Saparinah Sadli

Perkosaan Massal 1998 Itu Terjadi, Penanganannya Butuh Sikap Arif

Rabu, 19/06/2019 22:21 WIB
Saparinah Sadli (foto: thejakartapost)

Saparinah Sadli (foto: thejakartapost)

Jakarta, law-justice.co - Saparinah Sadli termasuk salah satu tokoh yang meyakini perkosaan massal pada medio Mei 1998 itu terjadi. Sejumlah kalangan meragukan itu, termasuk Pemerintah Indonesia. Masih lekat dalam ingatan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini bagaimana reaksi pemerintah saat diberitahu ada temuan kasus perkosaan di sejumlah wilayah Jakarta berpenduduk kebanyakan etnis Tionghoa. Itu sebabnya saat awak Law-justice.co meminta waktu untuk wawancara terkait peristiwa Mei 1998, Saparinah pun awalnya menolak.

“Saya ragu apakah bisa memenuhi harapan Sdr,” tulisnya lewat pesan yang dikirim via WhatsApp. Begitupun, Prof. Dr. Saparinah, akademisi sekaligus pejuang HAM, akhirnya berkenan menerima kami di rumahnya yang asri di area elit Jalan Brawijaya Kebayoran Baru Jakarta Selatan.

Keyakinan Saparinah soal pemerkosaan massal saat prahara Mei 1998 bukan tanpa dasar. Dia pernah bertemu dengan beberapa dokter yang menangani pasien korban perkosaan, bahkan sempat bertemu langsung dengan korban. “Setiap dokter yang ketemu saya bilang, ibu jangan bilang ketemu saya. Itu memang etiknya begitu. Jadi saya tahu, karena saya dengar dari dokternya, saya ketemu korbannya. Memang itu terjadi,” katanya.

Meski mengaku tidak tahu persis berapa jumlah korban perkosaan, baginya jumlah bukan lantas menghapus pelanggaran. “Bagi saya nggak usah lima yang diperkosa, satu saja yang diperkosa, cukup bahwa itu adalah pelanggaran. Karena itulah saya tahu bagaimana trauma itu berpengaruh dan berdampak pada keluarga juga.” Mengangkat kembali isu ini berarti membuka luka lama.

“Aku pikir apapun yang mau ditulis jangan sampai justru korban itu punya perasaan: untuk apa itu ditulis lagi lah. Mereka sudah mencoba mengatasi hal itu lama, tetapi kalau terus hanya di-omongin di koran, nggak ada gunanya. Betul nggak ada gunanya,” kata Saparinah.

Sebagai seorang psikolog, Ibu Sap, demikian ia biasa disapa, paham betul trauma yang kerap dialami para korban kekerasan seksual. Dia pun memuji sebuah film berjudul Seven Steps of May yang menurutnya pas mengilustrasikan bagaimana korban kekerasan seksual berusaha keluar dari trauma. Film besutan sutradara Ravi Bharwani ini menyuguhkan kisah seseorang bernama May, korban pemerkosaan sekelompok orang tak dikenal saat usianya masih 14 tahun.

Saparinah Sadli (foto: Tempo)

“Film yang mengisahkan seseorang bernama May itu bagus. Dia korban perkosaan. Saya rasa setting-nya itu perkosaan massal 1998 lalu. Film ini mengisahkan sosok May yang pernah diperkosa. Apa artinya bagi dia, bagaimana dia beraksi setelah kejadian itu,” tutur Saparinah yang menyayangkan di beberapa bioskop film ini kosong penonton. “Saya nonton di sini di Kemang Village, hanya 7 orang.”

Seven Steps of May merupakan film yang memotret kehidupan berat May menjalani hari-harinya memikul beban psikologis sebagai korban perkosaan. Bahkan untuk sekadar bertahan hidup. Trauma mendalam menyebabkan May memutuskan untuk menarik diri dari kehidupan yang tanpa koneksi, emosi bahkan memutus total komunikasi dengan dunia luar.

“Untuk orang yang tidak betul-betul mengerti tentu akan heran. Kalau saya sebagai psikolog, bisa ngerti. Itulah salah satu cara yang diambil May,” kata Saparinah sambil memuji kejelian sang sutradara dan keseriusan sang aktris, Raihaanun, menghayati perannya.

Kecewa dengan pernyataan Wiranto

Masih lekat di dalam ingatan Ibu Sap bagaimana pernyataan Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Wiranto pada waktu itu yang menurutnya tidak etis. Dia mengenang kembali momen tak terlupakan itu. Hari itu dia baru saja tiba di kantor setelah pulang dari melihat korban.

“Persis aku masuk kamar (kerja), di TV ada Wiranto. Lalu dia bilang, tidak ada itu perkosaan massal. Saya sudah cek di semua rumah sakit dan tidak ditemukan ada korban jiwa, begitu kata Wiranto” tuturnya. Pernyataan Wiranto jelas bertentangan dengan temuan para aktivis dan relawan yang menerima banyak laporan kasus perkosaan. Beberapa aktivis bahkan mengatakan sempat mendampingi dan menemui para korban.

Menurut profesor psikologi kelahiran Tegalsari, Jawa Tengah ini sikap Wiranto merupakan salah satu contoh ketidaktahuan etik bagaimana menghadapi korban perkosaan. Jika dasar untuk membuktikan ada atau tidaknya kasus perkosaan adalah dengan mengumpulkan informasi dari rumah-rumah sakit, maka hal itu sulit didapat. Para dokter yang merawat para korban memiliki etika ketat dan tidak boleh sembarangan memberi keterangan terkait keadaan pasien kecuali kepada keluarga. “Ya itu, Jadi dia enggak ngerti itu. Sebagai Jenderal ya jelas, mereka bilang gak ada. Nah itu yang menyebabkan masalah di Indonesia itu.”

Kasus perkosaan menurut Ibu Sap yang Agustus nanti genap berusia 92 tahun ini tidak bisa diperlakukan sama seperti menangani kasus kriminal biasa yang menuntut bukti fisik dan testimoni korban. Menurutnya rumah sakit tidak boleh memberikan keterangan apapun terkait korban kalau itu bukan keluarga pasien. “Jadi dia sebagai jenderal udah jelas, mereka bilang gak ada. Dokter-dokter memang nggak boleh memberi keterangan kecuali keluarga,” jelas Saparinah yang juga istri mendiang Prof. Muhammad Sadli, guru besar FE UI.

Menurut Ibu Sap kebanyakan korban perkosaan memang enggan untuk tampil. Apalagi melakukan testimoni yang diperlukan sebagai barang bukti. “Untuk apa? Semua yang pernah diperkosa itu memang gak mau,”

Oleh karena itu bagi penerima penghargaan “Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas” ini, yang lebih penting dilakukan adalah memperjuangkan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan demi menguatkan upaya perlindungan perempuan.

Hirauan agar lansia tetap tangguh

Percakapan kami yang berlangsung hampir dua jam lebih banyak membahas soal keluarga dan aktivitas terkini Ibu Sap yang lahir dari keluarga aristokrat Jawa pasangan R.M. Soebali, Bupati Kudus dan R.A. Mintami. “Soal manula (manusia lanjut usia),” katanya. Ia ikut perkumpulan Asta Dasa Guna beranggotakan sekitar 150 perempuan usia 80 tahun ke atas. Acara kumpul-kumpul diselenggarakan sekali dalam tiga bulan dan diisi dengan ceramah dokter serta vokal grup. Dan anggota yang usianya lebih dari 90 tahun akan memperoleh semacam penghargaan.

 

Saparinah Sadli dalam acara Talkshow Orang Muda Peduli Lansia (foto: Lansia) 

Di usianya yang lebih 90 tahun Saparinah banyak terlibat dalam kegiatan untuk memotivasi para lansia agar tidak berhenti bekerja. Dunia akademik sudah lama ia tinggalkan meski sesekali masih diminta menguji tesis mahasiswa program pascasarjana di Fakultas Psikologi dan Kajian Gender Universtias Indonesia, terutama yang menyangkut isu perempuan. “Saya sudah pensiun total,” katanya.

Kini waktunya banyak digunakan untuk urusan lansia. Sebuah rumah sakit swasta di Jakarta pernah menghubungi dirinya saat hendak mendirikan Geneatri, pusat kesehatn yang berofkus pada diagnosis, penanganan, serta pencegahan penyakit akibat penuaan. Tujuanya membantu meneguhkan sesama lansia. “Membuat lansia Tangguh,” tuturnya.

Berdasarkan pengalaman pribadi, menurut Ibu Sap resep ampuh agar seorang lansia tetap segar adalah aktif terus. Saat suaminya, Prof. Sadli yang pernah menjabat Menteri Tenaga Kerja (1971-1973) dan Menteri Pertambangan (1973-1978), meninggal pada 2008, Ibu Sap masih ingat betul pesan salah seorang pelayat yang juga temannya, Dokter Sarwono. “Kamu harus tetap kerja, katanya ketika Pak Sadli baru meninggal.” Itulah yang persis ia jalankan. Saparinah masih tetap energik dan aktif mengajar, juga menulis tulisan ilmiah, artikel di koran serta melakukan pembimbingan tesis. Dia juga masih mengajar untuk membagi ilmunya di Kajian Wanita dan Kajian Ilmu Kepolisian, keduanya di Pascasarjana UI, serta di beberapa institusi pendidikan tinggi lainnya di seluruh Indonesia.

Tak pernah kesepian

Profesor yang masih tampak segar dan gesit ini kini tinggal sendiri, hanya ditemani asisten rumah tangganya. Saparinah menikah dengan Prof. Sadli pada 1954. Pasangan ini tidak dikaruniai anak meski telah menyambangi banyak ginekolog.

“Saat masih di Amerika maupun setelah kembali ke Indonesia saya sudah ke banyak dokter ginekolog. Dulu kan semua dokter ginekolog kenal saya. Jadi saya menganggap sudah melakukan segala upaya. Masih gak bisa, ya sudah. Semua dokter mengatakan tidak ada masalah antara saya dengan Pak Sadli. Ya, jadi saya terima aja itu,” katanya lirih.

h isteri mendiang Prof Saparinah Sadli (foto: deskgram)

Pasangan profesor ini pernah menampung anak kerabatnya untuk tinggal di rumah sejak masih bersekolah. Setelah menikah keluarga kecil ini dikarunia anak. “Anaknya dua, kamarnya di sini hanya satu. Akhirnya mereka pindah,” kata Ibu Sap.

Meski tidak memiliki keturunan, Ibu Sap mengaku jauh dari kesepian karena mantan mahasiswanya rutin menyambangi dirinya. Mereka sudah hafal jadwal kapan Ibu Sap berada di rumah, yakni di petang hari saat Jakarta didera kemacetan parah.

“Jadi mereka tahu kalau sore aku enggak mau pergi. Enggak maunya karena macetnya bukan main sekarang,” imbuhnya. Itu sebabnya dia berharap dengan tersedianya banyak pilihan moda transportasi yang nyaman seperti MRT, orang akan banyak beralih menggunakan transportasi publik sehingga orang-orang seperti dirinya yang sudah lanjut usia bisa menggunakan jalan.

“Kalian naik MRT supaya saya bisa naik mobil. Jadi kamu naik itu, ya supaya kamu tidak bikin macet jalan, saya bilang begitu ke mantan mahasiswa,” katanya sambil tertawa.

Perkenalannya dengan dunia Psikologi

Perempuan berdarah Banyumas, Jawa Tengah ini sesungguhnya tidak pernah punya gambaran jika di kemudian hari akan serius menggeluti disiplin ilmu kejiwaan. Selepas sekolah Europeesche Lagere School (ELS) di Purwokerto (1933-1940), Saparinah hijrah ke Yogyakarta melanjutkan studi hingga SMA Sekolah Asisten Apoteker (AA). Lulus, dia pun bekerja sebagai asisten apoteker di Jakarta.

Perkenalannya dengan dunia psikologi terbilang unik atau boleh dianggap sebagai kecelakaan sejarah belaka. Ibu Sap yang saat itu bekerja sebagai asistena apoteker melintas melewati sebuah kantor psychometric. Dia tertarik dan mencari tahu, kantor apa gerangan itu? Menurut keterangan yang berhasil ia kumpulkan, itu adalah kantor untuk mengetes bakat seseorang. Penasaran, dia pun melamar bekerja di sana.

“Jadi aku ikutlah tes itu. Waktu itu namanya asisten psikometri. Ternyata lulus. Sambil bekerja, saya juga sekolah di situ.” Sekolah ini merupakan bagian dari Fakultas Kedokteran. Itulah cikal bakal fakultas psikologi Universitas Indonesia.

Saat baru menyelesaikan studi di psikometri, Ibu Sap kemudian menikah dengan Prof. Sadli, seorang dosen muda Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. “Saya kawin, ikut dia (Prof. Sadli) ke Amerika.” Kembali ke Indonesia, Saparinah menghabiskan seluruh karir akademiknya di Fakultas Psikologi tempat ia meraih gelar Doktor. Disertasinya tentang perilaku menyimpang ia pertahankan saat usainya tidak muda lagi, yakni 49 tahun. Dia telah meraih seluruh puncak karirnya di sana. Selain menjadi dekan mulai 1976 hingga 1981 Saparinah pun kemudian dikukuhkna menjadi Guru Besar di almamaternya tersebut.

(Rin Hindryati\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar