Solidaritas Keadilan Untuk Korban Kekerasan Seksual:

Seniman Bermasalah Terkait Kekerasan Seksual Jangan Diberi Ruang

Senin, 03/06/2019 20:33 WIB
Ilustrasi (Hindustan Times)

Ilustrasi (Hindustan Times)

law-justice.co - Solidaritas Keadilan Untuk Korban Kekerasan Seksual, menyatakan sikap terkait kasus tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang penyair SS terhadap korban berinisial RW. Kasus tersebut sudah berjalan selama enam tahun, dan SS sudah ditetapkan sebagai tersangka. Korban SS diduga tidak hanya RW, tetapi masih ada dua orang lagi.

Namun, sampai saat ini, menurut jaringan advokasi baik dari pengacara maupun solidaritas mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, berkas BAP dari kasus RW bolak balik antara kepolisian dan kejaksaan, tanpa ada kepastian.

SS yang status hukumnya sebagai tersangka, ternyata masih bebas berkeliaran, bahkan tetap ikut serta dalam kegiatan berkesenian. Di antaranya, berpartisipasi di pameran lukisan di Jogjakarta (2017), terlibat dalam pagelaran Srintil di Teater Salihara (27-28 April 2019), dan sebuah festival di Jogjakarta (Juni 2019).

Dari rilis yang diterima redaksi, Solidaritas Keadilan Untuk Korban Kekerasan menuntut beberapa hal kepada para pemilik dan pengelola komunitas seni dan galeri seni di Indonesia:

1. Menuntut kepada semua komunitas seni dan galeri seni di Indonesia, untuk membuat kode etik terkait penghapusan kekerasan seksual di tempat acara dan galeri masing-masing, termasuk memastikan tidak ada pelaku kekerasan seksual yang diberikan akses pada pertunjukan kesenian. Kode etik ini harus disosialisasikan kepada semua pihak terkait dan juga pihak kedua atau ketiga yang akan bekerjasama dengan komunitas.

2. Menyarankan adanya SOP atau mekanisme kerja dalam komunitas seni, terutama untuk semua pihak terlibat, untuk melindungi semua orang yang berisiko mendapatkan perlakuan pelecehan seksual atau kekerasan seksual, terutama dalam pola relasi kekuasaan yang terjadi di dalam komunitas.

Contohnya, guru kepada murid, pemimpin pada staf, seniman lama kepada seniman baru, pekerja kepada murid magang, pekerja pada relawan dan lainnya. Karena dari pengalaman kasus ini, maka relasi kuasa ini menyebabkan kekerasan seksual terjadi. 

3. Menuntut adanya dialog antara tim kurator seni, pekerja seni, pengelola komunitas seni bersama-sama aktivis gerakan perempuan untuk membuat memorandum penanganan kerjasama penghapusan kekerasan seksual, sebagai bentuk nyata kerjasama dalam kegiatan berkesenian kedepannya.

Memorandum bisa dibuat dalam lintas lembaga di tingkat nasional, atau bersama aktivis di tingkat propinsi. Konsolidasi ini bisa dibantu oleh jaringan solidaritas untuk korban kekerasan seksual /yang bertandatangan di bawah ini.

Selain ketiga tuntutan di atas, kelompok ini juga meminta agar pihak-pihak terkait seperti dinas kebudayaan, kedutaan besar, perusahaan atau penyandang dana untuk kesenian dan budaya di Indonesia; untuk membuat kebijakan dan SOP, yang memastikan dana tidak diberikan pada seniman dari kelompok seni atau komunitas seni yang memiliki masalah terkait kekerasan seksual. Dan kepada pihak Kepolisian RI untuk segera meneruskan dan memroses sesuai kaidah hukum pelaporan yang dilakukan oleh korban.

(Reko Alum\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar