Irsan Hidayat, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Nasional

Blokir Medsos: Kebijakan Otoriter Menguasai Informasi

Minggu, 26/05/2019 10:43 WIB
Sosial media (Foto: Tribun)

Sosial media (Foto: Tribun)

[INTRO]
Pasca kerusuhan aksi 21-22 Mei 2019, pemerintah melalui menkominfo secara mengejutkan mengeluarkan kebijakan pemblokiran media sosial (medsos). Kebijakan yang lahir dari kepanikan pemerintah ini telah menyalahi kaidah formal kebijakan publik.
 
Jelas bahwa pemblokiran medsos merupakan bentuk kebijakan otoriter pemerintah yang ingin menguasai informasi untuk membentuk opini masyarakat guna membendung isu gerakan aksi massa penuntut kedaulatan rakyat.
 
Dampak pemblokiran medsos justru memperburuk citra pemerintah yang membuat opini masyarakat semakin liar. Informasi di medsos menjadi “tanggung” sehingga mudah disusupi opini dari oknum tidak bertanggungjawab yang menginginkan kondisi semakin kacau.
 
Disisi lain, kebijakan panik pemerintah tersebut telah merugikan pelaku usaha online, seperti diberitakan Republika edisi 24 mei 2019, jumlah kerugian mencapai Rp. 681 miliar. Kemudian juga menghambat aktivitas pekerjaan dan penyelenggaraan pelayanan publik jadi terganggu.
 
Sangat disayangkan, perjuangan menuntut sistem demokrasi yang telah mengorbankan nyawa itu menjadi sia-sia. Tabiat otoriter penguasa tampaknya belum hilang di era reformasi yang sudah memasuki usia ke-21 tahun, bahkan cenderung lebih parah dari Orde Baru, hanya perbedaan gaya saja.
Seharusnya pemerintah tidak perlu panik, demokrasi menuntut penguasa untuk lebih banyak mendengar.
 
Adanya gerakan aksi massa berarti ada sesuatu masalah yang terjadi, wajib pemerintah yang demokratis menanggapi hal tersebut bukan menganggap sebagai ancaman. Namun bentuk penyampaikan aspirasi yang perlu didengar, dilihat (didatangi), dirasakan dan dibahas tataran pemerintah. Aspirasi yang salah berikan pengertian kepada rakyat, bila ada yang benar, jadikan sebagai masukan untuk perbaikan negeri.
 
Tidak perlu pemerintah alergi dengan gerakan aksi massa, toh pemerintah sebagai otoritas pengelola kekayaan negara telah mendapatkan gaji, fasilitas mewah dan terjaminnya kehidupan keluarga.
 
Masyarakat selaku pemegang otoritas tertinggi cuma menyampaikan aspirasi sebagai bentuk kepedulian terhadap kondisi bangsa, ditengah ketidakpastian penghidupan mereka, karena masyarakat tidak digaji bulanan oleh negara.

(Rois Haqiqi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar