Rekonsiliasi Bawah Tanah Elite Politik

Rabu, 17/07/2019 07:15 WIB
Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (The Straits Times)

Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo (The Straits Times)

Jakarta, law-justice.co - Dua seteru politik kekuasaan dalam setengah dasawarsa terakhir, Joko Widodo dan Prabowo akhirnya bertemu untuk pertama kalinya pasca-Pemilu 17 April 2019 lalu. Mulai dari dua jam menuju tengah hari, Sabtu (13/7/2019) di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga makan bersama di Senayan keduanya `berunding,` katakanlah demikian.

Di ujung perjalanan, hampir 20 menit kemudian kedua tokoh itu mengikrarkan semacam `rekonsiliasi` di kedalaman sekitar 20 meter di bawah tanah di jantung Jakarta itu. Apakah rekonsiliasi telah terjadi? Itu pokok persoalannya.

Melansir dari Media-Karya.com, berunding atau ‘gencatan senjata’ di gerbong kereta api, bukan sesuatu yang baru dalam sejarah. Saat Kekaisaran Konfederasi Jerman bertekuk lutut memohon gencatan senjata di akhir Perang Dunia I, tim perunding Jerman Mathias Erzberger menandatangani kapitulasi bersama tim perunding Perancis Marsekal Ferdinand Foch. Penandatanganan dilakukan di sebuah gerbong kereta api di hutan Compiègne, Perancis, 11 November 1918.

Namun 22 tahun kemudian, sejarah berbalik. Pada 21 Juni 1940, giliran Hitler duduk di kursi sama yang dulu diduduki Marsekal Foch, di gerbong yang sama di Compiègne, menerima penaklukan Perancis. Dengan senang Hitler menyaksikan Jenderal Charles Huntziger mewakili Perancis menandatangani dokumen penyerahan. Empat hari sebelumnya Marsekal Petain yang menggantikan Reynaud telah mengajukan permohonan gencatan senjata. Gerbong bersejarah itu dikenal sebagai Wagon de l’Armistice atau Gerbong Perdamaian.

Sejarah mencatat bahwa kapitulasi di Gerbong Perdamaian itu tak betul-betul mengakhiri perlawanan Perancis melawan Jerman. Rakyat Perancis yang dibantu sebagian militer melakukan pembangkangan dan mengorganisir gerakan bawah tanah selama setengah dekade ke depan. Di masa modern kini, dalam konteks sosial-politik sikap membangkang itu disebut social disobedience.

Api permusuhan bersumber dari elite politik dan kekuasaan

Kehadiran dua tokoh bernama Joko Widodo dan Prabowo Subianto, setidaknya selama 5 tahun terakhir ini, membawa publik Indonesia terutama kalangan akar rumput seakan masuk ke dalam kancah trial and error di medan sosial-politik. Tanpa mereka sadari dan mungkin tanpa diinginkan oleh kalangan akar rumput itu sendiri. Dalam posisi korban. Atau, setidaknya objek pemanfaatan para elite pengiring para tokoh dalam konteks penegakan hegemoni politik dan kekuasaan. Apinya dari atas, bukan dari bawah.

Ahli psikologi kelahiran Jerman, Hermann Ebbinghaus (1850-1909) dalam suatu rangkaian percobaan uji daya ingat manusia, menyimpulkan: 24 jam setelah mempelajari sesuatu atau mendapat informasi, manusia cenderung melupakan dua per tiga hasil pembelajaran dan informasi itu. Ini menjawab, misalnya, kenapa janji-janji politik mudah dilupakan, tidak saja oleh publik tetapi juga oleh para pengucap janji sendiri. Apalagi bila sudah disertai involusi mental dan degradasi integritas, sesuatu yang lazim pada zaman pragmatis sekarang ini.

Satu aspek lain yang sangat tereksploitasi dalam praktek politik terhadap masyarakat adalah kecenderungan anggota masyarakat merasa harus menyesuaikan diri dengan kehendak mayoritas dalam kaitan social conformity. Menurut ahli psikologi sosial Solomon Asch (Polandia-Amerika, 1907-1996), kehendak penyesuaian diri itu bisa sekedar pura-pura atau mencoba meyakinkan diri setuju dengan mayoritas. Seringkali “kecenderungan mereka untuk menyesuaikan diri lebih kuat daripada nilai atau persepsi dasar mereka.” Di Indonesia, hal itu terkait juga dengan sisa-sisa feodalisme masa lampau dan praktek feodalisme baru masa kini.

Opini ‘kehendak mayoritas’ dalam praktek politik, tak jarang sengaja dikelola. Sejumlah ‘aktor’ melontarkan pandangan artifisial yang menguntungkan secara politis lalu sejumlah ‘aktor’ lainnya tampil membenarkan dan atau memberi pembenaran secara berkesinambungan. Begitu ada bagian dari publik terikutkan dalam arus pembenaran, pandangan itu mulai bisa menggelinding seolah satu kebenaran yang akhirnya dipercaya sebagai kebenaran dari kehendak mayoritas.

Secara empiris terlihat bahwa pola berdasar teori Asch ini, kerap disalahgunakan, misalnya untuk pengkultusan atau bahkan pemitosan tokoh yang merupakan gejala feodalisme baru. Untuk konteks Indonesia, tak sedikit tokoh yang berhasil tampil sebagai hasil pengkultusan, atau setidaknya makin digelembungkan dengan pengkultusan. Bila tak disertai dengan kualitas yang memadai, tokoh-tokoh seperti ini teoritis pada akhirnya tentunya akan terhempas sendiri. Bukankah tak mungkin katak menjadi lembu? Meski, bukan tak mungkin pula pengkultusan bisa dilanjutkan melalui narasi sejarah yang manipulatif.

Tetapi teori Asch yang menempatkan kekuatan dan pengaruh mayoritas terlalu di atas, di sana-sini mulai disanggah. Asch dianggap terlalu melebih-lebihkan kekuatan mayoritas dalam mempengaruhi minoritas, dan mengabaikan faktor dinamika perorangan maupun kelompok. Ahli psikologi sosial Perancis, Serge Moscovici (1925-2014) tidak setuju dengan analisis Asch dan berpendapat bahwa minoritas yang aktif dapat mempengaruhi mayoritas dan membawa perubahan. Tekanan sosial dalam konteks teori Asch memastikan kepatuhan. Tapi ahli psikologi sosial Amerika, Stanley Milgram, mengingatkan tekanan untuk menciptakan kepatuhan juga bisa menimbulkan perlawanan, dalam wujud social disobedience. Tersamar maupun terbuka. Bahkan orang biasa sekali pun bisa tiba-tiba melakukan kekerasan atau pun ‘kekejaman’ ketika berada di bawah tekanan yang terlalu memaksanya menyesuaikan diri.

Persatuan kembali, bukan sesuatu yang bisa diperintahkan

Baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sewaktu di stasiun bawah tanah Senayan sama meminta ‘rekonsiliasi’ di antara para pendukung. Mengakui bahwa kompetisi di Pilpres yang lalu berlangsung sangat keras di antara mereka berdua dan para pendukung, maka kata Jokowi, dilakukan silaturahmi.

Dan “kita juga berharap agar para pendukung melakukan hal yang sama karena kita adalah saudara sebangsa dan setanah air.” Sangat retoris.

“Marilah kita rajut, kita gerakkan kembali persatuan kita sebagai sebuah bangsa.”

Seruan ini diulangi Joko Widodo Minggu malam 14 Juli di acara ‘syukuran kemenangan’ di SICC Sentul City. Prabowo menanggapi dengan ikut menegaskan pentingnya persatuan pasca Pemilihan Presiden 2019.

Kelihatannya kedua tokoh itu beranggapan, retorika dan komando mereka bisa memulihkan pembelahan di antara para pendukung. Memang bisa semudah itu? Tak boleh naif. Bukan akar rumput yang membakar padang ilalang permusuhan, melainkan para elite politik pengejar kekuasaan yang memulai dan telah melontarkan percikan api ke padang ilalang sosial politik yang memang sedang kering kerontang. Dan begitu lama kobaran api dibiarkan merambah luas di tengah masyarakat. Di antara para pendukung mereka terjadi pembelahan yang kadangkala serupa perang saudara.

Selain itu, para tokoh bersama para elite politik dan kekuasaan sumber api, juga agaknya tak mengingat adanya kelompok belahan ketiga yang kritis di masyarakat. Belahan ketiga ini sesungguhnya sama sekali tak punya concern untuk kemenangan Joko Widodo ataupun Prabowo. Mereka lebih concern bagi terlaksananya demokrasi secara baik dan benar. Karena itu, saat tercium ada aroma kecurangan dalam Pemilihan Umum, yang untuk sebagian kasat mata, mereka menuntut kejelasan dan penuntasan. Apalagi, mereka meyakini sejumlah kecurangan memang betul terjadi.

Persoalan belum selesai.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar