Kritik di Hut Polri ke-73:

Nafsu Polri Berpolitik dan Kasus Korban Tewas Ditembak 21-22 Mei

Minggu, 30/06/2019 21:30 WIB
Baliho Larangan Aparat Negara Berpolitik Praktis (rmol)

Baliho Larangan Aparat Negara Berpolitik Praktis (rmol)

Jakarta, law-justice.co - Tanggal 1 Juli 2019, Polri akan merayakan ulang tahunnya yang ke 73. Peringatan ini terasa istimewa karena Polri banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat khususnya setelah terjadi peristiwa kerusuhan di Jakarta tanggal 21-22 Mei 2019 yang berakibat meninggalnya 8 orang pria yang dianiaya brimob polisi, seperti yang dilaporkan LSM Amnesty International.

Bukan hanya itu Polri juga banyak disorot karena dinilai lebih banyak bermain politik dalam Pilpres dan Pileg lalu, ketimbang menjalankan tugas pokoknya yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat atau keamanan seluruh warga negara. Setelah 73 tahun usianya, benarkah Polri semakin terseret  kedunia politik sehingga mengabaikan peran dan fungsi yang sebenarnya ? Bagaimana caranya agar Polri ke depan bisa kembali ke khittahnya? Lantas bagaimana nasib pengusutan kasus tewasnya 8 orang tersebut, yang tak kunjung ada kemajuan dan sengaja berjalan di tempat.

Polisi Harusnya Netral

Sesungguhnya polisi sebagai organisasi dan individu tak diperkenankan untuk terkontaminasi politik. Karena  politik yang dimaknai sebagai upaya yang dilakukan oleh individu maupun organisasi parpol untuk mendapatkan kekuasaan sarat dengan praktek dan siasat yang seringkali menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Bilamana polisi itu berpolitik praktis maka sesungguhnya polisi menjebak dirinya dalam pusaran konflik  berkepanjangan yang tak pernah mengenal finis. Karena itu polisi sebagai pemelihara kamtibmas, penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat haruslah netral dari keterpengaruhan politik praktis.

Kenetralan menjadi harga mati bagi organ dan individu polisi, supaya tugas pokok dan fungsinya tak ada yang intervensi dan tak akan memihak. Kemuliaanya terjaga demi tegaknya keadilan, rasa terayomi masyarakat walau berseberangan dengan rejim politik penguasa yang mereka dukung. Kenetralan kepolisian akan berbuah manis dan lezat melebihi keberpihakan pada politik yang menjanjikan harapan palsu dan iming-iming selangit yang tak mungkin akan terealisasi. Janji dan iming-iming mereka lakukan supaya mendapatkan dukungan, mendholimi pihak lain dan menghalalkan segala cara adalah kewajaran yang dilakukan para pemain politik praktis demi meraih tujuannya.

Perlu kita ketahui bahwa netralitas TNI/Polri itu telah diatur di dalam Undang-Undang, sebagai berikut :

Undang-Undang 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 28 (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 41 ayat (2) Pelaksana Kampanye dalam kegiatan kampanye dilarang mengikutsertakan: f. anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia;

Pasal 67, ayat (2) pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu tim kampanye dan atau pelaksana kampanye.

Dari dasar hukum tersebut di atas sudah sangat jelas bahwa Presiden Panglima Tertinggi wajar dengan terus memberikan arahan serta perintah untuk menjaga netralitas kepada seluruh jajaran TNI/Polri, karena hal tersebut sudah sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku. Di dalam negara demokrasi dengan adanya netralitas dari aparatur militer atau pun penegak hukum adalah sebuah keniscayaan.

Realita di Lapangan Berbeda

Meskipun sejatinya Polri dilarang berpolitik praktis alias harus netral tapi akhir-akhir ini merasakan betapa sebagai institusi Polri sudah terseret terlalu jauh di dunia politik praktis. Polri dibawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian begitu kentara bermain politik praktisnya.Polri  dibawah kendali Jenderal Tito Karnavian dinilai sudah terseret ke pusaran politik praktis yang menguntungkan penguasa.

Ketelibatan Polri ke dalam pusaran politik praktis sudah mulai terlihat jelas sejak tahun 2014 yang lalu. Sejak tahun 2014 ada riak-riak kecil yang menunjukkan Polri aktif terindikasi sudah terkontaminasi oleh kepentingan Politik.  Analisa itu timbul sejak terjadinya kriminalisasi besar-besaran terhadap KPK dan para pendukung KPK pada tahun  2015.

Pada waktu itu, bagaimana mungkin sebuah kasus kecil  yang tidak berarti yaitu kasus pemalsuan KTP (membantu memalsukan)  mampu memberhentikan secara telak Ketua KPK  dari jabatannya. Si pemalsu KTP tidak diusut sama sekali oleh Polisi (bahkan sepertinya disembunyikan polisi), tetapi yang membantu memalsukan malah dikejar-kejar dengan kekuatan penuh kepolisian. Ini sangat tidak masuk akal dan ini sangat memprihatinkan. Kuat indikasi bahwa saat itu Polri sudah dikendalikan oleh Partai penguasa.

Selain itu Polri kita sudah terlihat  ikut-ikutan bermanuver politik di Pilkada serentak atau tepatnya pada kontestasi Pilgub DKI 2017. Pertarungan politik antara Partai penguasa dengan sejumlah pihak-pihak kecil  berbuah banyak pengaduan aneh-aneh ke Polisi. Tiba-tiba muncul belasan kasus-kasus aneh yang mirip terjadi pada tahun 2015.

Secara logika, sangat mungkin terjadi  bila ada pihak-pihak yang berkuasa sanggup mengintervensi Polri. Salah satu contohnya yang  bisa dirasakan secara mencolok adalah Kasus Dana Hibah Kwartir Pramuka dan Kasus Dugaan Korupsi Pembangunan Masjid di  Jakarta Pusat. Dua kasus ini booming pada saat salah satu Kontestan Pilkada DKI sedang dalam posisi tertinggi elektabilitasnya. 

Yang jadi pertanyaan adalah mengapa Polri harus menyegerakan mengusut  2 kasus ini pada saat musim kampanye Pilgub DKI? Mengapa kasus ini tiba-tiba timbul begitu saja tanpa ada penjelasan dari Polri tentang siapa yang melaporkannya dan bagaimana kronologis kasus ini sehingga bisa menjadi prioritas Polri?

Bahwa Polri terlibat politik praktis juga bisa dilihat saat terjadinya peristiwa dimana  sejumlah anggota Polri mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Ada tiga jenderal polisi yang maju sebagai calon Gubernur, yakni mantan Kapolda Jawa Barat Irjen Anton Charlyan, mantan Kapolda Kalimantan Timur Irjen Safaruddin, dan mantan Dankor Brimob Irjen Murad Ismail (Maluku).

Sedangkan untuk calon Bupati/ Wali Kota terdapat nama, Kapolres Tapanuli Utara Sumatera Utara AKBP Jonius Taripar Parsaoran Hutabarat (Tapanuli Utara), Kombes Syafiin (Jombang), AKBP Marselis S, mantan Kapolres Manggarai Timur (Manggarai Timur), Bripka Nichodemus Ronsumbre (Biak Numfor, Papua). Indikasi keterlibatan Polri dalam pusaran politik juga ditunjukkan dari pernyataan-pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Beberapa kali pernyataan Tito dinilai oleh pengamat politik bernuansa politis. Sebut saja, pernyataan Tito tentang krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar.

Ketika itu Tito menyebut persoalan Rohingya banyak dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyerang Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Tito mengatakan cara-cara yang dilakukan kelompok tersebut pernah digunakan dalam Pilkada Serentak 2017 untuk menyerang salah satu pasangan calon dan pemerintah.

Mantan Kapolda Metro Jaya ini  juga pernah melontarkan pernyataan bernuansa politis jelang aksi reuni 212, 2 Desember 2017 silam. Dia mengatakan arah aksi yang digelar Presidium Alumni 212 itu masih berkaitan dengan politik, terutama terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 dan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. "Ini (Reuni 212) juga enggak akan jauh-jauh dari politik juga, politik 2018. Ini pastinya ke arah politik 2018 dan 2019," kata Tito di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, 30 November 2017.

Polri juga kembali terseret ke pusaran politik ketika beberapa waktu yang lalu Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo meminta Polri mengusulkan dua nama perwira tinggi Polri setingkat Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon satu untuk menduduki kursi penjabat (Pj) Gubernur di dua provinsi, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Terseretnya Polri kedalam praktek praktek politik praktis akhirnya banyak membuat ragu masyarakat akan netralitas Polri terutama dalam pelaksanaan Pilpres 2019 yang sekarang masih ramai disidangkan hasilnya di Mahkamah Konstitusi karena digugat kubu pasangan Prabowo –Sandiaga.

Pada saat pelaksanaan pilpres terlihat  aparat yang seharusnya bertugas menjaga kedaulatan negara dan menjaga keamanan masyarakat telah terseret masuk ke dalam kegiatan politik praktis. Pengakuan mantan Kapolsek Pasirwangi Kabupaten Garut, Jawa Barat, Ajun Komisaris Sulman Azis, membuat mata kita semakin terbuka melihat kebobrokan Korp Bhayangkara. Lembaga negara yang seharusnya netral mengawal demokrasi, malah ikut-ikutan melibatkan diri demi merebut kekuasaan.

Sulman mengaku diperintahkan untuk mendata dukungan masyarakat oleh Kapolres Garut. Perintah yang sama juga ditujukan kepada seluruh Kapolsek. Ini sungguh sudah keterlaluan. Tentu peristiwa ini tidak hanya berlangsung di Garut, tapi mungkin saja terjadi di hampir semua instansi Kepolisian di seluruh Tanah Air.

Sebelum pengakuan ini muncul, sebuah tangkapan layar yang diduga percakapan grup Whatsapp (WA) Polres Bima juga menyebar di media sosial. Dalam screenshot chat terdapat perintah dari seorang Kapolres kepada para Kapolsek untuk membantu memenangkan pasangan Capres nomor urut 01. Polisi berpangkat AKBP dengan inisial EA itu menegaskan para Kapolsek akan dievaluasi jika diwilayahnya pasangan 01 kalah.

Instruksinya sama dengan pengakuan Sulman. Semua Kapolsek harus menggalang dukungan bagi kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Mereka juga diancam, jika di wilayah mereka kandidat petahana kalah, para Kapolsek itu akan dimutasi dan dipindahkan ke daerah lain.

Gelagat keterlibatan Polri dalam politik praktis sebetulnya sudah tercium sejak awal. Aktivis Hak Asasi Kemanusiaan (HAM), Haris Azhar, pernah mengungkap bahwa pada saat Pilpres lalu pihak  Kepolisian tengah mendata kekuatan dukungan masyarakat terhadap paslon peserta Pilpres 2019. Untuk apa polisi ikut-ikutan mendata kalau tidak memiliki maksud tertentu?

Pada saat Pilpres beberapa waktu lalu, Polri juga sempat memantik kontroversi ketika menggelar even Kampanye Millenial Road Safety Festival (MRSF). Sebuah kegiatan yang digelar Polri di Jawa Timur pada Minggu, 17 Maret 2019, ini disisipi aktivitas politik yang menguntungkan Jokowi. Dalam even itu, diputar lagu berjudul Jokowi wae (Jokowi saja). “Jokowi wae mas, Jokowi wae, ojok liyane, ojok liyane Jokowi wae (Jokowi saja, jangan yang lain),” begitu bunyi bait lagu tersebut. Dalam acara MRSF itu, sejumlah poster Jokowi juga ikut terpampang.

Acara ini tidak hanya digelar di Jawa Timur, melainkan di beberapa daerah di Indonesia. Dan tidak sekali menuai kontroversi. Pada saat acara MRSF digelar Lapangan Renon, Denpasar, 17 Februari lalu, Gubernur Bali I Wayan Koster berkampanye mengajak massa yang datang untuk mendukung Jokowi.

Kontroversi lain yang juga menggemparkan adalah beredarnya isu bahwa institusi Polri membentuk pasukan buzzer pendukung Jokowi-Ma’ruf dengan menggunakan aplikasi android, Alumni Sambhar. Rumor ini diungkap salah satu akun Twitter anonim yang bernama @Opposite6890.

Akun itu menyebut polisi membentuk tim buzzer 100 orang per Polres di seluruh Indonesia yang terorganisasi dari pusat hingga daerah. Induk buzzer itu bernama ‘Alumni Sambhar’ yang beralamat di Mabes Polri. Tudingan itu ia buktikan dengan menganalisis aplikasi APK SAMBHAR yang ternyata memang menggunakan alamat IP milik Polri.

Terseretnya Polri didunia politik praktis tak terlepas dari peran Presiden Jokowi sendiri yang meminta TNI dan Polri agar menjelaskan soal capaian kinerja pemerintah kepada masyarakat. Permintaan Jokowi semakin memperkukuh betapa rusaknya demokrasi di era rejim Jokowi. Karena telah menjadikan TNI dan Polri sebagai corong pemerintah yang sejatinya adalah strategi usang yang dulu selalu diterapkan oleh Orde Baru. Sejak orde reformasi berembus, mulai dari B.J Habibie, Gus Dur, Megawati sampai SBY tidak ada seorang Presiden pun yang mengajukan permintaan ini kepada TNI dan Polri.

Perlu Dikandangin

Meskipun UU Kepolisian dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, pasal 28 Ayat (1) meskipun telah diatur secara jelas bahwa Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak boleh melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, namun dalam praktek hal itu masih sulit untuk dilakukan.

Sejauh ini adanya dugaan keterlibatan elite polisi yang melanggar pasal ini belum pernah dilakukan pengusutan secara tuntas dan diberikan sanksi yang sesuai.  Oleh karena tidak ada sanksi maka tidak mengherankan kalau masalah ini selalu terulang kembali. Dalam hal ini agaknya bisa dimengerti mengapa sanksi itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Bisa jadi karena elite politik yang sedang berkuasa memang sengaja membiarkan semua ini tetap terjadi karena sejalan dengan kepentingan politiknya.

Oleh karena itu, untuk menuju ke arah negara demokrasi, perubahan undang-undang kepolisian perlu dilakukan dengan tidak bersifat vertikalistis dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. Sejauh ini harus diakui endapan citra polisi  yang diidentifikasikan sebagai alat kekuasaan masih kental terlihat dengan jelas. Seiring hal itu reformasi Polri yang telah berjalan 21 tahun juga belum berpengaruh terhadap netralitas polisi.

Kiranya perlu dilakukan perubahan fundamental  terkait dengan  peran, fungsi dan kewenangan Polri agar kembali ke khittahnya  sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.  Kewenangan dan fungsinya harus dibatasi oleh Undang Undang agar tidak menjadi lembaga yang super power dan bisa lepas control, sehingga terbuka peluang untuk bertindak sewenang wenang.

Selain itu secara kelembagaan perlu ditinjau kembali posisi Polri yang sekarang ada di bawah Presiden. Karena keberadaan Polri yang ada dibawah Presiden terkesan berlindung dibawah ketiak Presiden. Gagasan yang muncul bahwa Polri  perlu “dikandangin” dibawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum adalah tepat sekali.

Dengan menempatkan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum diharapkan dapat fokus pada fungsi pokoknya yakni menjaga Kamtibmas dan mengayomi masyarakat, bukan menghadapi masyarakat dengan senjata api atau asyik ikut berpolitik praktis.

Fungsi tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 ayat empat (4), yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

Apa yang dikatakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, bahwa di negara manapun polisi tidak langsung dibawah Presiden tetapi dibawah Kementerian adalah sangat tepat dan benar. Arogansi Polri yang merasa setingkat dengan TNI dan Menteri, yang membuat Polri merasa menjadi lembaga super dan sulit dikontrol. Sebagai contoh, sudah banyak protes tentang Polri terlibat dalam politik praktis saat Pilpres dan Pilkada, tetapi Polri tidak bergeming dan menganggap angin lalu saja.

Begitu juga ketika keluarga korban tewas dianiaya anggota Brimob saat kerusuhan 21-22 Mei, memprotes ucapan Kadiv Humas Polri bahwa korban tewas adalah pelaku kerusuhan, tetap saja Polri tidak meralat ucapannya dan tak peduli dengan tuntutan keluarga korban agar Polri segera mengungkap pelaku penembakan tersebut. Malah ironisnya, Polri justru membuat skenario baru yang mengatakan korban tewas dalam kerusuhan tersebut sudah ditembak di tempat lain dan mayatnya sengaja dibuang di dekat lokasi kerusuhan.

Pernyataan polri seperti ini sangat tidak profesional dan tidak berempati kepada nasib keluarga para korban yang sudah jatuh, masih tertimpa tangga pula. Mereka merintih meminta keadilan kepada negara tetapi negara tidak mau hadir di sana. Dua fakta kasus Polri bermain politik dan mandeknya pengungkapan kasus penembakan korban kerusuhan 21-22 Mei, menjadikan periode Polri di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian adalah periode Polri terburuk dalam sepanjang sejarah kepolisian. Quo Vadis Polisi kita!.

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar