Dr.Pasar Maruap Pakpahan SKM

Dokter Kesehatan Masyarakat Pertama dari Pangaribuan Tapanuli

Minggu, 30/06/2019 05:50 WIB
dr. Pasar Maruap Pakpahan SKM dan istri (Ist)

dr. Pasar Maruap Pakpahan SKM dan istri (Ist)

Pangaribuan, law-justice.co - Kalau mau sukses mengejar cita-cita hidup semua hambatan dan halangan pasti bisa diatasi jika mau berusaha dan berjuang keras serta pantang menyerah. Itulah yang menjadi motto hidup dari seorang Dokter senior yang juga Dokter spesialis kesehatan masyarakat (public health) Dr Pasar Maruap Pakpahan SKM. Dengan keterbatasan jarak dan kondisi kehidupan di kampungnya yang masih tertinggal di Parsorminan, Pangaribuan Tapanuli Utara (sekitar 9 jam berkendaraan dari Medan), dia tetap mampu mewujudkan cita-citanya sebagai dokter kesehatan masyarakat pertama marga Pakpahan dari kampungnya, pada tahun 1966.

Sebagai wujud atas berkat dan karunia umur panjang yang diberikan Tuhan kepadanya, Dokter Pasar sengaja merayakan jubileum ulangtahunnya yang ke-80 di kampungnya, Parsorminan II, Pangaribuan, Tapanuli Utara, Minggu (23/6). Dia sengaja mengundang sekitar 700 orang warga kampungnya yang bergereja di 4 gereja (HKBP, HKI, GKPI, Pentakosta) untuk jamuan makan bersama dan beramah tamah.

Selain itu dalam acara terpisah dia juga mengundang kerabat terdekat dan pengetua adat di kampungnya untuk jamuan namargoar (sesuai adat Batak). Pokoknya kepulangannya kali ini ke kampung adalah sebagai kaulnya untuk melayani dan berbagi dengan orang sekampung jika diberi Tuhan berkat kesehatan dan umur yang panjang.

Selama acara di kampung, Dokter Pasar selalu bersaksi dan memberi motivasi kepada jemaat dan warga kampung. Dia sebagai anak kampung bisa sukses walau lahir di kampung dengan segala keterbatasannya. Dia bercerita sewaktu SD harus berjalan kaki berkilometer untuk bisa sampai di sekolah. Saat itu di rumahnya tidak ada listrik dan tidak ada jalur transportasi. Walau begitu dia tidak menyerah dan terus bertekad harus bisa menjadi dokter seperti yang dicita-citakan. 

Namanya disebut Pasar karena dia saat lahir memang di jalanan pasar Pangaribuan, yang saat itu sedang hari pekan (harinya ada pasar). Ketika itu kedua orangtuanya sedang berdagang di pasar. Dokter Pasar dalah anak ketiga dari sembilan bersaudara yang lahir tanggal 19 Juni 1939. Sebagai anak laki-laki tertua dari Toke Arsenius Pakpahan (+) dan Kollina br Sormin (+), kedua orangtuanya memang sangat berharap mendapatkan anak laki-laki, sebab dua anak sebelumnya adalah perempuan.

Sejak kecil dia memang sangat dekat dengan kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya. Sepulang sekolah, dia ikut membantu pekerjaan orangtuanya di sawah dan berdagang kemenyan (hamijon dalam bahasa Batak). Teman-temannya memanggil dia dengan sebutan ”Pasar” dan sampai sekarang saudara dan keluarga di Bona Pasogit (kampung halaman) memanggil namanya dengan sebutan ”Dokter Pasar”. 

Kepada law-justice.co, Dokter Pasar menceritakan sekelumit riwayat kehidupannya. Ayah dari Dokter Pasar adalah pedagang kemenyan yang terkenal di Humbang dan Tapanuli. Setelah usaha kemenyannya semakin maju, ayahnya pindah dari Pangaribuan ke Tarutung, pada saat setelah kemerdekaan Indonesia. Setelah lulus SD tahun 1952, dia melanjutkan ke SMP Negeri Sigompulon, Tarutung.

Masa remajanya banyak dihabiskan di Tarutung dan bermain dengan teman-teman SD dan SMP Sigompulon, antara lain; Dr Naek L.Tobing, Kol.Purn. Odjak Panggabean, Hakim Tinggi Poltak Sahat Tua Simanjuntak SH, Kol. Purn.Paian Matondang, Drs Monang L.Tobing, Drs Holan L.Tobing, Drs Marhusa L.Tobing, Kol. Purn. Hatman Sihite, dll.

Setelah lulus SMP pada tahun 1955, dia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri I Teladan, yang dulu berada di Jalan Seram/Sutomo Medan, karena pada saat itu belum ada sekolah SMA di Tarutung. Waktu itu, SMA Negeri I Teladan adalah SMA favorit dan terbaik di seluruh Sumatera Utara. Salah satu teman SMA yang seangkatan dengannya, antara lain, mantan Gubernur Sumatera Utara, alm. Raja Inal Siregar. Setelah tamat SMA pada tahun 1958, dia berhasil lulus tes masuk ke Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU).

Sebagai mahasiswa kedokteran, dia termasuk mahasiwa yang rajin dan tekun. Itu terbukti, dia lulus tingkat C 1 dalam waktu hanya 9 bulan dan sebagai hadiah atas prestasinya, mendapat uang ikatan dinas dari Departemen P dan K. Dia termasuk salah satu alumni Fakultas Kedokteran USU yang tercepat menyelesaikan pendidikan diangkatannya pada tahun 1966 dan seangkatan dengan Dr Darwan Purba (pemilik Jakarta Eye Center).

Pada tahun 1979, dia mendapat beasiswa tugas belajar dokter spesialis kesehatan masyarakat (public health) di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Lulus pada tahun 1981 dan teman-teman seangkatannya antara lain; Dr Sonya Roesma (mantan Direktur Utama PT ASKES) dan Dr Sumaryati Aryoso (mantan Kepala BKKBN).

Setelah lulus menjadi Dokter pada tahun 1966, dia mengikuti tugas wajib sebagai dokter pemerintah di Puskesmas Pasir Pangarayan, Riau. Dia bertugas selama setahun di kota setingkat kecamatan ini. Pasir Pangarayan adalah tempat terpencil dan sangat jauh dari ibukota provinsi Riau, Pekan Baru. Di tempat tugas pertamanya ini, dia banyak membantu tugas pelayanan kesehatan dasar, yang saat itu fasilitas sarana kesehatannya sangat minim dan banyak masyarakat yang belum terjangkau pelayanan kesehatan dasar.

Tahun 1967, dia pindah tugas ke Pangururan, menjadi Kepala Rumah Sakit Umum (RSU) Pangururan dan merangkap Kepala Kesehatan Wilayah Samosir. Di Samosir, dia bertugas selama dua tahun dan seperti pulang kampung saja, karena marga Pakpahan berasal dari Samosir. Di sini juga masih banyak rakyat Samosir yang menderita berbagai macam penyakit rakyat di pedalaman. Dengan sarana transportasi air di Danau Toba yang serba terbatas, dia mengunjungi berbagai kecamatan yang ada di Samosir untuk melaksanakan tugas pelayanan kesehatan dasar masyarakat. Pada saat itu, RSU Pangururan adalah satu-satunya rumah sakit rujukan tipe D, yang ada di wilayah Samosir.

Dia bercerita betapa beratnya ketika melayani kesehatan dasar di wilayah Samosir dan Tapanuli Utara pada tahun 1960-an yang penuh dengan perjuangan dan keterbatasan prasarana serta fasilitas kesehatan. Dulu belum ada dokter dan yang ada hanya mantri kesehatan. Mantri itu pun tidak ada di setiap desa. Rakyat yang berobat pun tidak dipungut biaya dan biasanya sebagai tanda terima kasih, mereka membawa hasil kebun dan ternaknya kepada dokter yang sudah menyembuhkan sakit mereka. 

Lalu pada tahun 1969, dia pindah tugas lagi ke Tarutung dan diangkat menjadi Direktur RSU Tarutung. Selain bertugas mengurus manajemen rumah sakit, dia juga ikut melaksanakan pengobatan medis dan operasi bedah, karena pada saat itu masih sangat minim dokter spesialis. Sebagai rumah sakit pemerintah terbesar di eks Keresidenan Tapanuli, dia ikut membangun terbentuknya Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) Tarutung. Penugasan di RSU Tarutung, adalah penugasan terlama sepanjang karier sebagai aparat pemerintah, yaitu selama 8 tahun.

Dari Tarutung, dia dipindahkan ke Medan pada tahun 1977 dan menjabat sebagai Staf Ahli Kepala Dinas Kesehatan Sumatera Utara. Setelah berdinas empat tahun di Medan, tahun 1982 dia pindah tugas ke RSU Pertamina Pangkalan Brandan, sebagai dokter medis di bidang pelayanan penyakit dalam. Dua tahun tinggal di komplek Pertamina, tahun 1984 dia pindah tugas ke Kanwil Depkes Sumatera Utara. Namun hanya beberapa bulan kemudian dia dipindahtugaskan ke Dili, Timor Timur, sebagai Kepala Bidang Penyusunan Program & Evaluasi Kanwil Depkes Timor Timur, sampai tahun 1989.

Kemudian pindah tugas lagi sebagai Kepala Kantor Wilayah PT ASKES Provinsi Timor Timur sampai tahun 1992. Penugasan selama tujuh tahun di Timor Timur adalah pengalaman sangat mengesankan bagi dia. Disamping masalah kesehatan rakyat marjinal yang sangat kompleks, situasi Timor Timur saat itu sangat rawan konflik bersenjata. Pertama kali ke Timor Timur tahun 1984, tidak sembarangan orang bisa masuk ke wilayah Timor Timur. Setiap orang harus membawa surat jalan dan screening dari aparat militer terkait yang ada di Jakarta.

Namun dia menikmati tugasnya di Timor Timur, suatu negeri yang alamnya indah dan adat istiadatnya banyak dipengaruhi budaya Portugis. Selama bertugas meninjau pelayanan kesehatan di pedalaman Timor Timur, dia kerap bertemu dengan gerilyawan tentara Fretilin yang saat itu menjadi musuh negara dan bersembunyi di pedalaman Timor Timur. Namun mungkin karena seorang dokter, dia tidak diganggu dan mereka hanya meminta obat dan makanan saja. Tingginya angka kematian ibu dan anak yang baru lahir, adalah salah satu problem pelayanan kesehatan dasar di Timor Timur, tambah Dokter Pasar.

Setelah bertugas di bidang pelayanan kesehatan selama 23 tahun, dia dipindahkan ke bidang lain, yaitu pelayanan asuransi kesehatan oleh BUMN Depkes, PT Asuransi Kesehatan (ASKES) Indonesia (sekarang BPJS Kesehatan). Kepindahannya ini sempat dipertanyakan oleh Gubernur Timor Timur saat itu, Mario Viegas Carascalao. Gubernur merasa masih membutuhkan tenaganya sebagai  dokter kesehatan masyarakat untuk membangun program kesehatan dasar di Timor Timur yang masih tertinggal jauh.

Dokter Pasar yang tadinya sebagai birokrat PNS, maka sekarang dia harus mengubah mindset-nya sebagai profesional korporasi yang tugas utamanya adalah usaha untuk memperoleh profit. Setelah tiga tahun memimpin PT ASKES Timor Timur, pada tahun 1992, dia dipindahkan ke Palembang dengan menjabat sebagai Kepala Wilayah PT ASKES Provinsi Sumatera Selatan. Tiga tahun di Palembang, akhirnya tahun 1995, dia pensiun dari PT ASKES dan dikembalikan ke instansi asal Departemen Kesehatan. 

dr.Pasar Maruap Pakpahan SKM, berpakaian Scotland saat mengunjungi putrinya yang bersekolah di Dundee, Skotlandia, tahun 2012 (Ist)

Tahun 1995 sampai 2004, dia bertugas sebagai Widyaiswara Utama/Ahli Utama di Pusdiklat dan Balai Besar Pelatihan Kesehatan Depkes dan pensiun dalam jabatan fungsional Depkes pada usia 65 tahun dengan pangkat tertinggi dalam birokrasi pemerintahan, Pembina Utama (IV E). Setelah pensiun dari Depkes dan karena masih merasa sehat, dia masih ingin terus bekerja dan menjadi Konsultan Manajemen Pengembangan Komunitas, Pemberdayaan, Partisipasi dan Capacity Building, Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus ( P2DTK ) Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Propinsi NAD, Banda Aceh, tahun 2006. Sepulang dari Aceh dan sampai sekarang tetap membuka praktek umum sebagai Dokter Keluarga.

Berefleksi atas perjuangan semasa kecil dari sekolah di kampung, hingga  masa kerjanya di Depkes dan Askes selama 38 tahun dan juga pernah bekerja di sektor swasta, menjadi motivasi dan kekuatan bagi sanak keluarganya untuk bisa mengikuti setapak demi setapak jejak dan pengalaman hidupnya, seperti; punya daya spirit yang tinggi, harus siap kerja keras, tidak mudah menyerah dan rajin beribadah.  Selain masih berpraktek dokter, dia juga ikut melayani di perkumpulan lansia HKBP Cinere.

Kepada anak-anaknya, dia mengajarkan bagaimana pentingnya tetap membina hubungan dengan tanah leluhur. Dia berkata, kita harus tahu darimana kita berasal dan untuk membangun rasa ikut memiliki kampung halaman, beberapa kali dia mengajak semua keluarganya ikut serta pulang kampung bersama. Terakhir, beberapa tahun lalu, dia beserta keluarga besarnya pulang kampung bersama ke Parsorminan, Pangaribuan untuk mengadakan pesta adat ”Horja” memakamkan kembali tulang belulang leluhur opungnya Toke Arsenius Pakpahan.

Menurut Dokter Pasar, kepada anak-anaknya, dia tidak memberi harta dan kenikmatan dunia tetapi mewariskan bekal kepada anaknya untuk bisa bersekolah setinggi mungkin. Karena dia berpesan, hanya dengan pendidikan dan tentunya doa maka setiap orang bisa berhasil dan memberi makna dalam hidupnya. Sebagai anak tertua dikeluarganya Dokter Pasar sangat patuh kepada orangtuanya, termasuk sampai mencari jodoh adalah karena pilihan orangtuanya. Dia menikah dengan Marnala Tobing, putri seorang Gubernur Residen Tapanuli yang terakhir, Raja Patuan Natigor Lumbantobing. Sayangnya dari lima anaknya, tidak seorang pun yang mau meneruskan jejaknya sebagai dokter, tetapi ada satu cucunya, Gilbert Sahata Sirait (cicit Ephorus HKBP Batak pertama, Pdt. K.Sirait) menjadi mahasiswa kedokteran. 

Saat acara menjamu makan dan ramah tamah dengan jemaat gereja dan masyarakat di kampungnya, Dokter Pasar terlihat gembira dan bernyanyi bersama dengan jemaat dan tetua adat, sambil diiringi organis, cucunya Darlene Sihite. Kepada jemaat warga Gereja HKBP Parsorminan II dia menyumbangkan sebuah organ baru untuk mengganti organ lama yang sudah rusak. Kepada semua jemaat dan warga yang hadir juga diberikan bingkisan dan amplop, termasuk kepada Pendeta dan Guru Huria.

Setelah acara berakhir dengan sukacita dia berkata," Kalau Tuhan memanggil saya pulang, saya sudah siap dan meminta untuk dimakamkan di kampung ini dan memang sudah ada tambaknya (tanah makamnya)". Mengakhiri pembicaraan dengan law-justice.co, dia berkata sambil mengutip ayat Alkitab yang mengatakan, ”...Kerjakanlah bagian kita dengan setia..Dan lihatlah, Tuhan akan mengerjakan bagianNya dengan sempurna”. Jadi teladan kehidupan dan pengalaman karya kerja nyata sebagai dokter pelayan kesehatan masyarakat itulah yang ingin dibagikannya kepada kita semua. Semoga panjang umur dan sehat terus ya, Dokter Pasar Pakpahan!.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar