Menafsirkan Hukum Dalam Perjanjian Kontrak Dalam KUHP

Senin, 15/07/2019 13:37 WIB
Ilustrasi (Lamudi)

Ilustrasi (Lamudi)

law-justice.co - Dalam kehidupan sehari-hari, adakalanya kita harus berurusan dengan surat kontrak atau perjanjian, baik yang berhubungan dengan pekerjaan, atau pun hal lainnya. Namun, sebagai orang awam, kadang kita kesulitan menafsirkan sebuah surat kontrak atau perjanjian tersebut.

Padahal, jika sampai terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian (kontrak), bisa menimbulkan konflik atau sengketa diantara para pihak yang terlibat.  Karena masing masing pihak  menafsirkan bunyi atau ketentuan di dalam perjanjian tersebut secara berbeda sehingga tidak ada kesuaian antara keduanya.

Peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) sudah memberikan pedoman mengenai cara menafsirkan perjanjian atau kontrak yang mungkin masih belum banyak diketahui oleh masyarakat.

Pedoman tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1342- Pasal 1351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Adapun cara melakukan penafsiran terhadap perjanjian atau kontrak adalah sebagai berikut:

1. Jika kata-kata dalam suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan cara penafsiran (dasar hukum, Pasal 1342 KUHPer).Pasal ini mengatakan bahwa jika pasal-pasal di dalam perjanjian telah jelas maka para pihak dilarang untuk melakukan penafsiran;

2. Jika kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka kata-kata tersebut harus ditafsirkan menurut maksud dari kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut daripada memengang teguh arti kata-kata menurut huruf (dasar hukum, Pasal 1343 KUHPer).

Misalnya dalam perjanjian jual beli beras dikatakan bahwa “semua yang ada di dalam gudang” sebenarnya yang dimaksud dari kalimat itu adalah semua beras yang     ada di dalam gudang. Jadi jika ada barang lain di dalam gudang seperti sepeda atau kursi, maka barang-barang tersebut tidak termasuk dalam cakupan dari “semua yang ada di dalam gudang”;

4. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu dapat dilaksanakan, dari pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan (dasar hukum, Pasal 1344 KUHPerdata).Pasal ini mengarahkan penafsiran agar perjanjian dapat dilaksanakan dari pada penafsiran yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan;

Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (dasar hukum, Pasal 1345 KUHPerdata). Misalnya perjanjian pinjam meminjam uang dengan bunga. Bunga di sini dapat diartikan sebagai kembang dan dapat pula diartikan sebagai rente atau tambahan uang pembayara. Akan tetapi karena perjanjian ini adalah perjanjian pinjam meminjam uang tidak mungkin kata bunga ini ditafsirkan sebagai kembang, tetapi harus ditafsirkan sebagai rente atau tambahan uang pembayaran;

5. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat di mana perjanjian telah dibuat (dasar hukum, Pasal 1346 KUHPerdata). Misalnya ada perjanian jual beli makanan pokok yang berlokasi di Maluku. Maka dapat dipastikan menurut kebiasaan tempatnya makanan pokok yang dimaksud bukan lah beras melainkan sagu;

6. Hal-hal menurut yang kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukan dalam persetujuan (dasar hukum, Pasal 1347 KUHPer), meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Misalnya kebiasaan daerah setempat adalah dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian;

7. Perjanjian yang dibuat tidak dapat ditafsirkan sebagian demi sebagian melainkan harus ditafsirkan sebagai satu keutuhan (dasar hukum, Pasal 1348 KUHPerdata;

8. Jika ada keragu-raguan maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu (dasar hukum, Pasal 1349 KUHPerdata). Dengan kata lain, maksud pasal ini adalah jika suatu perjanjian apabila ditafsirkan akan merugikan salah satu pihak, maka penafsiran harus diarahkan kepada kerugian kreditur dan keuntungan debitur.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar