Rebut Tambang Batu Bara, Pertarungan BUMN vs Swasta Makin Sengit

Senin, 03/06/2019 08:35 WIB
Pendapatan perusahaan batu bara bisa tergerus karena kebijakan harga batu bara DMO (foto: metrotv)

Pendapatan perusahaan batu bara bisa tergerus karena kebijakan harga batu bara DMO (foto: metrotv)

[INTRO]

Revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara semakin alot.

Persaingan antara para taipan batu bara dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) semakin memanas, masing-masing pihak mengklaim lahan tambang batu bara raksasa terminasi yang ada di Bumi Pertiwi lebih layak untuk mereka.

Bagaimana Awal Mula Persaingan?

Panasnya persaingan ini dimulai saat surat Menteri BUMN Rini Soemarno kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 1 Maret 2019 lalu, bocor ke publik.

Dalam surat tersebut, Rini menekankan sejatinya dalam revisi PP 23 Tthun 2010 ditekankan kembali amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yakni kekayaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batu bara merupakan kekayaan negara yang pengusahaannya harus dilakukan secara optimal untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

"Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.

Mantan CEO Astra International itu menginginkan agar tambang-tambang batu bara yang akan berakhir tidak serta merta diperpanjang ke kontraktor sebelumnya. Namun, mengikuti prosedur regulasi yakni dikembalikan terlebih dulu kepada negara, lalu ditawarkan kepada BUMN untuk mengelola tambang tersebut. Kata Rini, ini demi penguatan peran BUMN ke depan.

Dengan berbagai dasar hukum yang ia tuangkan, surat Rini ini kemudian membuat gaduh industri emas hitam di Tanah Air.

Pasalnya, saat negosiasi mengenai revisi PP sedang dilancarkan oleh pengusaha agar izin perpanjangan bisa disamakan dengan sektor mineral, surat ini membuat banyak pihak mulai menyoroti perpanjangan kontrak-kontrak batu bara raksasa yang akan habis dalam hitungan tahun.

BUMN vs Swasta, Lebih Untung buat Siapa?

Inti dari segala kegaduhan ini sebenarnya satu, soal mana yang akan lebih menguntungkan bagi negara untuk pengelolaan tambang batu bara raksasa ke depan. Apakah diberikan ke BUMN atau diberikan ke swasta dengan perpanjangan kontrak lagi.

Dasar hukum yang mengatur baik dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) hingga PP 23 tahun 2010 memiliki tafsir yang berbeda di mata para pakar.

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan UU Minerba dan PP 23 harus berpihak pada BUMN. "Aturannya memang berantakan, tapi IUPK [Izin Usaha Pertambangan Khusus] itu harus BUMN, itu diatur UU Minerba," ujarnya.

Lagi pula, ia menambahkan, dengan pemberian lahan konsesi ke BUMN keuntungan yang akan dipetik oleh negara akan lebih banyak. Terutama soal harga batu bara yang akan lebih mudah diatur.

"Kita ingat pemerintah sampai harus menerbitkan aturan terkait harga batu bara untuk pembangkit listrik saat harga naik, dibatasi menjadi US$ 70 per ton. Jika ini dipegang oleh BUMN, bisa diatasi dan dikondisikan dengan mudah," jelasnya.

Swasta Tak Mau Kalah

Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada sebanyak tujuh perusahaan tambang batu bara yang akan habis atau terminasi dalam waktu dekat.

Ketujuh pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pertambangan Batu Bara) generasi pertama itu adalah:
1. PT Tanito Harum yang habis di Januari 2019
2. PT Arutmin Indonesia pada 2020
3. PT Adaro Energy pada 2022
4. PT KPC pada 2021
5. PT Multi Harapan Utama pada 2022
6. PT Kideco Jaya Agung pada 2022
7. PT Berau Coal pada 2025.

Direktur dan Kepala Bagian Hukum Adaro Energy Moh Syah Indra Aman mengatakan dari dasar hukum yang ada, Adaro dan perusahaan tambang lainnya justru memiliki hak untuk mendapat perpanjangan.

Ia menekankan hal yang sering diwacanakan belakangan seakan-akan menekankan bahwa pemegang kontrak PKP2B tidak berhak mendapat perpanjangan, dan menggunakan dasar Pasal 169 Undang-Undang Minerba.

Pasal 169 itu menyatakan bahwa Kontrak Karya yang telah ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian dan ketentuan yang tercantum dalam pasal Kontrak Karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU ini diundangkan.

"Padahal itu depannya saja, yang dibahas adalah IUPK. Sementara IUPK perpanjangan itu berbeda. Ada dua rezim yang berlaku, yang berlaku sekarang di batang tubuhnya itu bagian-bagian depan saja. Justru untuk IUPK perpanjangan harus lihat pasal-pasal di belakang, terutama peralihan. Bagi usaha-usaha yang sudah ada dalam PKP2B diatur dalam peralihan," jelasnya.

Indra mengatakan kontraktor PKP2B berpegang pada Pasal 112 Ayat 2 PP 77 Tahun 2014. Pasal ini mengenalkan istilah IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama. Regulasi PP itu mengatur tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Intinya pasal ini mengatur PKP2B yang berakhir masa kontraknya dan belum mendapat perpanjangan, akan berubah menjadi IUPK Operasi Produksi Perpanjangan Pertama sebagai kelanjutan operasi tanpa adanya proses lelang setelah berakhirnya Kontrak Karya.

"Inilah aturan yang sering dilupakan, bahwa kami juga diatur di undang-undang untuk mendapat hak ini," ujar Indra.

Lantas, kalau perdebatan belum berakhir, siapa yang lebih layak mengelola kekayaan alam yang pada ujungnya demi kemakmuran rakyat?

Sumber: CNBC Indonesia

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar