21 Tahun Reformasi,Beranikah Jokowi Proses Jenderal Pelanggar HAM

Kamis, 23/05/2019 09:13 WIB
Aksi Kamisan di Depan Istana Negara, Jakarta Menuntut Jokowi Memproses Hukum Para Jenderal Pelanggar HAM yang saat ini justru berada di kubu Jokowi (Indopolitika)

Aksi Kamisan di Depan Istana Negara, Jakarta Menuntut Jokowi Memproses Hukum Para Jenderal Pelanggar HAM yang saat ini justru berada di kubu Jokowi (Indopolitika)

Jakarta, law-justice.co - 21 tahun yang lalu, seluruh mahasiswa Indonesia melakukan aksi demonstrasi di berbagai daerah. Tuntutan mahasiswa kala itu untuk untuk mengadakan reformasi total di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional. Berkat gerakan mahasiswa, akhirnya Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998.

Kini reformasi sudah berusia 21 tahun. Selama 21 tahun ini publik masih dibuat bingung terkait dengan kasus penculikan aktifis 1998 yang belum juga menemukan titik terang. Hingga kini keluarga tak juga mendapat kejelasan, baik mengenai keberadaan anak dan saudara mereka yang hilang maupun pengusutan kasus yang terjadi di era Orde Baru itu.

Komnas HAM mencatat pada periode medio 1997 hingga medio 1998 setidaknya sebanyak 23 aktivis pro demokrasi menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa.Sembilan aktivis kemudian dilepaskan setelah mengalami penyiksaan, satu orang ditemukan tewas dengan luka tembak, dan 13 sisanya masih hilang serta tidak diketahui nasibnya. Siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab terhadap kasus penculikan ini ? Mengapa Pemerintah Jokowi hingga kini tak kunjung menyelesaikan kasus ini ?

Kilas Balik

21 tahun yang lalu, tepatnya pada Februari - April 1998, puluhan aktivis mahasiswa hilang satu per satu. Sebagian dari mereka kembali, sebagian yang lain tidak ditemukan hingga hari ini, alias hilang. Peristiwa hilangnya aktivis mahasiswa, yang kemudian disebut sebagai insiden penghilangan dan penculikan paksa tersebut, terjadi pada masa pemilihan presiden Republik Indonesia periode 1998-2003.

Pada masa itu, terdapat dua agenda politik besar yang sedang digelar di tanah air, yakni Pemilihan Umum 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998. Siapa calon terkuat presiden RI saat itu? Suharto tentu saja. Dalam peristiwa penculikan ini ada 9 korban penculikan yang berhasil kembali yaitu : Aan Rusdiyanto, Andi Arief, Desmond Junaedi Mahesa, Faisol Reza, Haryanto Taslam, Mugiyanto, Nezar Patria, Pius Lustrilanang dan Raharja Waluya Jati.

Sementara 13 Korban yang masih hilang adalah : Dedy Umar Hamdun, Herman Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M. Yusuf, Nova Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yani Afri, Yadin Muhidin dan Wiji Thukul. Dari daftar di atas, masih ada satu aktivis yang tercatat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang juga masih hilang, bernama Abdu Naser. Ia hilang pada 14 Mei 1998, dan terakhir terlihat di Karawaci, Tangerang.

Cerita sedih terkait penculikan ini antara lain menimpa korban yang tewas yaitu Gilang dan Faisol Reza yang selamat. Leonardus Nugroho alias Gilang, seorang aktivis yang berprofesi sebagai pengamen jalanan dan sering terlibat dalam kegiatan bersama mahasiswa di Yogyakarta dan Solo, akhirnya ditemukan di Magetan, Jawa Timur, dalam keadaan tewas dengan luka tembak di tubuhnya.

Menurut penuturan Budiarti ibunya, Gilang telah diculik, dibunuh, dan jasadnya dibuang di tengah hutan."Ditemukan dengan luka tembak. Gilang ditemukan dalam posisi terlentang dan tangan ditali di bawah pohon terus sobekan di dada. Lalu ulu hatinya yang di dalam itu dikeluarkan," ujar Budiarti dengan suara tercekat menahan tangis. Kala itu, Budiarti langsung syok mendengar kondisi anaknya tersebut. Ia tak menyangka dan tak habis pikir peristiwa naas itu bisa menimpa putranya. Padahal menurutnya, Gilang hanyalah seorang pengamen dan tidak pernah berbuat kriminalitas.

Peristiwa penculikan 1997-1998 itu juga memberikan luka bagi Ma`rufah, ibunda Faisol Reza, salah satu korban penculikan yang dilepaskan. Faisol Reza diketahui diculik di Jakarta pada 12 Maret 1998. Ma`rufah yang tinggal di Purbolinggo, Jawa Timur, mengetahui perihal tersebut dari koran sore yang dibacanya."Di situ tercantum Faisol Reza ditangkap, diculik di Rumah Sakit Fatmawati. Saya kaget. Lalu malamnya ditelpon LBH, diminta datang ke Jakarta," kenang Ma`rufah.

Dengan keterbatasan, dia bolak balik ke Jakarta untuk mencari keberadaan anaknya. Hingga akhirnya suatu hari, Faisol Reza menghubunginya dan mengabarkan dia telah dilepaskan dan akan segera pulang.

Ma`rufah mengungkapkan setelah dilepaskan, anaknya itu sama sekali tak mau menceritakan kondisinya ketika diculik. Ia mengetahuinya dari cerita adik-adik Faisol. Dari situ ia tahu bahwa anaknya telah mengalami hal yang mengerikan. Faisol, katanya, disiksa dengan sundutan rokok."Yang paling berat katanya ditidurkan dibalok es dalam keadaan telanjang. Lalu digantung pakai tali dengan kepala di bawah entah berapa menit saya enggak tahu. Dia nggak pernah cerita," ujarnya.

Dia amat bersyukur anaknya itu bisa selamat. Menyadari kondisi anaknya yang lebih beruntung daripada para aktivis yang hilang, dia pun berkomitmen untuk sebisa mungkin berjuang bersama keluarga korban yang masih menantikan pengusutan tuntas kasus ini.

Siapa yang harus bertanggungjawab ?

Menurut laporan tim ad hoc Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Penghilangan Orang Secara Paksa (PPOSP) periode 1997-1998, Tim Mawar adalah yang paling bertanggungjawab atas peristiwa penculikan puluhan aktivis ini. Tim Mawar merupakan sebuah tim yang dibentuk dibawah Grup IV Komando Pasukan Khusus (Kopassus) berdasar perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Prabowo Subianto.

Perintah tersebut diberikan kepada Komandan Grup 2 Kopassus, Kolonel Chairawan, yang selanjutnya dilanjutkan kepada Komandan Batalyon 42 Mayor Bambang Kristiono. Kebijakan dan praktik penghilangan paksa dilanjutkan pada kepemimpinan Mayjen TNI Muchdi Purwoprandjono di mana penculikan tetap berlangsung.

Dalam halaman 302 laporan tersebut, juga disebutkan bahwa berdasar waktu dibentuknya Tim Mawar, yaitu Juli 1997, dimungkinkan adanya tim lainnya atau personel yang telah dibentuk atau ditunjuk secara institusional oleh Kopassus.“Terjadinya penahanan baik sebelum dibentuknya Tim Mawar dan dalam dua kepemimpinan dari Mayjen TNI Prabowo kepada Mayjen TNI Muchdi Pr. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan penghilangan orang secara paksa atau penculikan merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan sebuah kebijakan secara institusional di bawah tanggungjawab Danjen Kopassus,” bunyi laporan tersebut.

Meski pada 1999 majelis hakim Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta telah menjatuhkan vonis penjara 12-22 bulan terhadap 11 anggota Tim Mawar, sebutan untuk tim eksekutor penculikan aktivis, namun inisiatornya hingga kini belum juga terungkap.

Inisiatif Pribadi atau Institusi ?

Dalam debat capres tahun 2014 yang lalu Prabowo pernah meminta kepada pak Jusuf Kalla untuk bertanya pada atasannya bila mau tahu perihal kasus penangkapan terduga teroris oleh Tim Mawar atau yang dikenal sebagai "penculikan aktivis" tahun 1998. Permintaan Prabowo ini  mengindikasikan bahwa yang terjadi dengan penculikan ini adalah operasi resmi negara. Sementara itu Wiranto; Fachrul Razi; Agum Gumelar, ketiganya jenderal yang bertanggung jawab memecat Prabowo menyatakan bahwa Prabowo penanggung jawab pertama dan utama, karena "penculikan aktivis" adalah inisiatif pribadi. Lalu siapa sebenarnya pihak yang benar?

Dalam hal ini menarik sekali ulasan yang pernah dimuat di website SiaR dan Xpos lebih dari 21 tahun yang lalu. Website yang digawangi oleh Goenawan Muhammad itu pernah mengulas sedikit mengenai putusan DKP dan mereka mengatakan bahwa alasan Prabowo tidak dibawa ke Mahkamah Militer adalah karena sebenarnya operasi penangkapan aktivis tersebut adalah operasi resmi negara dan bukan itu saja, Prabowo malah memiliki surat perintah dari Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung yang mana pada saat bersamaan Wiranto adalah KSAD-nya. Petikan dari SiaR dan XPos itu adalah sebagai berikut ini:

"Tapi, teknik ABRI menyelesaikan intern soal penculikan ini, agaknya memang sengaja ditempuh untuk menghindari terbongkarnya orang-orang di belakang Prabowo. Sebuah sumber di Mabes ABRI mengatakan, sebetulnya Prabowo punya surat perintah penculikan itu, yang diteken oleh Jenderal Feisal Tanjung, Pangab sebelumnya. Surat itu, konon, akan dibeberkan kalau Prabowo diseret ke Mahmilub. Akibatnya, Wiranto berkompromi dengan menjatuhkan hukuman yang ringan untuk Prabowo." http://www.minihub.org/siarlist/msg00741.html

Bila SiaR benar maka artinya terang dan jelas bahwa Prabowo memang tidak bersalah sebab dia hanya seorang prajurit yang menjalankan tugas dari Panglima ABRI dan sampai derajat tertentu KSAD. Bila SiaR benar maka kita bisa menyatakan dengan tegas bahwa Wiranto, Fachrul Razi, Agum Gumelar telah melakukan suatu kebohongan publik ketika mereka mengatakan Prabowo dipecat karena melakukan perbuatan tercela dan alasan hukumannya ringan adalah mempertimbangkan marwah mantan Presiden Soeharto, sebab hukuman ringan justru untuk mencegah Prabowo menyeret Panglima ABRI termasuk Feisal Tandjung dan penggantinya, Wiranto.

Semua fakta ini sekaligus membuka alasan Munir membela Prabowo dan menyatakan Prabowo sebagai orang tidak bersalah yang dikorbankan "mereka," Siapa mereka sebagaimana dimaksud Munir? Hanya beliau yang tahu, tapi yang jelas sebelum ke Belanda, Munir pernah menyatakan bahwa dia akan mengungkap dalang "penculikan" aktivis dan tentu saja kita tahu bahwa Munir kemudian diduga diracun atas perintah oleh Hendropriyono dan Muchdi Pr.

Dengan demikian "penculikan aktivis" sesungguhnya adalah atas perintah Panglima ABRI Jenderal Feisal Tandjung dan patut diduga juga diketahui KSAD Jenderal Wiranto sebagaimana ditemukan oleh SiaR.

Fakta keterlibatan pimpinan tertinggi ABRI dalam kasus tersebut juga dinyatakan oleh "korban penculikan" bernama Andi Arief yang menyatakan sebagai berikut: "Penculikan adalah rentetan aksi dari rejim diktator. Keterlibatan Benny Moerdani, Feisal Tanjung, Hendropriyono dan Wiranto adalah fakta. Tapi mereka tak mengakuinya, mereka lobi sana sini agar tak terkena kasus pelanggaran HAM. Prabowo mengakuinya, meski belum ada kecocokan tentang data antara PRD dan Prabowo. Kita tentunya justru balik curiga bahwa ada yang tak ingin kasus ini selesai dan ada yang tak ingin selain Prabowo tersentuh.

Ada lagi fakta menarik lain yang pernah diserahkan ke Komnas HAM, bila isinya benar dan dokumen tersebut valid maka akan menjadi bukti paling menentukan untuk membawa pelakunya ke pengadilan sekaligus membersihkan nama Prabowo. Dokumen tersebut adalah notulen rapat terbatas tanggal 17 Juli 1998 tentang Operasi Kuningan di rumah Wiranto yang dihadiri oleh Agum Gumelar, Soebagio HS, Fachrul Rozi, dan Yusuf Kartanagara yang mana Agum Gumelar mengemukakan pendapat mengenai perlunya menciptakan "aktor" yang akan dijadikan dalang segala dalang kerusuhan Mei dan "penculikan aktivis."

Selanjutnya Soebagyo HS menyarankan agar kepergian Wiranto ke Malang tanggal 14 Mei 1998 dijadikan alibi untuk mengarahkan Prabowo sebagai aktor utama kerusuhan di Jakarta dan penangkapan aktivis. Letjend Fachrul Rozi juga mengusulkan pembentukan Dewan Kehormatan Perwira tanpa Mahkamah Militer untuk memberhentikan Prabowo sekaligus menciptakan opini bahwa Prabowo adalah dalang kerusuhan di Jakarta. Terakhir Wiranto memberi perintah agar para "aktivis" yang belum dilepas untuk "disukabumikan."

Untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan dokumen tersebut cukup mudah yaitu melakukan pemeriksaan forensik terhadap tanda tangan para peserta rapat yang dibubuhkan di dalam dokumen notulensi. Bila tanda tangannya asli, maka tidak ada alasan untuk tidak membawa Wiranto, Soebagyo HS, Fachrul Razi, Yusuf K dan Agum Gumelar ke pengadilan. Sayang sekali pemeriksaan forensik hingga sekarang tidak dilakukan (http://m.aktual.co/politik/145428operasi-kuningan-wiranto-perintahkan-13-aktifis-98-dibumihanguskan).

Fakta lain adalah pengakuan dari Kolonel (Purn) Ruby, (mantan Komandan Tim I Kompi 13, Grup I, Kopassus Serang) bahwa "penculikan" dan kerusuhan tahun 1998 terjadi atas perintah Panglima ABRI Jenderal Wiranto. "Salah itu, dugaannya ke Prabowo. “Yang membumihanguskan (tragedi) 98 itu dan Timtim itu ya Wiranto, perintah Wiranto.(http://m.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/06/21/n7ikm7-puluhan-eks-anggota-kopassus-marah-terhadap-wiranto#).

Mengapa Tidak Diselesaikan ?

Dengan terungkapnya serangkaian fakta diatas, berangsur-angsur bukti Prabowo Subianto difitnah secara keji oleh para elit Angkatan Darat yang berasal dari kelompok Jenderal Leonardus Benny Moerdani/LB Moerdani mulai terungkap ke permukaan. Memang di sana-sini masih ada fakta yang harus dikonstantir karena para konspirator sangat ketat dalam menjaga konspirasi, tetapi dapat dikatakan bahwa kebanyakan bukti yang ada sudah secara utuh memberikan gambaran mengenai yang sesungguhnya terjadi pada tahun 1998.

Ini bukan soal sakit hati, dendam atau amarah, melainkan bicara soal keadilan dan menariknya dari bukti-bukti yang baru ditemukan ini secara substantif memang membuktikan ada "sesuatu" yang perlu dikaji terhadap pemahaman kita selama ini tentang kasus 1998 yaitu benarkah Prabowo Subianto dan Tim Mawar bersalah atas "penculikan aktivis" ? Atau mereka hanya orang tidak bersalah yang dijadikan kambing hitam?

Sudah lama keluarga korban penculikan yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) pun menuntut pemerintah untuk segera mengusut tuntas kasus ini. Salah satunya mereka meminta agar Pemerintah menjalankan 4 rekomendasi DPR RI soal kasus ini yang dikeluarkan pada 2009.

Rekomendasi tersebut, antara lain: pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang.Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Empat rekomendasi tersebut sampai kini tidak pernah bisa terealisasi . Padahal  bagi keluarga korban yang terpenting adalah mereka mengetahui secara pasti kondisi dan keberadaan keluarganya yang hilang dan diculik. Yang paling ditunggu sebenarnya untuk dilakukan pemerintah adalah bahwa keluarga berharap pemerintah mencari mereka. Apakah masih hidup atau sudah meninggal, kalau meninggal dikubur di mana.

Pemerintah Jokowi yang barusan dinyatakan menang oleh KPU seharusnya punya komitmen yang jelas untuk penyelesaian kasus penculikan ini. Sebab kalau kasus ini tidak segera diselesaikan maka publik menilai jangan-jangan kasus ini sengaja “dilupakan” karena diduga jenderal jenderal bermasalah yang terlibat kasus pelanggaran HAM seperti  Wiranto, Hendropriyono, Muchdi Pr, Agum Gumelar, Luhut, dll ada dikubunya Jokowi.

Pada sisi lain lembaga-lembaga seperti  Komnas HAM,  LBH Jakarta, PBHI, Kontras, Elsam seyogyanya menunjukan kepada publik bahwa mereka memang memiliki komitmen dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM di negara ini dan bukannya mempolitisasi kasus-kasus HAM semata-mata demi meraup donasi dari para donatur asing untuk kegiatan advokasi LSM mereka. Publik akan terus bertanya bagaimana mungkin di negara yang katanya sudah mengalami perbaikan dalam penegakan HAM serta memiliki instrumen lengkap untuk menjerat pelaku pelanggaran HAM tapi para pelanggar HAM-nya masih bebas berkeliaran. Pertanyaan berani dan punya nyalikah Jokowi memproses hukum para jenderal pelanggar HAM yang justru menjadi penyokong utama dirinya dalam Pilpres 2019??

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar