TPDI: Waspada Kader Parpol Terpapar Radikalisme `Menyusup` ke DPR

Kamis, 25/04/2019 17:28 WIB
Gedung DPR RI (Foto: The Indonesia Institute)

Gedung DPR RI (Foto: The Indonesia Institute)

Jakarta, law-justice.co - Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menegaskan perlunya kewaspadaan partai politik terhadap kader-kader partai politik yang terpapar radikalime yang ikut dalam Pileg 2019. Menurut Petrus, menguatnya radikalisme di tanah air secara tidak langsung disebakan oleh lemahnya produk hukum.

"Mengapa, karena terdapat dugaan adanya penyusupan caleg-caleg yang berafiliasi atau yang terpapar dengan radikalisme dan intoleransi, sehingga segala aktivitas politik di DPR RI terkait dengan bidang legislasi harus benar-banar dicermati, agar kelak DPR RI tidak lagi melahirkan peraturan perundang-undangan yang memberi ruang bagi berkembangnya radikalisme dan intoleransi," kata Petrus dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (25/4).

Dia menjelaskan bahwa saat ini dikonsatir sejumlah pihak bahwa banyak kader parpol yang terpapar radikalisme dan intoleran berhasil masuk ke berbagai instansi pemerintah, baik ekskeutif dan yudikatif.

Karena itu, kata dia, parpol berbasis nasioalis-religius secara dini bersikap awas terhadap kemungkinan munculnya produk hukum di DPR yang mendukung praktik radikalisme dan intoleransi.

"Karena terdapat fakta dimana sejumlah produk legislasi yang dihasilkan oleh DPR dan sejumlah kebijakan pejabat eksekutif, bukan saja telah memberi ruang dan waktu bagi berkembangnya radikalisme dan intoleransi selama kurun waktu 15 tahun terakhir pascareformasi. Akan tetapi juga sejumlah rumusan pasal dari UU tertentu telah mempersulit atau memperlemah posisi negara ketika negara hendak mengeksekusi kebijakannya untuk menindak ormas radikal dan intoleran yang aktivitasnya nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila bahkan mau menggantikan Ideologi Pancasila itu sendiri," jelasnya.

Lebih lanjut Petrus mengatakan, salah satu sebab menguatnya radikalisme dan intoleransi di Indonesia adalah longgarnya UU yang mengatur tentang keormasan dan SARA, pun sanksi pidananya sangat rendah.

"Salah satu contohnya tentang "kejahatan SARA yang meskipun sudah diatur di dalam UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dengan ancaman pidana lima tahun penjara bahkan enam tahun kalau menggunakan Informasi Elektronik, namun rumusan pasal kejahatan sara itu diatur lagi di dalam UU Pemilu atau Pilkada, yang ancaman pidananya hanya tiga bulan s/d 18 bulan penjara," ujarnya.

Petrus juga menyinggung elit parpol berbasis nasionalis-religius yang kurang peka dengan radikalisme dan intoleransi di Indonesia.

Dia mengatakan, ketika ada warga negara dari kelompok minoritas menghadapi persekusi, intimidasi atau perilaku SARA, kerap kali tak terdengar suaranya untuk membela warga negaranya, bahkan kader partainya yang menjadi korban SARA, persekusi dan sebagainya.

"Sekalipun partai politik yang berasaskan nasionalis-religius, namun tetap diam seperti tak berdaya," pungkasnya.

 

 

(Marselinus Gual\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar