Budhy Munawar Rachman:

Politik Identitas Hanya Mainan untuk Menarik Konstituen

Senin, 17/06/2019 08:01 WIB
Budhy Munawar Rachman (law-justice.co/ Januardi Husin)

Budhy Munawar Rachman (law-justice.co/ Januardi Husin)

law-justice.co - Politik identitas hampir selalu hadir pada penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia, termasuk Pemilu 2019 yang baru saja usai. Fenomena ini kian menguat dan menjadi strategi manjur bagi elit politik untuk memenangkan kontestasi kekuasaan.

Kecenderungan itu akhirnya membuka ruang bagi gerakan Islam radikal dan konservatif untuk berelasi dan bersinergi, yang mengancam toleransi, pluralisme, dan kebhinnekaan dalam masyarakat Indonesia.

Meskipun berpotensi membahayakan, masalah ini kerap luput dari perdebatan dan hanya menjadi perhatian segelintir pihak. Budhy Munawar Rachman termasuk salah satu yang peduli dengan masalah ini. Bagi pemikir Islam progresif ini, hal tersebut adalah perkara serius yang tidak bisa dianggap enteng.

Refomasi dan Menguatnya Politik Identitas

Politik identitas muncul sejak keruntuhan Orde Baru yang represif dan digantikan oleh masa Reformasi, yang demokratis pada 1998. Sejak saat itu, pemerintah Indonesia mulai terbuka, menerima berbagai pengaruh yang beragam dari dalam dan luar negeri, serta menjamin kebebasan berekspresi

“Nah Indonesia dalam perkembangan era Reformasi ini termasuk negara yang kebebasan berekspresinya bagus, hampir sempurna. Bila indeks maksimalnya tujuh,  kita enam. Itu sudah hampir seperti negara maju. Namun di sisa lain, memberikan kemungkinan apa yang dulu jadi sebenarnya dalam masyarakat Indonesia ada kelompok-kelompok yang disebut dengan garis keras, radikal, dan ekstrem,” jelas Budhy saat ditemui law-justice.co di kantornya, tahun lalu.

Doktor Filsafat dari STF Driyakara itu mengatakan, kekuatan-kekuatan semacam itu selama Orde Baru praktis tiarap dan tersimpan dalam kotak pandora. Meskipun demikian, gerakan Islam radikal dan konservatif itu tidak mati, karena memiliki akar historis yang kuat. Bila aksi kelompok konservatif telah muncul sejak kelahiran Piagam Jakarta pada 1945, maka kaum radikal telah melancarkan aksinya sejak 1949, ketika Darul Islam (DI) berencana mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).

Ketika Reformasi bergulir, kotak pandora itu kembali terbuka. Kekuatan-kekuatan lama ini bangkit   dan kembali bergiat di berbagai lapangan kehidupan, termasuk ranah politik. Hal ini, misalnya, terlihat dalam sidang-sidang MPR di masa Reformasi, ketika kembali muncul perbincangan tentang dasar negara,  yang dianggap tidak mengakomodir aspirasi Islam. Beruntung, ketika itu, Pancasila disepakati untuk dipertahankan. 

“Kalau kita lihat di sidang- sidang MPR, pembicaraan kembali tentang dasar negara yang dulu terhenti karena Dekrit 1955, (saat itu)  aspirasi Islam itu  muncul kembali dan dasar negara  itu menjadi sesuatu yang dipertanyakan kembali bahkan ingin diubah. Syukur, cukup kuat fondasi kita terkait dengan pandangan negara dan kita sudah firm, kuat,  bahwa kita Indonesia adalah negara Pancasila”, kata Budhy.

Sampai saat ini, di lapangan politik nasional, kiprah partai-partai Islam—termasuk yang merepresentasikan golongan konservatif—memang belum menggembirakan. Namun kelompok-kelompok ini tak berhenti menggeliat. Mereka mulai melirik relatif lebih berhasil berkontestasi di level politik regional, sehingga mampu memproduksi berbagai kebijakan berbasis Syariah. Selain itu,  kekuatan-kekuatan semacam ini juga menggandeng kelompok-kelompok radikal yang bergerak di bawah tanah.

“Dalam disertasi Haedar Nasir, Gerakan Islam Syari`at Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, disebutkan kelompok ini memiliki dua agenda. Yang dari bawah itu digerakkan oleh kelompok-kelompok radikal sepertit Hizbutahrir, Majelis Mujahidin  Indonesia (MMI).  Yang dari atas itu partai-partai politik di DPR/MPR, dan pemerintahan. Mereka terus-menerus bekerja secara simultan, saling mendukung, meskipun tidak  teorganisir secara sistematis, karena sama-sama memiliki kepentingan,” papar Budhy.

Komoditas Politik Belaka

Setelah lebih dari dua puluh tahun berlalu, kolaborasi antara dua kekuatan Islam ini telah mewujud. Selain melalui peraturan-peraturan daerah berbasis Syariah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tren politik identitas yang mengemuka di ranah politik nasional dalam beberapa tahun terakhir menjadi bukti keberhasilan gerakan radikal dan konservatif. Meskipun begitu, sebenarnya sebagian cita-cita ideal politik Islam yang mereka perjuangkan telah diperjuangkan para elit menjadi sekadar komoditas belaka.

“Menurut saya itu  (politik Syariat) yang dibangun oleh elit yang memang ingin menggunakan agama untuk tujuan politik kekuasaan. Munculnya syariatisasi di daerah-daerah itu sebenarnya sebuah cara mengambil  konstituen, itu saja.  Peraturan-peraturan di daerah Aceh itu tidak masuk akal. Syariah adalah agama itu sendiri, jadi bukan fiqih atau qanun, perda atau pergub. Semua itu itu semua untuk menarik perhatian  publik bahwa pemerintahnya bersifat Islami,” lanjut Budhy.

Sebagai sebuah komoditas, tentu saja politik identitas hampir digunakan oleh semua partai politik untuk memikat para pemilih dalam sebuah kontestasi kekuasaan tertentu.  Menurut Program Officer Islam dan Masyarakat Sipil, The Asian Foundation itu, dahulu partai-partai Islam, seperti PKS, PPP, dan PBB sebagai penyokong gagasan ini. Kini,  partai-partai sekuler , semacam PDI-P dan  Golkar juga mengusung jargon nasional religius, sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

“Sebenarnya, politik identitas hanya mainan  politik untuk menarik perhatian konstituen  supaya tetap memilih  mereka, bahwa pemerintahan ini Islami. Nah,  sayangnya memang masyarakat kita belum kritis dalam soal ini, masih melihat simbol kalau pemda membangun masjid, mengirim takmir umrah, hal-hal yang sifatnya simbolik, nah itu yang membuat senang masyarakat, padahal yang substansif , korupsi ternyata tidak menjadi perhatian,” ujar dosen di STF Driyakara itu.

Selain itu, untuk tujuan yang sama, partai-patai politik kerap pula menciptakan narasi yang sangat pragmatis dalam menarik dukungan pemilih, tetapi sekaligus merusak tatanan yang telah ada dalam masyarakat. Ia mencontohkan bagaimana para elit poltik memproduksi wacana  seolah-olah umat Islam yang mayoritas mengalami diskriminasi di Indonesia. Padahal, pada kenyataannya, Islam mendapat porsi besar dan menjadi salah satu prioritas dalam setiap pemerintahan yang berkuasa di Indonesia.

“Kita punya Kementerian Agama.  Ini betul- betul tanda  bahwa bagi negara itu agama itu bidang yang  favorit. Favoritisme negara pada Islam ada dan yang paling mencolok itu adalah Kementerian Agama. Berapa budget yang diberikan negara kepada umat Islam, besar sekali, di dalamnya ada (dana) haji yang juga diatur oleh pemerintah,” kata Budhy.

Bila yang dipersoalkan adalah ketiadaan produk hukum yang Islami, sehingga sejumlah pemerintahan daerah banyak memproduksi perda Syariah, hal itu juga patut dipertanyakan. Pasalnya, menurut murid ideologis cendekiawan Muslim, Nurcholish Majid itu, banyak elemen dalam  hukum di Indonesia yang berbasis Syariah. Sebut saja  hukum keluarga—yang mengatur warisan, peradilan agama, Kantor Urusan Agama (KUA),  hingga UU Perkawinan itu berbasis doktrin agama.

Intoleransi dan Diskriminasi

Begitu dominannya Islam di Indonesia, menurut Budhy, membuat umat-umat agama lain harus memikirkan caranya sendiri untuk bertahan hidup. Tak heran, karena tak mungkin berpatokan pada produk-produk hukum yang berbasis Syariah,  mereka kerap mengalami diskriminasi di berbagai bidang kehidupan, meskipun hak mereka sebagai warga negara tetap diakui dan setara.

“Kondisi seperti ini, kelihatan di sekolah negeri. Sekarang semakin mirip madrasah, terutama di tingkat SD. Saya punya tetangga yang anaknya sekolah di SD Negeri yang bagus di Bintaro. Tapi kalau hari Jumat itu, semuanya harus pakai jilbab, nggakada lagi anak perempuan yang tidak lagi pakai jilbab, ngajidari pukul tujuh sampai pukul delapan, tausiyah, pasti banyak kegiatan di Ramadhan, dan sebagainya,” papar Budhy.

Kaum perempuan, baik yang Muslim dan beragama lain, juga mengalami diskriminasi yang hebat dalam produk-produk hukum dan perda Syariah. Hal ini, menurut pria kelahiran 22 Juni 1963, bahkan terjadi di lingkungan pemerintah.  Ketika terdapat sebuah kebijakan yang mewajibkan PNS perempuan mengenakan jilbab, maka peraturan itu akan menjadi diskriminatif bagi orang-orang yang menganggap hal itu bukan merupakan bagian dari Syariah.

“Kan ada orang yang punya anggapan seperti itu, bahkan orang seperti Gus Dur dan Cak Nur, istrinya nggak pakai jilbab. Nah paling jauh ya pakai kerudung kayak Yeni Wahid itu, nah itu nggakdapat tempat. Kalau Yenny Wahid dia pegawai negeri  di daerah  yang ada perda syariah, dia harus (pakai jilbab) . Ruang-ruang seperti itulah yang membuat perda-perda  seperti ini diskriminatif”,  ujar pengajar  Islamologi dan Filsafat Islam di STF Driyakara itu.

Ia menegaskan yang menjadi korban dari perda-perda yang berdasarkan hukum Islam semacam ini pertama adalah kaum perempuan. Contoh yang paling baru peraturan melarang laki-laki dan perempuan untuk minum kopi di satu meja yang sama atau keluar di atas pukul 10 malam. Regulasi semacam ini, menurut catatan Komnas Perempuan, jumlahnya mencapai 400-an dan hanya beberapa saja yang dibatalkan.

Dengan sifat seperti itu, bagi Budhy wajar bila banyak daerah dan negara yang menerapkan Syariah stagnan dan ketinggalan dengan wilayah-wilayah yang menganut aturan yang bersifat sekuler. Daerah seperti Aceh yang paling awal menyeluruh menerapkan perda-perda Syariah, sampai saat ini jauh tertinggal. Begitu pula dengan negara, seperti Afganistan, Pakistan, dan Arab Saudi juga mengalami nasib serupa.

“(Arab) Saudi itu bisa maju infrastrukturnya, kalau kita pergi haji kita bisa lihat itu, hanya karena mereka punya minyak saja, Tapi  sekarang orang Saudi sudah sadar betul, dia akan ketinggalan  dengan negara-negara Arab lain yang sudah melakukan transformasi, terutama negara-negara teluk itu”, papar penulis buku Membela Kebebasan Beragama itu.

Menyemai Kembali Pluralisme Islam

Salah satu ancaman paling mematikan dari praktik politik identitas yang kian menguat di Indonesia adalah matinya keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pluralisme dalam Islam.  Praktik syariat di Indonesia telah menjadi cara hidup dan beragama umat Muslim di negeri ini yang mewujud dalam praktik keseharian, misalnya, shalat, puasa, dan haji. Dengan begitu, aspek ini telah menjadi tradisi yang hidup dalam masyarakat sehingga tidak dibutuhkan kehadiran pemerintah.

“Ketika negara mengambil ini (syariat), bahaya yang paling besar adalah menghapus pluralisme atau keragaman jenis  Syariah yang hidup dalam masyarakat. Ini yang sering nggak dipikirkan, atau malah  memang tujuannya untuk memberangus yang lain, mengingat dalam masyarakat Syariat itu hidup dengan cara yang beragam”, ujar Budhy.

Sebaliknya, alih-alih mengurusi masalah Syariah, pemerintah seharusnya menindak tegas aktor-aktor politik dan berbagai organisasi yang gencar mengampanyekan Islam radikal dan konservatif,. Salah satunya adalah mencabut semua produk peraturan daerah berbasis Syariah di tingkat provinsi dan kabupaten kota, termasuk di bidang agama yang sebenarnya tidak masuk dalam otonomi daerah.

“Seharusnya pemerintah pusat menindak  perda  syariat, karena isu agama tidak masuk dalam  otonomi daerah.  Mereka ada otonomi-nya sendiri, Kanwil Agama kan nggak di bawah bupati atau gubernur, tetapi  di bawah kementerian agama  langsung. Jadi soal agama itu nggak bisa didesentralisasi, tapi ini  ternyata perda agama banyak muncul dan pemerintah pusat tidak berani mencabutnya,” kata mantan Direktur Pusat Studi Islam Yayasan Paramadina itu.

Selain itu, pemerintah juga harus berani menindak tegas organisasi-organisasi radikal dan konservatif yang kerap main hakim sendiri terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Bagi penulis buku Islam Pluralis dan Fiqih Lintas Agama(2003) itu , sudah saatnya pemerintah menarik garis tegas sehingga bisa membedakan tindakan mana yang sekadar kampanye untuk menerbarkan pengaruh—dan itu tidak dilarang— dan perilaku kriminal.

“Kalau di negara maju, yang relatif HAM-nya sudah baik, orang boleh bersuara . Kantor HTI itu pusatnya di London dan mereka bebas  berdakwah, banyak orang yang ikut HTI dan berjihad ISIS juga banyak. Mereka (HTI)  boleh bicara apa saja dan mempengaruhi orang melalui konsep Khilafah, tapi kalau sudah  melakukan tindakan kriminal, mereka bisa dipenjara karena perbuatan itu," papar Budhy.

Masalahnya, sampai saat ini pemerintah belum bisa tegas terhadap persoalan ini. Polisi, misalnya belum bisa membedakan tindakan mana yang sekadar pengungkapan ekspresi dan perbuatan kriminal. Hal ini, misalnya, ditunjukkan dengan aksi sepihak menutup gereja yang belum berizin atau menghalang-hlaangi umat Ahmadiyah karena ajarannya dianggap menyimpang oleh organisasi tertentu.

“Nah, di Indonesia, akibat dari keterlibatan kelompok-kelompok yang kita sebut dengan kelompok- preman berbaju agama ini itu sejak Reformasi membuat mereka seperti punya kekuatan. Akibatnya  polisi juga gamang ini agama atau tindakan kriminal. Tapi syukurlah, sebenarnya sekarang  Pak Tito lebih menyadari soal ini”, ujar mantan Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat ini .

Dalam kasus tindakan kekerasan yang kerap dilakukan oleh Front Pembela Islam, misalnya, pemerintah yang saat ini berkuasa bisa lebih tegas sehingga organisasi massa ini relatif terkendali. Hal ini, menurut Budhy bertolak belakang dengan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang cenderung memelihara FPI dan membiarkan tindakan organisasi itu merongrong masyarakat.

Terlepas dari itu, selain strategi pencegahan dan penindakan, pemerintah juga perlu  menciptakan narasi tandingan untuk membendung kampanye-kampanye masif yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal dan konservatif. Menurut Budhy, hal ini dapat dilakukan oleh Kementerian Agama dengan menggarisbawahi bahwa Islam di Indonesia bersifat moderat, bukan radikal.

“Kementerian Agama  perlu mensosialisasikan dan menegaskan islam Indonesia sebagai islam yang moderat, wasatiyyah. Nah ini yang jadi promosi dari pemerintah untuk mengimbangi kelompok yang radikal ini sehingga masyarakat indonesia  yang cenderung menganggap agama sangat penting, kanalnya itu bukan ke kelompok  radikal ini tapi ke islam moderat”, ujar sosok yang pernah menjadi Direktur  Center For the Spirituality and Leadership-Project on Pluralism ini.

Untuk itu, pemerintah juga harus menggandeng berbagai organisasi Islam besar, seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Apalagi kedua perkumpulan ini sejak awal telah memperlihatkan ciri Islam moderat. Kini, untuk mengimbangi wacana kelompok Islam radikal dan konservatif, keduanya juga telah mengembangkan konsep Islam moderat. Bila NU menawarkan gagasan Islam Nusantara, maka Muhammadiyah mengajukan ide Islam Berkemajuan. 

“Nah, kedua organisasi ini kan  mendukung Islam moderat ya, wasatiyyah,  yang sama dengan kampanye pemerintah tentang Islam yang moderat dan toleran.  Di NU,  punya tradisi  dan sejarah sendiri, cara  berpikir yang disebut dengan Islam nusantara. Sementara di Muhammadiyah, mereka juga punya tradisinya sendiri yang  disebut Islam Berkemajuan. Ketika ini semua diramu sebagai Islam Indonesia, kita  sesungguhnya memiliki Islam yang tidak radikal," tutur Budhy.

Melalui cara-cara semacam itu, pemerintah mulai bisa mengajak masyarakat untuk berpikir rasional ihwal politik identitas. Meskipun, menurut sebuah survei, sejak awal Reformasi sampai saat ini penerimaan terhadap Pancasila terus tergerus di hingga 10% karena adanya dukungan terhadap Syariah. Tetapi masyarakat sampai saat ini  masih menetapkan pilihan bahwa Pancasila adalah dasar negara yang paling sesuai.

“Itu berarti masyarakat kita masih waras-lah, menyadari bentuk negara pancasila itu pilihan Memang dalam survei LSI, ada pertanyaan  apakah anda setuju dengan penerapan Syariah di Indonesia? Yang menjawab setuju tinggi sekali, 80-90 %.  Tapi kalau ditanya, apakah anda setuju dengan hukuman potong tangan? Maka persentase penurunanya besar sekali," kata pria yang menghabiskan seluruh jenjang pendidikan tingginya di STF Driyakara itu. 

Oleh sebabnya itu, aktualisasi Pancasila menjadi penting untuk terus dikembangkan dalam masyarakat. Kini, pemerintah yang berkuasa saat ini menyadari betul persoalan ini. Memang pada kenyataannya, perhatian terhadap Pancasila sempat kedodoran sejak masa Reformasi. Namun kini, terdapat momentum yang tepat untuk kembali menerjemahkan Pancasila seturut masa sekarang.

“Sekarang memang  waktunya memperkuat kembali (Pancasila) setelah sejak awal Reformasi sempat kedodoran ya. Hal yang penting dilakukan saat ini adalah mencari titik temu semua golongan. Mudah-mudahan nanti berjalin-kelindan antara Pancasila dan Islam Moderat sehingga pandangan negara pancasila ini adalah bentuk final dari ideologi negara di indonesia  bisa jadi pandangan kita  semua," pungkas Budhy.

Ditulis oleh Teguh Vicky Andrew. 

 

(Teguh Vicky Andrew\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar