Ini Dia Fakta Keterpurukan Indonesia Dibawah Rejim Jokowi-Kalla

Kamis, 13/06/2019 07:22 WIB
Pernyataan Wapres Jusuf Kalla kepada Pers, sesaat Jokowi ingin mencalonkan diri sebagai Presiden (Suara)

Pernyataan Wapres Jusuf Kalla kepada Pers, sesaat Jokowi ingin mencalonkan diri sebagai Presiden (Suara)

Jakarta, law-justice.co - Masih segar dalam ingatan kita tentang Ramalan Jusuf Kalla (JK) pada pertengahan tahun 2012 lalu. Waktu itu beliau menyebutkan bahwa negara Indonesia bisa hancur jika dipimpin Joko Widodo alias Jokowi. Saat itu, JK dimintai pendapatnya bila Indonesia dipimpin seorang Joko Widodo alias Jokowi. Dalam wawancara itu, JK terang-terangan mengatakan bahwa Indonesia akan hancur bila dipimpin Jokowi. Rekaman itu jadi perbincangan ramai ketika Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI dan diwacanakan menjadi calon Presiden.

“Dia kan baru jadi Gubernur DKI, pengalamannya lewat Wali Kota Solo. Tapi jangan tiba-tiba karena dia terkenal di Jakarta, tiba-tiba dicalonkan Presiden, bisa hancur negeri ini, bisa masalah negeri ini, tapi kalau sukses di DKI, ya silakan,” kata JK dalam video berdurasi 3 menit 38 detik itu. Tidak terasa kini waktu terus berjalan dan saat ini sudah memasuki tahun 2019. Beberapa waktu yang lalu, KPU pada dini hari juga sudah mengumumkan Jokowi sebagai pemenang pilpres dan besar kemungkinan akan kembali memimpin Indonesia kalau gugatan Prabowo dikalahkan di MK.

Mendengar pengumuman pemenang pilpres dinihari yang terkesan sembunyi-sembunyi membuat sebagian masyarakat bertanya tanya, ada apa ?. Tapi sebagian yang lainnya melonjak gembira karena jagoannya dinyatakan menang untuk kedua kalinya. Pertanyaan dibenak rakyat Indonesia adalah bagaimana nasib bangsa Indonesia selama Jokowi berkuasa ?, Apakah maju atau akan semakin hancur sebagaimana ramalan Jusuf Kalla?

Ramalan Yang Jadi Nyata

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas kita perlu perenungan mendalam perjalanan bangsa ini sejak dipimpin oleh Joko Widodo yang dilantik menjadi Presiden pada tanggal 20 Oktober 2014 lalu. Rujukan dalam menilai adalah menggunakan tolak ukur yaitu realisasi visi misi dan program kerja yang dijanjikannya terutama pelaksanaan Trisakti dan Nawacita.

Dimana pada kenyataannya Trisakti dan Nawacita hanya sebagai jargon politik belaka alias tidak ada realisasinya. Trisakti dan  Nawacita telah hilang entah dimana. Yang terjadi saat ini adalah kehancuran bangsa. Ini dapat kita buktikan bagaimana kondisi negara ini di bidang ekonomi, politik, sosial, hukum dan budaya, sebagai berikut :

Pertama, dalam bidang ekonomi terbukti pertumbuhan ekonomi hanya dikisaran 4-5 persen padahal janji dalam Pilpres 2014 adalah 7 persen bahkan utang negara makin terus bertambah setiap hari.

Kedua, dalam bidang politik telah terjadi kehancuran sendi-sendi demokrasi, apalagi pasca perintah langsung Jokowi kepada relawannya untuk melakukan kekerasan. Sejak Indonesia merdeka, baru Jokowi lah Presiden yang menyeruhkan kekerasan kepada pengikutnya.

Ketiga, dalam bidang sosial telah terjadinya perpecahan sosial, seperti tenaga kerja asing (TKA) dari China mendapat fasilitas pekerjaan yang luas, sedangkan anak muda di dalam negeri banyak menjadi pengangguran karena sempitnya peluang pekerjaan.

Keempat, dalam bidang hukum telah terjadi penegakan hukum pilih kasih, bila yang melakukan pelanggaran hukum pihak oposisi maka kepolisian akan segera memproses bahkan menangkap pelakunya tetapi bila yang melakukan itu pihak pendukung Jokowi, maka polisi tidak pernah memprosesnya.

Kelima, dalam bidang budaya, baru di pemerintahan Jokowi "lesbian, gay, biseksual dan transgender" (LGBT) secara terang-terangan berani menunjukan diri bahkan sampai melakukan kontes kecantikan, padahal rakyat Indonesia mempunyai nilai moral dan etika budaya yang tinggi dimana sangat membenci LGBT tersebut.

Beberapa pengamat sepakat bahwa kondisi kehancuran Indonesia saat ini dinilai sudah mendekati kenyataan. Tata kelola pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi dianggap minim koordinasi, tak ubahnya seperti mengelola toko kelontong .Kondisi ini dipandang bisa saja menyebabkan hancurnya negeri ini sebagaimana prediksi JK sebelum menjadi Wapres mendampingi Jokowi.

Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM), Bin Firman Tresnadi mengatakan, tidak adanya koordinasi kerap terjadi di pemerintahan Jokowi. Penyebab utamanya adalah pemerintah sekarang memposisikan Jokowi sebagai “one man show”. Hal seperti ini sering terjadi di era Jokowi. Semua hal adalah Jokowi, semua itu karena Jokowi dan sebagainya.

Manajemen “one man show” ini bisa terlihat dari foto-foto Jokowi yang sering kita lihat sendiri. Baik dalam sebuah proyek atau bencana,” ujar Bin Firman, Selasa (5/2). Menurutnya, jika manajemen pemerintahan tanpa didukung oleh koordinasi yang ketat dan pemahaman yang kuat antar lembaga, maka itu akan menyebabkan miskoordinasi.

“Seperti yang sering kita lihat selama Jokowi memimpin dimana keputusan Jokowi direvisi oleh menteri-menterinya. Begitu juga sebaliknya,” terang pengamat politik ini. Manajemen seperti ini tidak cocok diterapkan dalam mengelola negara, karena yang dibutuhkan untuk membangun bangsa adalah super tim yang saling bekerja sama dan bukanlah orang yang ingin menjadi superman seperti Jokowi.

Sebenarnya kegagalan Jokowi –JK sudah mulai diperlihatkan sejak awal-awal memerintah Indonesia. Tanda-tanda kegagalan itu sudah bisa kita saksikan melalui caranya menyusun pemerintahan yang akan menopangnya selama lima tahun berkuasa serta realisasi kebijakan yang tidak sesuai dengan janji yang pernah diucapkannya. Diantaranya adalah ;

  1. Membentuk kabinet "Kerja" dengan cara yang sangat transaksional, dimana dijanjikan awal dalam kampanyenya, tidak akan terjebak kedalam penyusunan kabinet yang politis transaksional dengan berbagai partai koalisi (tidak terbukti). Sehingga wujud kabinet Kerja menjadi kabinet yang sangat gemuk sama dengan kabinet seperti yang dibentuk oleh SBY,
  2. Memasukkan sosok yang pernah gagal dalam kabinet SBY, serta sosok yang sangat tidak berpengalaman kedalam salah satu Menko dalam kabinet kerja,
  3. Membagi-bagikan jutaan kartu sosial kepada rakyat, dan sistem pembagiannya menimbulkan permasalahan distribusi sesat sehingga yang tidak berhak bisa mendapatkan kartu sosial. Lalu tidak ada perbaikan dan koreksi administratif dari pemerintah. Selanjutnya pembagian berbagai jenis kartu sosial menimbulkan masalah baru, dimana rakyat miskin harus antri berjubel dalam menggunakan hak kartunya. Hal ini sebagai sebuah penggambaran wujud penghinaan kepada rakyat miskin, dimana mereka harus mengantri lama untuk mendapatkan haknya di dalam kartu tersebut, layaknya sebagai sebuah Negara yang baru saja merdeka,
  4. Keberlangsungan pelaksanaan distribusi beras Raskin, berjalan dengan cara yang lebih buruk, sehingga orang miskin mendapatkan jatah beras yang selalu berkualitas buruk dengan harga pembelian yang lebih mahal. Selanjutnya, tidak ada evaluasi dan koreksi perbaikan dari pemerintah,
  5. Keberpihakan Kemenkumham dalam membidani perpecahan partai politik PG dan PPP dalam penggembosan partai didalam koalisi KMP dan sekaligus penggembosan KMP dan ini melanggar ketentuan yang berlaku. Disinyalir kuat, akan membuat perpecahan beberapa partai lainnya. Hal ini akan sangat berdampak tidak harmonisnya koordinasi baik antara Eksekutif dan Legislatif serta berdampak kepada berjalannya kinerja yang tidak baik dalam tata Negara untuk mengurus kesejahteraan seluruh rakyat,
  6. Pencabutan total subsidi BBM untuk Premium (Solar disusidi ragu-ragu sebesar flat Rp.1000,-/liter) mengakibatkan turun-naiknya harga BBM Premium di masyarakat termasuk harga Solar sehingga berdampak buruk kepada kenaikan berbagai harga sembako dan kebutuhan hidup serta mahalnya biaya tranportasi sehari-hari. Semua ini akan sangat berdampak kepada semangkin mahalnya semua harga bahan baku produksi industri kecil-menengah dan melemahkan kemampuan daya saing hasil produksi masyarakat. Hal ini bisa berdampak kepada bangkrutnya banyak perusahaan kecil-menengah dan menimbulkan pengangguran baru dalam masyarakat. Dalam hal kedaulatan energi Nasional, pemerintah Jokowi telah gagal mengelola energi Nasional Indonesia dan pihak asing sangat mudah mendikte Indonesia. Belum lagi Mafia Migas masih saja berlangsung dan Jokowi tidak mampu memberantasnya,
  7. Semakin mahalnya harga beras didalam kebutuhan hidup masyarakat, dan pertama kali dalam sejarah perberasan Indonesia harga beras layak konsumsi berharga Rp. 13.000,- per Kg. Lalu diikuti dengan mahalnya dikonsumen harga protein hewani daging sapi Rp.100.000,-/kg, Ikan laut Rp.35.000,-/kg, ayam ras Rp.28.000,-/kg, termasuk berbagai sayur mayur seperti cabai dll,
  8. Keputusan Presiden Jokowi yang sangat lamban serta mengusulkan calon Kapolri yang bermasalah kepada DPR dan atas penentuan tuntas Kapolri yang berlangsung dalam periode sangat lelet hingga 2 bulan lebih, belum ada keputusan final terhadap Kapolri yang definitive saat itu.
  9. Terjadinya kriminalisasi terhadap KPK oleh salah satu instansi penegakan hukum atas keputusan sepihak dari beberapa petingginya yang bermasalah hukum. Hal ini, sangat mengganggu berjalannya kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi dan terkendalanya pengungkapan Korupsi besar yang telah dijadwalkan oleh KPK. Apalagi adanya wacana akan menggabungkan KPK dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan RI dalam kebersamaan pemberantasan korupsi dan wacana ini adalah upaya pelemahan KPK secara terencana, sistematis dan massif.
  10. Dunia usaha dan industri di era kepemimpinan Jokowi, menilai negatif dan sangat ragu kepada kemampuan ke depan dari Presiden Jokowi. Hal ini ditandai dengan semakin anjloknya nilai rupiah terhadap mata uang asing, anjloknya kemampuan ekspor serta melemahnya daya saing produksi Indonesia walaupun ada upaya pengelabuan-penyesatan opini publik dengan mengatakan adanya perbaikan dan penguatan ekonomi Amerika Serikat. Ini menunjukkan betapa sangat rentannya kekuatan ekonomi Indonesia dalam kepemimpinan Presiden Jokowi,
  11. Memang ada limpahan kegagalan SBY kepada Jokowi, akan tetapi, Presiden Jokowi tidak menampakkan dan menunjukkan terobosan sikap kinerja yang hemat dan efisien disegala bidang dalam berjalannya pemerintahan.

Gagal Sejak dari Solo dan Jakarta

Kehancuran Indonesia yang terjadi sekarang sebenarnya sudah dimulai sejak Jokowi memimpin Solo dan Jakarta. Sebelum memimpin Indonesia, Jokowi telah terbukti menghancurkan Solo dan DKI Jakarta saat dirinya menjabat orang nomor satu di kedua kota tersebut.

Ketika memimpin Jakarta, yang paling mudah dilihat dan dimengerti adalah persoalan banjir dan kemacetan di DKI. Dulu, semasa kampanye, Jokowi dengan jumawanya mengatakan bahwa mengatasi dua persoalan ibukota tersebut bukanlah perkara sulit. Jokowi mengklaim bahwa keberhasilannya selama di Solo dapat diterapkannya di Jakarta.

Tetapi apa yang dikatakan Jokowi tersebut adalah kebohongan. Faktanya, semasa dirinya menjabat Walikota, sejumlah ruas jalan di kota Solo yang sebelumnya berstatus ramai lancar berubah menjadi macet. Sebenarnya, jika kita jeli, apa yang dikatakannya semasa kampanye dulu sebatas omong kosong. Pantas saja, dirinya sama sekali tidak mampu mengatasi persoalan macet di Jakarta.

Kemudian persoalan banjir yang sejatinya bukanlah tergolong bencana alam melainkan karena kelalaian dan kegagalan Jokowi sendiri. Seharusnya, Jokowi dapat mengantisipasi banjir sejak awal dirinya terpilih sebagai Gubernur, dengan memperbaiki sistem drainase dan waduk. Sehingga ketika musim penghujan datang, semua infrastruktur tersebut dapat menampung volume air hujan. Namun Jokowi justru bersikap reaktif yaitu kejadian dulu baru dipikirkan solusinya. Tak heran jika Jokowi menghabiskan anggaran Rp 20 miliar untuk rekayasa cuaca yang gagal total mengatasi banjir.

Jokowi tidak hanya gagal di Jakarta, di Solo pun Jokowi lebih gagal lagi. Selama dua periode masa jabatannya, tingkat kemiskinan di Solo melonjak. Angka 22% atau 133.000 penduduk miskin Solo dari 560.000 jiwa adalah angka yang luar biasa besar. Untuk mengurusi penduduk Solo saja Jokowi gagal, lantas bagaimana mengurusi 250 juta penduduk Indonesia?

Hal ini sangat cukup menggambarkan kegagalan Jokowi di masa itu. Tetapi lagi – lagi masyarakat tertipu dengan politik pencitraan dan daya pikat “ndesonya” Jokowi yang seolah – seolah menjadi pemimpin rakyat padahal bekerja untuk kepentingan cukong – cukongnya. Selain persoalan di atas, masyarakat juga harus mengetahui bahwa Jokowi itu adalah “koruptor cantik”. Mengapa demikian? Karena Jokowi menggunakan orang – orang terdekatnya untuk melakukan korupsi di sejumlah proyek pemerintahan. Contoh terdekat adalah kasus bus Transjakarta karatan yang diimpor Jokowi dari Cina.

Mustahil Jokowi tidak mengetahui kasus tersebut padahal sejak awal proses lelang sudah bermasalah. Dalam kasus ini, Jokowi melakukan korupsi melalui “tangan kanan” nya bernama Michael Bimo Putranto. Orang ini adalah kawan dekat Jokowi dan sesama kader PDIP sejak di Solo. Bimo berkontribusi besar dalam kemenangan Jokowi sebagai Gubernur Jakarta.

Menurut majalah TEMPO, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Solo periode 2004-2009 ini ditengarai bermain di antara pejabat Dinas Perhubungan DKI dan rekanan proyek bus. Dan rasanya mustahil Jokowi tidak mengetahui sepak terjang kawan lamanya tersebut.

Meramal 5 Tahun ke Depan

Manusia dapat membuat perkiraan yang terjadi di masa depan dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang ada pada masa lalu, dan masa kini, sebab masa depan adalah hasil dari akumulasi dari apa yang terjadi pada masa lalu. Misalnya dari melihat langit mendung maka kita bisa memperkirakan di masa depan akan terjadi hujan.

Oleh karena itu sesungguhnya kita bisa memperkirakan masa depan Indonesia di tangan Presiden Jokowi dan PDIP hanya dari melihat jejak langkah Jokowi dan PDIP pada masa lalu dan masa kini. Apa yang terjadi lima tahun lagi jika Jokowi memimpin Indonesia bisa diprediksi dari kondisi sekarang ini.

Hampir bisa dipastikan Indonesia tidak saja sekedar hancur tapi bisa hancur lebur terutama ditinjau dari sisi kebangsaan. Indonesia mungkin akan maju dan berkembang tapi dari sisi kebangsaan akan sangat menggenaskan. Bangsa Indonesia akan menjadi “tamu” dinegeri sendiri. Akan menjadi jongos murni karena hilangnya kedaulatan bangsa ini.

Kondisi  Indonesia yang bakalan hancur itu di tunjang oleh karakter kepemimpinan Jokowi yang sudah merupakan penyakit menahun, sulit di obati. Kalau sakit batuk masih bisa diobati tapi kalau sudah watak akan sulit untuk dirubah dan diperbaiki. Pada gilirannya karakter seperti ini akan mempengaruhi wajah kepemimpinan Jokowi.

Ciri khas Jokowi adalah dia seorang pribadi yang tidak bisa dipegang janji dan kata-katanya. Banyak contoh kebohongan Jokowi, akan tetapi yang paling mudah tentu saja berbohong pada rakyatnya sendiri. Mengenai kebohongannya ini mungkin sudah tidak perlu diuraikan disini karena sudah banyak yang memaklumi. Sekurang kurangnya ada 66 janji kampanye yang sampai sekarang tidak terealisasi.

Ciri khas Jokowi yang lain adalah dia merupakan boneka dari PDIP dan Megawati sebagaimana diakui oleh Wakil Sekjend PDIP dan Megawati sendiri, bahwa sebagai capres yang di usung PDIP dan partai koalisi maka Jokowi adalah petugas partai yang wajib tunduk pada kebijakan dan keinginan partai, dalam hal ini PDIP.

Ciri khas Jokowi yang lainnya adalah dia tidak menghormati hukum dan merasa dirinya di atas hukum, misalnya ketika dia kampanye di hari raya Nyepi padahal KPUD sudah melarang. Jokowi bukan tidak tahu tapi dia sengaja melanggar karena merasa hebat, merasa kebal hukum. Banyak kebijakan kebijakan penegakan hukum yang dijalankan secara pilih kasih selama hampir lima tahun menjadi Presiden RI.

Hukum menjadi tajam ke lawan tapi tumpul ke kawan. Orang orang yang tidak sejalan dengan garis politiknya banyak yang ditangkapi dengan tuduhan telah menyebarkan ujaran kebencian atau makar terhadap pemerintah yang berkuasa saat ini.

Alhasil di era pemerintah Jokowi, penjara banyak dijejali bukan oleh pelaku kejahatan tetapi oleh tahanan politik yaitu orang-orang yang tidak sejalan dengan garis kebijakan politiknya dan pegiat sosial yang telah dituduh menyebarkan ujaran kebencian dan penghinaan kepada Presiden RI. Sepertinya pemerintah telah mengarah kepada pemerintahan otoriter yang menjadi pelengkap untuk proses percepatan kehancuran bangsa ini.

Dengan kondisi yang terjadi saat ini kita kadang kadang ngeri kalau sampai Jokowi benar benar memimpin Indonesia lagi.  Didalam sebuah manajemen, jika kita memiliki sebuah perusahaan dan mengangkat seorang Direktur pelaksana, kita sebagai pemilik harus dapat mengevaluasi dalam waktu 3 bulan apakah seorang Direktur yang kita bayar mampu atau tidak menjalankan rencana dan kinerja perusahaan.

 Apalagi dalam memimpin sebuah Negara besar, agar bangsa Indonesia tidak merugi secara lebih besar lagi kedepan, maka bangsa Indonesia seyogyanya harus bisa secepatnya menggantikan segera pemimpin yang tidak mampu. Tapi anehnya saat ini ada pemimpin sudah lima tahun terbukti gagal masih akan dilanjutkan untuk periode berikutnya, lalu nalar dan logika ditaruh dimana ?

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar