Dandhy Laksono: Sexy Killers Adalah Film Politik

Selasa, 11/06/2019 19:07 WIB
Dandhy Laksono saat diskusi film di Aula Visinema Campus, Jakarta Selatan, Rabu 1 Mei 2019. (Winna Wijaya/law-justice.co)

Dandhy Laksono saat diskusi film di Aula Visinema Campus, Jakarta Selatan, Rabu 1 Mei 2019. (Winna Wijaya/law-justice.co)

law-justice.co - Dandhy Dwi Laksono, dulunya adalah seorang jurnalis dan pernah juga menulis beberapa buku.  Ia kemudian dikenal sebagai pembuat film dokumenter melalui rumah produksi Watchdoc yang didirikannya.

Ratusan episode dokumenter dan features televisi telah dibuatnya. Bahkan, video komersial dan non komersial yang diproduksinya, berhasil memperoleh berbagai penghargaan.

Mayoritas karya Dandhy berkaitan dengan isu lingkungan yang berangkat dari beragam kasus fundamental yang merugikan masyarakat. Sebut saja  Asimetris (2018) yang mengungkap fakta mengenai ekspansi perkebunan sawit yang menjadikan warga Kalimantan menderita akibat emisi asap pembakaran hutan.

Karyanya yang masih gres, adalah Sexy Killers. Dirilis tiga hari menjelang Pemilu 2019, yang konon memengaruhi banyak orang terutama anak muda untuk tidak memilih, alias golput.

Film itu menampilkan pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap menggunakan batu bara, yang ternyata merenggut laut nelayan dan lahan pertanian. Ditampilkan juga grafis keterlibatan elit yang bermain di balik mega proyek itu.

Penggambaran tersebut, menjadikan Dandhy menerima kritik pedas. Berbagai tudingan dituduhkan padanya, mulai pendanaan film hingga tendensi menggerus suara kalangan muda.

Tidak mau tinggal diam, digelarlah sebuah diskusi yang menghadirkan Dandhy bulan Mei silam, di mana ia diberi ruang meluruskan pendapat dan kritik yang dinilainya tidak benar.

Pertama, mengenai pendapat yang mempertanyakan Kaesang dan Gibran, anak Presiden Jokowi yang dikaitkan dengan dana dari Menteri Kemaritiman Luhut Pandjaitan.

Menanggapi soal itu, Dandhy menjawab bahwa pemilihan fakta dalam film tampak menggigit sebab menampilkan nama-nama elit yang sedang berlaga di medan Pilpres 2019, antara lain Luhut Binsar Panjaitan sebagai menteri petahana Jokowi, serta Sandiaga Uno, yang merupakan pemegang saham batu bara.

Kedua nama itu menimbulkan pandangan baru bagi publik yang menurut Dandhy menjadi pertanyaan besar massa di twitter tentang concern pada satu spot dalam infografis tentang pergerakan. Setidaknya tiga hal yang menjadi poin pengelompokkan Dandhy atas penonton Sexy Killers.

“Apa kategori ketika nama-nama ini muncul? Saya menggunakan dokumen official yang muncul di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai bagian dari TKN dan BPN, termasuk kedua calon presiden dan calon wakil presiden. Premis besarnya adalah ketika melihat grafis itu ada tiga kelompok yang saya amati,” jelasnya.

Kelompok pertama adalah pihak yang bakal berujar “Oh, keduanya saling terkait, sehingga kita yang di bawah ini enggak perlu ribut dan konflik. Karena toh para elitnya saling terhubung secara bisnis walaupun secara politik terlihat berseberangan.” Dandhy menyebut kelompok ini sebagai kelompok bijak.

Kelompok kedua adalah pihak yang setelah melihat grafis dalam film bakal mengatakan, “Bagaimana mungkin orang-orang yang memutuskan kebijakan dan landscape energy Indonesia juga sekaligus pebisnis energinya?” Ini yang paling jarang dibaca orang. Bagi Dandhy ini adalah kelompok cerdas. Sebab mereka membaca relasi antara konflik kepentingan pembuat kebijakan publik yang sekarang sedang running dalam politik elektoral, yaitu antara regulator dan owner.

Kelompok ketiga adalah kelompok yang mengatakan, “Kenapa jadi masuk banyakan ini, banyakan itu?” Kelompok ketiga saya serahkan ke publik untuk menyebutnya, kata Dandhy. Ini adalah kelompok yang sama sekali tidak memperdebatkan apa pun alias masa bodoh dengan kondisi elit.

Kemudian munculnya grafis perusahaan PT Rakabu Sejahtera, yang mencatut nama Gibran, selaku putra sulung Presiden Jokowi, menurut Dandhy memiliki kaitan bahwa perusahaan ini ownership-nya sebagian besar dari Toba Sejahtera milik Luhut Binsar yang bisnis energinya dari hulu sampai hilir, dan ada 3 perusahaan PLTU yang dimiliki. Perusahaan energi itulah yang menjadi partner bisnis dari keluarga presiden yang sedang berjalan dan akan berjalan.

Dandhy menarik kesimpulan bahwa dalam megaproyek yang notabene urusan politik lagi-lagi premisnya adalah konflik kepentingan. Ia menyusun data dari dokumen perusahaan bahwa perusahaan Luhut dan Gibran berada di sektor yang high-regulated dan sangat terkait dengan public policy, antara lain; pembebasan lahan, penataan wilayah transmigrasi, infrastruktur, telekomunikasi, bahkan produk turunan rumah tangganya pun terkait dengan hutan dan sawit. Semuanya merupakan sektor yang sangat high-regulated.

“Bahwa orang menyimpulkan ini mendekonstruksi bisnis martabak, tak terhindar bahwa keluarga Jokowi bisnisnya adalah punya potensi untuk dikembangkan, bersinggungan dengan konflik kepentingan di mana dia sedang berkuasa. Kalau dia bukan presiden, itu bukan isu. Tapi ini Jokowi Presiden Republik Indonesia yang juga duduk sebagai Ketua Dewan Energi Nasional yang wakilnya adalah wakil presiden. Dan ada Luhut sebagai Menko Maritim yang juga membawahi ESDM, juga duduk di dewan,” lanjutnya.

Orang-orang yang duduk di dewan energi nasional adalah orang-orang yang berkaitan dengan bisnis batubara. Premis itu yang kemudian ia tarik pada oligarki politik. “Lalu kapan saat yang tepat untuk bicara oligarki politik? Apakah libur Natal? Libur Tahun Baru? Head to head dengan filosofi kopi juga? Atau setelah pemilu?” tanya Dandhy sinis.

“Ya, saya sengaja pada tanggal 13 April dari sembilan setengah tahun kampanye mesin politik antara kubu Jokowi dan Prabowo kita tahu 2014 di-rematch dengan aktor yang sama. Saya hanya minta tiga hari 72 jam dari sekitar sembilan setengah tahun kita ribut cebong-kampret ceprat-cepret, saya intercept di 72 jam. Exactly ini film politik. Saya punya premis politik. Saya memilih angle. Saya memilih fakta,” tandasnya.

Pertanyaannya adalah, fakta, angle, yang Dandhy pilih apakah bisa dipertanggungjawaban secara konten dan akuntabel? Sebab tak terhindarkan bahwa persoalan energi sudah berakar dalam peradaban kita. Semua orang yang pro-kontra-dan-mengkritisi energi juga akan tetap menggunakan energi. Analoginya, apabila pabrik semen yang dibangun dengan menggusur sawah, bukan tidak mungkin direksinya tidak makan padi lagi dan ganti makan semen. “Kan konyol kalau berargumen itu. Kan mustahil.”

Kedua, komedian Arie Kriting –yang notabene kerap mengajak generasi muda untuk memilih Jokowi– menganggap Sexy Killers sebagai upaya mendegradasi milenial agar tak punya pilihan.

Dalam hal ini, Dandhy merasa semua masukan ia terima sebagai dinamika dalam sebuah karya, yang mana karya selalu memiliki kelemahan dan kekuatan. Justru ia merasa heran sebab bagian lain malah tidak muncul dalam kritik, seperti mengenai cover both side yang coba ia hadirkan.

“Mendengar masukan tadi saya jadi pengin pensiun bikin film. Namun yang pertama perlu diingat adalah ini film. Bahkan kalau tadi Arie Kriting cerita bahwa Sexy Killers punya potensi membuat orang dekaden, saya jadi agak syokdengan premis seperti itu. Karena sebagai sebuah karya di ruang publik ya dia demand-nya tidak lebih hebat dari instrumen kebudayaan yang lain,” jelas Dandhy.

Dandhy tidak menggunakan badan publik untuk endorsefilm Sexy Killers. Sebab menurutnya ia tidak punya peluang sebesar TKN-BPN untuk menggerakkan mesin kampanye agar Sexy Killers punya penetrasi yang luas dan distribusi masif. Itu menjadi alasan kuat sehingga semua instrumen yang ia gunakan tak harus dipertanggungjawabkan melalui publik.

“Kekhawatiran tadi agak berlebihan. Misalnya, ketika Bareskrim Polri bikin kampanye anti-golput, urusan apa polisi sebagai badan publik tiba-tiba masuk ke wilayah privat hak-hak politik warga? Itu baru persoalan bagi saya, dia menggunakan public tools untuk menyampaikan satu posisi politik tertentu yang bukan kompetensinya,” ujarnya.

Justru Dandhy keheranan tatkala Kementerian Kominfo yang tiba-tiba bicara “Ibu yang gaji siapa?” Baginya, ungkapan itu merupakan persoalan. Tetapi film ini, menurut Dandhy merupakan produk kebudayaan. “Bahkan saya mengambil risiko karena saya rilis film ini bareng sama rilis film Game of Thrones, saya pikir itu risiko paling besar daripada dihantam oleh cebong atau kampret. Fansnya Game of Thrones lebih militan. Yang kedua juga dekat dengan Avengers end Games.”

“Dalam posisi sebagai produk budaya karena dikhawatirkan dalam 20 juta penonton sangat hegemonik, saya pikir enggak fair. Saya tidak punya Gatot Nurmantyo untuk menggerakkan Kodam-kodam nonton G30S. Saya tidak punya instrumen seperti Nugroho Notosusanto atau produksi film negara memproduksi G30S dan mewajibkan anak-anak sekolah untuk menonton. Saya tidak punya instrumen politik menebar kebangkitan PKI sehingga menonton film yang seharusnya masuk ke tong sampah sejarah,” tegas Dandhy.

Ia hanya berdua dengan Watchdoc untuk memviralkan Sexy Killers. Bila pada akhirnya film itu menjadi bola salju besar yang menghantam kanan-kiri sehingga terkesan sebagai upaya hegemoni, Dandhy menentang anggapan itu. Dampak film boleh dikhawatirkan apabila penontonnya hanya sepuluh biji.

Ketiga, Komedian Uus menilai Sexy Killerstak mengajarkan bagaimana realisasi menjaga lingkungan. Sebab menurutnya, meskipun Dandhy mengkritik penggunaan batubara sebagai elemen utama pembangkit listrik, nyatanya pembuat film pun memanfaatkan listrik. Juga dalam upaya menggunakan panel surya yang secara jelas tawaran harganya jauh lebih mahal sehingga menyebabkan kesan elitis.

Dandhy menyepakati argumen Uus. Namun ia juga memiliki jawaban mengapa energi batu bara harganya murah. Kata Dandhy, sebab ada Ibu Noviyanti (korban pembangunan tambang batu bara, kini menderita kanker) yang membayar. Karena sebanyak 33 anak mati di lubang tambang Kalimantan itu yang membayar. Karena nelayan di Karimun Jawa yang membayar, serta orang-orang di Celukan Bawang, para nelayan, dan petani sepanjang Pesisir Jawa yang tergusur akibat pembangunan PLTU yang telah bersedia menjadi korban pembangunan tambang.

Karena bagi Dandhy sangat masuk akal bila harga listrik saat ini menjadi 600 rupiah per KWH setiap kali produksi. Angka yang jauh lebih murah dibandingkan energi surya yang 1.900 rupiah per produksi. Maka di situlah dibutuhkan kebijakan publik, dibutuhkan langkah politik untuk mengintervensi bagaimana caranya penggunaan panel surya menjadi masuk akal dan head to head.

“Selama struktur biaya ini dibiarkan tidak regulated, Uus selalu benar sampai kiamat. ‘Gak usah omong yang muluk-muluk deh itu kan bukan teknologi rakyat’, betul. Jadi kita enggak terjebak dengan premis ‘Lu omong anti PLTU tapi masih nyolok pakai listrik’. Ya tak terhindarkan. Pertanyaannya adalah, 5 tahun lagi kita masih ngomongin ini enggak? 10 tahun ini masih ngomong ini enggak? Handphonemu aja colok PLTU. 20 tahun lagi kita masih ngomong ini enggak? Kalau hari ini, ya, enggak ada yang bisa dibantah,” jawab Dandhy.

Sexy Killersmengajukan premis bagaimana supaya lima atau 10 tahun ke depan kita sudah tidak membicarakan bahaya batu bara. Sebab bagi Dandhy bukan tidak mungkin apabila nanti kita bisa nyolok listrik di kantor yang menggunakan panel surya karena pemerintah memberikan subsidi kredit sebesar 30 juta. Ia berakting, “Ini bisa gua cicil seperti gua cicil N-MAX”.

Dengan begitu, perdebatan film bakal menjadi simetris dalam relasi negara, warga, konsumen, dan produsen. Tetapi apabila hanya mandek dalam tatanan struktur yang ajeg bahwa supremasi batubara enggak bisa dilawan, itu memang benar.

“Tapi kan kita enggak mau terjebak di situ, atau memang itu yang kita inginkan supaya  apa pun gerak yang kita lakukan selalu dianggap kontradiktif terhadap upaya mengambil kebijakan terobosan?”

(Winna Wijaya\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar