Hersubeno Arief, Konsultan Politik

Aksi Politisi Kemarin Sore dan Politisi Kemarin Dulu

Rabu, 19/06/2019 05:37 WIB
Ilustrasi (Foto: Hersubeno Arief)

Ilustrasi (Foto: Hersubeno Arief)

Jakarta, law-justice.co - Video politisi muda PAN Faldo Maldini bikin heboh. Judul videonya memang cukup provokatif : “Prabowo Gak Akan Menang di MK.” Statemen ini menjadi sangat menarik karena Faldo adalah salah satu juru bicara pasangan Prabowo-Sandi. Dia selama ini cukup vokal dan selalu tampil terdepan.

Dari sisi pendukung paslon 02, pernyataan Faldo dianggap sebagai pengkhianatan. Di kubu pendukung paslon 01, video itu disambut dengan suka cita. Dibantu media massa, mereka ramai-ramai menggorengnya.

Faldo menambah banyaknya gerbong eksodus politisi pendukung 02 ke paslon 01? Jelas ini kabar baik bagi pendukung paslon 01 dan kabar buruk bagi pendukung paslon 02.

Dhimam Abrar Djuraid kolega Faldo sesama caleg PAN membuat tulisan menarik dengan judul “Politisi Medsos, cc Faldo.”

Fenomena Faldo ini sebenarnya bisa dilihat dengan pendekatan berbeda. Tidak hanya soal politisi medsos, politisi dadakan, politisi kemarin sore, atau politisi kemarin dulu.

Pertama, kian dalamnya pembelahan yang terjadi pada masyarakat. Kita kian sulit menerima adanya perbedaan. Jika tidak bersama kami, maka kamu adalah musuhku. Jika kamu berteman, apalagi membela musuhku, maka kamu juga musuhku.

Filsafat aku dan liyan, orang lain(Jawa). Me and others tampaknya bisa membantu menjelaskan fenomena ini.

Celakanya pembelahan itu bukan hanya muncul di tengah masyarakat, namun justru dipersubur oleh perilaku para tokoh, pejabat publik, bahkan oleh presiden sendiri.

Para tokoh, pejabat publik, politisi, presiden, adalah bagian dari persoalan yang menambah dalam pembelahan masyarakat.

Kedua, memudarnya nilai-nilai kesetiakawanan, idealisme, moral dan etika digantikan oleh oportunisme dan pragmatisme politik.

Pembelotan Faldo —kalau benar seperti banyak dituduhkan—bukanlah monopoli dari politisi dadakan, politisi kemarin sore.

Pada Pilpres 2019 kita bisa melihat dengan kasat mata manuver politik yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan gerbong Demokrat.

Ketika Prabowo-Sandi tengah berjuang hidup mati melawan apa yang mereka sebut sebagai kecurangan, SBY terang-terangan sudah mulai mengalihkan dukungannya ke Jokowi.

Dalihnya bisa bermacam-macam. Alasannya “kenegarawan,” menjaga keutuhan bangsa dan negara, dan segudang alasan lain. Namun publik sangat paham bahwa tujuannya tak lain hanya untuk mendapatkan sekerat jabatan.

Begitu juga signal-signal politik yang diberikan oleh Ketum PAN Zulkifli Hasan dan sejumlah petinggi PAN lainnya. Publik mahfum kemana arahnya.

Mereka bukanlah politisi kemarin sore. Mereka adalah politisi kemarin dulu. Politisi kawakan. SBY Bahkan pernah menjadi presiden selama dua periode. Zulkifli Hasan pernah menempati posisi jabatan tinggi. Mulai dari menteri sampai ketua MPR.

Jadi ini bukanlah soal jam terbang. Tapi lebih soal perilaku, pragmatisme politik dan abai terhadap nilai-nilai idealisme.

Pragmatisme semacam ini bukan fenomena baru dalam dunia politik kita. Pada Pilpres 2014 kita juga menyaksikan politisi pendukung Prabowo-Hatta berlompatan ke gerbong Jokowi-JK untuk mendapatkan jabatan dan rente ekonomi dari kekuasaan.

Golkar, PPP, PAN beradu cepat meninggalkan Gerindra dan PKS yang bertahan dalam Koalisi Merah Putih (KMP).

Mereka seperti seorang pria yang sudah melirik wanita lain, pada saat berlangsungnya pemakaman istrinya. Boro-boro menunggu tanah pemakaman mengering. Sudahnya punya PIL (Penguasa Idaman Lain).

Cerita seputar ini akan menjadi semakin tragis bila ternyata Prabowo bersama gerbong Gerindra akhirnya juga bersedia bergabung ke dalam gerbong Jokowi. Tidak tahan terlalu lama menjadi oposisi.

Politisi begini bukanlah politisi pejuang. Bukan politisi kelas negarawan seperti Bapak Pendiri Bangsa yang rela menderita meringkuk di balik terali penjajah.

Idealisme memerdekakan bangsa Indonesia tak sepadan ditukar dengan hidup nyaman menjadi antek penjajah.

Mereka hanya politisi kacangan yang berlagak sok negarawan.

Ketiga, ini kabar baiknya. Masyarakat kita ternyata masih sangat menghargai nilai-nilai kesetia-kawanan, idealisme, moral dan etika. Baik dan buruk. Tidak semua larut dalam pragmatisme.

Dibullynya Faldo maupun SBY menunjukkan masyarakat tidak suka dengan perilaku tidak loyal, pragmatis dan opportunis. Tanpa ba bi bu langsung hajar!

Bisa dibayangkan bagaimana masa depan bangsa ini bila semua hanya diam melihat perilaku politisi yang bertindak seperti bajing lompat.

Hari ini bersama Prabowo-Sandi. Mereka seakan rela mati dan pasang badan paling depan. Namun ketika ada tanda-tanda Prabowo-Sandi akan kalah, mereka serta merta langsung lompat pagar, memuja habis Jokowi seraya menghujat Prabowo-Sandi.

Bagi para pendukung Jokowi harusnya juga berhati-hati dengan politisi model begini. Jika arah angin berubah, dapat dipastikan mereka akan menjadi orang pertama yang lari lintang pukang.

Mereka serta merta akan meninggalkan Jokowi seraya mencerca, mencaci maki seperti yang mereka lakukan terhadap Prabowo-Sandi. Itu watak asli mereka.

Orang Jawa menggambarkan dengan menarik dalam satu kalimat: Kalau watuk (batuk) masih bisa diobati. Kalau watak, tak Mungkin disembuhkan.

Politisi medsos, politisi dadakan, politisi kemarin sore maupun politisi kemarin dulu, ukurannya bukan pada apa yang mereka katakan.

Apakah mereka satu kata dengan perbuatan. Apakah mereka tetap menjaga nilai-nilai kesetia-kawanan dalam kondisi apapun, susah senang. Apakah mereka tetap menjaga nilai-nilai etika dan moral. Tidak hanya bener, tapi juga pener.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar