilai kepolisian tidak menunjukkan iktikad yang baik dalam menangani kasus Novel. Sebab, selama ini tidak ada progres yang signifikan. Ditambah ketidakberhasilan tim pakar gabungan bentukan Polri dalam mengungkap pelaku.

“Jadi, salah kalau presiden masih memberikan kepercayaan kepada kepolisian dengan arah penyidikan yang nggak jelas.”

Kebijakan itu dinilai sama saja dengan mengulur-ulur waktu penanganan kasus tersebut. Apalagi, lanjut dia, basis yang digunakan tim teknis untuk melanjutkan penyelidikan adalah hasil kerja tim gabungan. Padahal, penelusuran tim gabungan tidak menunjukkan hasil yang baik. Bahkan, beberapa di antaranya justru bertendensi mengkriminalisasi Novel.

“Dengan menyebut Novel melakukan abuse of power dan lain-lain,” imbuh dia.

Karena itu, Asfinawati tidak yakin bahwa tim teknis bentukan Polri mampu mengungkap kasus yang terjadi 11 April 2017 tersebut. “Perintah itu nggak ada gunanya dan nggak manfaat sama sekali,” ucap dia.

3 Bulan

Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, waktu tiga bulan yang diberikan oleh presiden harus dimanfaatkan untuk bisa mengungkap kasus. Dengan tim teknis yang dipimpin Kabareskrim, perkara itu ditangani penyidik yang secara teori paling tinggi di Indonesia.

“Kalau tim teknis itu tidak mampu, sudah berarti bahwa kepolisian tidak mampu menangani kasus tersebut. Namun, analisis saya, tim itu tidak akan mampu,” ujarnya.

Mengapa? Boyamin mengatakan, fakta adanya tiga orang yang perlu dikejar sebenarnya muncul sejak dua tahun lalu.

“Hanya diulang-ulang saja, namun tidak dicari. Kalau ketemu pun mungkin malah sulit menghubungkan dengan kasusnya,” paparnya.

Ketidakmampuan itu, menurut dia, disebabkan persoalan kemauan dari kepolisian. Dia menganalisis, berlarut-larutnya penuntasan kasus menunjukkan adanya keengganan. Bisa jadi, bila kasus diungkap secara terang benderang, bakal ada oknum yang terseret.

“Itu mungkin yang membuat oknum bersih di kepolisian ewuh pakewuh,” urainya.

Karena itu, setelah tiga bulan dan kasus kembali ke tangan presiden, bisa dibentuk tim independen. “Yang berada di bawah presiden,” tegasnya.

Boyamin menyebut sejumlah nama yang dinilai mampu untuk menjadi anggota tim independen. Termasuk sosok yang sekaligus dihormati Polri dan KPK. Sosok semacam itu bisa didapatkan dari purnawirawan Polri.

“Yang sudah pensiun setidaknya lima tahun,” tuturnya.

Misalnya, Benny Mamoto dan Chairuddin Ismail. Keduanya sangat senior di Polri.

Tim Teknis

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (purnawirawan) Moeldoko mengatakan, Presiden Joko Widodo belum merasa perlu membentuk TGPF. Dia beralasan, presiden masih memberi waktu tiga bulan bagi Polri untuk menindaklanjuti rekomendasi tim gabungan.

Sementara itu, Karopenmas Divhumas Polri Kombespol Asep Adi Saputra menuturkan, di dalam tim teknis tidak hanya ada penyidik. Ada juga beberapa anggota Polri dari bidang teknis seperti Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) dan Indonesia Automatic Fingerprint Identification System (Inafis).

“Semua bekerja untuk menuntaskan kasus itu,” paparnya.

Bersama dengan penyidik, semua anggota tim teknis akan melakukan diskusi dan evaluasi. Semua yang diperoleh selama ini, baik dari polda maupun tim gabungan, akan dianalisis.

“Jadi, tidak hanya satu bagian yang dilihat. Semuanya dijalankan,” terangnya.

Bukan hanya dari hasil olah TKP seperti CCTV. Enam kasus yang sempat disebut tim gabungan juga menjadi atensi. Yakni, kasus e-KTP, kasus mantan ketua MK, kasus Sekjen MA, kasus bupati Buol, kasus wisma atlet, dan kasus yang tidak berada dalam penanganan tapi berpotensi seperti perkara burung walet di Bengkulu.

“Enam kasus high profile itu akan didalami,” tuturnya.

Enam kasus itu muncul dan menjadi rekomendasi tim gabungan karena ada probabilitasnya. Semua akan diverifikasi untuk memastikan adakah hubungannya dengan kasus penyiraman terhadap Novel.

“Ada korelasinya atau tidak,” jelasnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar