Kerusuhan 21-22 Mei 2019

Meski Kerap Diancam, Keluarga Korban Maju Terus Tuntut Keadilan

Jum'at, 21/06/2019 14:02 WIB
Syafri Alamsyah (58 tahun), ayah almarhum Farhan Syafero korban kerusuhan 21-22 Mei 2019, menuntut pengusutan pelaku penembak putranya. (Winna Wijaya/law-justice.co)

Syafri Alamsyah (58 tahun), ayah almarhum Farhan Syafero korban kerusuhan 21-22 Mei 2019, menuntut pengusutan pelaku penembak putranya. (Winna Wijaya/law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Keluarga korban kerusuhan 21-22 Mei 2019, ternyata mendapat ancaman dari aparat kepolisian. Mereka diminta tak melakukan tuntutan atas kematian anggota keluarganya. Hal itu disampaikan anggota tim advokasi korban, Jefri Ricardo.

“Raut keluarga Farhan ketakutan semua. Mereka sering didatangi polisi. Rumah keluarga di Depok dan Cikarang didatangi juga oleh aparat, kurang baik sikapnya,” kata Jefri kepada law-justice.co, 19 Juni 2019.

Syafri Alamsyah, 58 tahun, ayah almarhum Farhan Syafero yang meninggal dalam kerusuhan aksi massa 22 Mei di kawasan Petamburan, Tanah Abang, mengaku didatangi aparat sebelum meminta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada Senin, 17 Juni 2019. Ia menyesalkan adanya upaya penghalangan tatkala ia mencoba meminta pertanggungjawaban negara.

“Kita menuntut keadilan agar tidak ada lagi korban lain. Di satu sisi biar ada yang bertanggungjawab karena ini juga menyangkut nyawa manusia. Kalau selama ini berjalan begitu aja [tanpa kejelasan] ngga selesai-selesai semua,” terang Syafri saat dijumpai law-justice.co di Yayasan Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (20/6).

Bukan hanya keluarga Farhan yang mendapat ancaman. Didin Wahyudin, 45 tahun, ayah almarhum Muhammad Harun al Rasyid (14 tahun), juga mendapat intimidasi serupa. Seminggu pasca-kematian sang putra, ia mendatangi Kantor Komnas HAM berniat meminta bantuan pengungkapan kasus. Selama di lokasi, ia justru ditelfon berulang-kali oleh aparat di kediamannya agar tak melakukan pengusutan. Kepada law-justice.co ia enggan bercerita lebih jauh mengenai ancaman itu, sebab ia meyakini bila mengutarakan fakta lapangan bakal dihalangi ketika menuntut keadilan.

Didin Wahyudin (45 tahun), mengenakan peci hitam, ayah dari almarhum M. Harun al Rasyid saat mendatangi kantor Amnesty International, Kamis (20/6). (Winna Wijaya/law-justice.co).

Akan tetapi, Didin terus mengupayakan agar penembak putranya segera diungkap. “Saya ingin keadilan ini berjalan dan dibukalah supaya yang membunuh anak saya ini tertangkap. Siapapun itu orangnya. Saya minta kejelasan hukumnya. Karena memang anak saya ini jelas-jelas terkena peluru tajam,” tuturnya saat dijumpai di Sekretariat KontraS, Jakarta Pusat, Kamis (21/6).

Rumah Sakit Polri Said Sukanto Jakarta Timur, telah melangsungkan autopsi terhadap lima korban dari total sembilan orang yang meninggal saat kerusuhan. Polisi memastikan empat korban meninggal disebabkan peluru tajam yang dua peluru proyektil diantaranya kini sedang diuji balistik. Klaim polisi, semua korban meninggal adalah perusuh, sebab lokasi kematian itu berada di luar wilayah demonstrasi di depan Gedung Bawaslu, Jalan MH. Thamrin.

Meski sebelumnya Kadiv Humas Mabes Polri, Muhammad Iqbal, sempat mengutarakan kemungkinan pelaku penembakan dari petugas kepolisian, namun hasil investigasi secara resmi belum selesai. “Masih dalam penyelidikan tim investigasi gabungan,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Asep Adi Saputra, saat dikonfirmasi law-justice.co, Senin (17/6).

Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Asep Adi Saputra, saat konferensi pers mengenai kerusuhan 21-22 Mei 2019, Senin (17/6). (Winna Wijaya/law-justice.co)

Syafri dan Didin, bersama tim kuasa hukum korban kerusuhan 21-22 Mei, mendatangi kantor Amnesty International, KontraS, dan Komnas HAM, Kamis (20/6). Mereka menuntut keadilan atas kematian putranya. Selain mereka berdua, ada pula keluarga korban dari Sandro dan Adam Nooryan yang juga meminta bantuan hukum, namun berhalangan hadir. Sementara lima korban lainnya takut kehilangan pekerjaan apabila menindaklanjuti kasus ini. “Apa salahnya keluarga mencari keadilan, karena sampai sekarang tidak ada kejelasan. Pemberitaan pun tidak ada yang lebih lanjut,” kata kuasa hukum Jefri.

Staf Riset KontraS, Rivanlee, menyampaikan usai pertemuan bersama keluarga korban bakal ditindaklanjuti ke Ombudsman RI untuk menemukan kemungkinan adanya maladministrasi aparat selama mengamankan jalannya aksi 21-22 Mei 2019. Selain itu, data KontraS ada pula menyebut keluarga korban yang ditahan karena dianggap perusuh, sulit menyambangi anggota keluarganya karena Dinas Sosial menutup akses.

“Kita sudah jalan dari awal pemantauan dan investigasi. Baru nanti kita masuk jalur advokasinya. Tadi itu menyatukan mereka sudah ke mana saja. Biar desakan makin kencang dan biar negara bergerak bahwa ini masalah besar,” jelasnya kepada law-justice.co, Kamis (20/6).

Sekalipun pemerintah terkesan abai terhadap sembilan korban yang meninggal, bukan berarti upaya menemukan keadilan ikut pula surut. Keyakinan itu menjadi landasan bagi para pendamping yang secara sukarela terus bergerak membikin tidur penguasa tak nyenyak. Sebab bagaimanapun ini berkaitan dengan kemanusiaan, berkaitan dengan nyawa yang melayang, bahkan dua korban meninggal masih duduk di bangku sekolah.

Seperti penuturan ayah Farhan, Syafri, tatkala mengakhiri wawancara, “Perlu hal kemanusiaan yang harus diperhatikan. Soal siapa yang bertanggungjawab, cari. Kan bukan tugas kita orang. Saya hanya sebagai ayah korban yang merasakan kehilangan seorang anak.”

(Winna Wijaya\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar