Secara Fakta Hukum Capres 01 Terdiskualifikasi, MK Berani Adil?

Minggu, 23/06/2019 06:04 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof Dr Din Syamsuddin meminta semua pihak mengawal proses sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (Ist)

Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof Dr Din Syamsuddin meminta semua pihak mengawal proses sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Hasil Reformasi ditujukan untuk memperbaiki kondisi negara dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini disebabkan pemerintah sebelum reformasi antara fungsi dan kekuasaan negara bias dengan fungsi dan peran pemerintah. Maka dibangunlah sistem yang memungkinkan publik mengawasi pemerintah sebagai pelaksana ketatanegaraan.

Fakta adanya sumbangan pribadi (Perorangan dan Bukan Badan Usaha) pada dana kampanye Jokowi dalam Pilpres sebesar 19 Miliar menunjukan kejanggalan, karena sebelumnya dalam LHKPN yang dilaporkan oleh Jokowi ke KPK, besarnya kas dan harta Jokowi hanya 6 Miliar, tapi bisa menyumbang sebesar 19 Miliar Dana Kampanye Pilpres. Ini jelas fakta valid yang tidak terbantahkan dan kita lihat apakah Mahkamah Konstitusi berlaku adil dan berani menghukum Capres 01 ini.

Dalam UU TIPIKOR no.20 TAHUN 2001, pada pasal 12 B, menyatakan; 
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12 C :
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima
atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Apa yang diungkapkan pengacara Capres 02, Bambang Widjoyanto (BW), tentu berdasarkan pengalaman dia sebagai *tokoh anti korupsi* dan mantan pimpinan KPK. Baik itu korupsi keuangan atau sistem yang korup. Sehingga perspektif BW, adalah cara pandang secara sistem prosedur. Di dalam kondisi korup, sekecil apapun kesalahan, masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi dan berdampak pada kerugian negara. Negara dalam hal ini dalam perspektif luas, termasuk seluruh rakyat Indonesia, mau itu pendukung pemerintah atau oposisi.

Sebagai perbandingan Tim hukum BUMN pernah mengajukan ke MK bahwa keuangan BUMN harus dipisahkan dari keuangan negara, namun ditolak oleh MK. Struktur organisasi BUMN dan anak perusahaan BUMN adalah satu kesatuan dibawah Kementerian BUMN. Hal ini dibuktikan, pengangkatan dan pemberhentian pejabat anak perusahaan BUMN harus melalui Kementerian BUMN, termasuk pengangkatan Ma`ruf Amin sebagai Komisaris BNI Syariah jelas menjadi otoritas BUMN dan sama kedudukan status kepegawaiannya antara induk dan anak perusahaan BUMN.

Keuangan anak perusahaan BUMN secara langsung dikategorikan sebagai keuangan negara. Padahal UU Pemilu menyatakan bahwa Capres dan Cawapres tidak menjabat di BUMN, baik di induk maupun di anak perusahaannya. Saat mengisi formulir pendaftaran ke KPU, Cawapres Ma`ruf Amin di form pencalonan tidak menjabat di BUMN, TIDAK DICENTANG oleh Ma`ruf. Artinya Ma`ruf mengakui masih menjabat di anak perusahaan BUMN yang notabene juga adalah BUMN.

Maka secara kontekstual dan subtansial UU Pemilu, Cawapres Maruf Amin tidak memenuhi syarat sebagawai Cawapres, namun oleh KPU tetap diloloskan. Sehingga KPU dianggap melakukan tindak penyalahgunaan UU Pemilu, implikasinya terjadi korupsi prosedur dan penyalahgunaan syarat mendasar serta sistem Pemilu. Apalagi ternyata sudah ada Putusan Mahkamah Agung No 21 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa Anak Perusahaan itu juga disebut sebagai BUMN. Fakta itu jelas clear. Sehingga secara hukum kasus Ma`ruf Amin ini sudah selesai dan dia dinyatakan didiskualifikasi.

Dari beberapa hal diatas, KPU sulit berkelit kesalahan fatal yang sudah terjadi. Maka tidak ada alasan dari pihak manapun yang bisa menganulir kesalahan tersebut. Hakim harus melihat secara jernih, konsekwen dan jujur. Maka dari itu belajarlah ke Cawapres Sandiaga Uno, sekalipun UU Pemilu tidak mewajibkan mundur dari Wakil Gubernur, namun untuk menjadi konsistensi Pemilu yang Adil dan Jujur, Sandi dengan jiwa besar berani mundur dari posisi Wakil Gubernur DKI yang sudah dia perjuangkan mati-matian. Sementara Jokowi jangankan mundur, cuti pun dicampur aduk dengan alasan inspeksi ke daerah untuk tugas pemerintahan dan pembangunan.

Dari fakta-fakta hukum yang sudah tak terbantahkan di atas, maka jelas lah bahwa pasangan 02 telah mencederai prinsip kejujuran dan keadilan yang dijunjung tinggi oleh setiap peserta pemilu, apalagi Jokowi dan Ma`ruf sebagai petahana Presiden serta sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, seharusnya sebagai figur panutan dan suritauladan. Sekarang kalau sudah begini realitanya, tinggal  catatan sejarah dari 260 juta rakyat Indonesia yang akan menguji apakah 9 Hakim MK bernyali memutuskan vonisnya berdasarkan hati nurani dan keadilan, atau tunduk pada tekanan kekuasaan (petahana)?.

(Roy T Pakpahan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar