Kreditur Minta Jokowi Temui Prabowo Atasi Bersama Ekonomi Sulit

Kamis, 18/07/2019 00:12 WIB
Jokowi dan Prabowo (Breakingnews.co.id)

Jokowi dan Prabowo (Breakingnews.co.id)

[INTRO]
Setelah reformasi 1998 bergulir dan hampir dua puluh tahun lebih tumbangnya rejim orde baru, Indonesia memasuki pemerintahan reformasi. Semua elemen pendukung untuk lajunya sebuah pemerintahan republik menjadi kolaborasi elit penguasa Indonesia dalam bentuk gaya kekuasaan dan model koalisi yang berbeda-beda.
 
Tetapi perbaikan baik dalam bidang ekonomi kesejahteraan adil makmur maupun politik belum begitu baik. Yang ada justru utang semakin menumpuk dan negara kesulitan untuk membayarnya. Pengelolaan ekonomi kita masih ketinggalan dengan negara lain, termasuk negara tetangga. Sudah dua Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tetapi pola pemerintahan yang mereka terapkan belum membuat rakyat sejahtera, apalagi keadilan dan kemakmuran belum dirasakan oleh rakyat secara merata. Dan keadilan serta kemakmuran masih terletak pada wacana dan retorika penguasa di negeri kita ini.
 
Demikian dikatakan pengamat politik Dr. Safri Muiz kepada law-justice.co di Jakarta, Kamis (18/7). Jokowi yang dalam pilpres 2019 ini terpilih kembali untuk memimpin Indonesia pada periode kedua ini, masih belum tampak kepemimpinan yang akan memberikan harapan baru bagi rakyat, untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan lebih sejahtera. Prabowo mau bertemu Jokowi juga karena faktor sulitnya situasi ekonomi keuangan negara saat ini, yang hanya bisa diatasi bersama jika Prabowo dan Jokowi bersatu, seperti yang diminta oleh negara-negara yang memberikan utang (kreditur) kepada Indonesia.
 
Pendekatan yang dilakukan pada pemerintahan lima tahun kebelakang, benar-benar tidak berkutik terhadap serangan ekonomi negara besar seperti China ataupun Amerika Serikat dengan sekutunya negara-negara Eropa. Pemerintahan Jokowi dari tahun 2014 sampai sekarang belum menemukan dan menunjukan roda pemerintahan yang ideal seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Pertumbuhan ekonomi hanya bisa sampai 5 perrsen. Keadilan masih berlaku bagi sebagian rakyat, begitu juga kemakmuran hanya bisa dirasakan oleh golongan tertentu.
 
Harapan rakyat pada kontestasi pilpres 2019 Indonesia akan memasuki era perubahan yang besar dan akan di pimpin oleh pemimpin yang baru, ternyata tidak terjadi. Yang terjadi adalah bertahannya kekuasaan dan keterpilihan status quo Jokowi lagi. Menilik pada kontestasi pada pilpres 2019 yang telah berlalu, kita akan melihat bagaimana peran partai-partai politik yang ada di Indonesia. Dimana dalam kontestasi pilpres 2019 yang lalu hanya bisa menghasilkan 2 koalisi besar partai yang duduk di parlemen.
 
Menurut Safri, syarat pemenuhan 20 persen parlementary treshold hanya menghasilkan 2 calon pasangan presiden dan wakil presiden. Dampak dari hanya dua pasangan dalam pilpres 2019 ini, adalah terjadinya pembelahan dukungan yang begitu dahsyat. Dalam setiap pemilu setelah reformasi tidak pernah terjadi pembelahan yang begitu terasa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi rakyat Indonesia. Pembelahan ini dipicu dengan munculnya sentimen politik identitas (agama). 
 
Politik identitas dalam percaturan politik di Indonesia bukanlah hal baru, akan tetapi dalam pilpres kali ini, kemunculannya begitu masif karena serangan dan dukungan bagi setiap calon presiden, detik demi detik bisa menggelinding tanpa kontrol tampil di media sosial maupun dan di media mainstream. Saling ejek dan saling mendiskreditkan lawan, terutama di medsos menjadi santapan kita setiap waktu, tambah Safri.
 
Kita yakin bahwa rakyat kita sadar bahwa sistem ini bila di pertahankan, akan membuat republik akan terus terbelah berdasarkan politik identitas. Padahal founding father kita mendirikan republik Indonesia ini, begitu sadar dan cerdas, bahwa Indonesia berdiri dan menyatu menjadi sebuah bangsa dan negara, bukan karena paham politik identitas tertentu. Akan tetapi berdiri karena keragaman agama, suku, dan budaya yang berbeda, tegas Safri.
 
Kontestasi pilpres sudah selesai dan kedua tokoh terbaik bangsa yang bertanding dalam pemilu Presiden 2019 sudah bertemu. Mereka sudah menunjukan sikap sebagai negarawan sejati. Prabowo yang kalah dicurangi dengan gagah berani dan tanpa beban mengucapkan selamat kepada Jokowi yang jadi pemenang. Prabowo, menunjukan sikap seorang ksatria yang siap menang dan siap kalah. Banyak kecaman dari pendukung Prabowo atau yang disebut para relawan akibat pertemuannya dengan Jokowi.
 
Patut untuk mempertanyakan yang mengaku para relawan ataupun para pendukung Prabowo tapi tindakan mereka begitu beringas dan anarkis pasca pertemuan Jokowi dan Prabowo. Mereka tidak punya etika sama sekali dan mereka langsung menstigma Prabowo sebagai penghianat. Kita jadi miris sudah separah inikah moral maupun etika rakyat indonesia yang tercermin dari kelompok yang mengaku sebagai kelompok yang menjunjung tinggi perbedaan dan keadilan tapi melakukan cara-cara berpolitik yang tidak santun, kecam Safri.
 
Kita tunggu saja keputusan Prabowo apakah dia dan Gerindra mau beroposisi ataupun rekonsiliasi. Kita percaya apa yang diputuskan Prabowo adalah keputusan cerdas seorang pemimpin politik. Apakah oposisi ataupun rekonsiliasi yang dipilih oleh Prabowo, itu hanyalah bagian dari dinamika demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia.
 
Janganlah rasa curiga ataupun rasa kecewa terus dikedepankan untuk mendiskreditkan Prabowo. Karena tindakan Prabowo sejatinya hanyalah untuk membantu pemulihan ekonomi keuangan negara yang sedang sangat sulit. Begitu juga sebaliknya Jokowi harus mau merangkul Prabowo, seperti yang diminta oleh negara-negara kreditur utang Indonesia. Walaupun mereka tahu persaingan dalam pilpres kali ini adalah pertarungan yang berat bagi kedua kubu dan koalisinya, tandas Safri.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar