Hari H Pilpres 2019 (Tulisan-8)

Hamdi Muluk UI: Prabowo Sudah Nggak Bisa Nyaingin

Rabu, 17/04/2019 14:54 WIB
Pakar psikologi politik Hamdi Muluk. (Foto: Antara)

Pakar psikologi politik Hamdi Muluk. (Foto: Antara)

Jakarta, law-justice.co - Kaum muda sekarang realistis. Mereka tak mudah termakan janji-janji. Yang mereka perhatikan adalah rekam jejak. Selain itu mereka juga mengamati pembawaan seseorang. Satu lagi, yang bergaya kekinian asyik di mata mereka. Sedangkan yang temperemental jauh dari hati mereka. Dengan begitu peluang pasangan Joko Widodo-Maruf Amin lebih terbuka dalam memperebutkan suara kaum milenial di Pilpres 2019.  Begitu menurut Hamdi Muluk, pengamat politik, yang juga guru besar psikologi politik di Universitas Indonesia (UI). “Prabowo Sudah Nggak Bisa Nyaingin,” ucap dia.

Berikut ini paparan Koordinator Program Master dan Doktoral di Fakultas Psikologi UI itu kepada Teguh Vicky Andrew dari Law-justice.co.

Pemilih muda, milenial dan yang lain  jumlahnya besar; sekitar 80 juta menurut KPU. Begitukah?

Tergantung rentang umurnya berapa. Tapi kalau yang Anda maksud milenial itu sampai umur 20-an, itu kecil. Yang mana? Tergantung definisi  milenialnya.

Yang galau itu justru yang berusia di bawah 30 ya

Yang galau itu kebanyakan, kemarin itu saya lihat-lihat, yang undecided voter. Itu lebih banyak disumbang orang umur 22  maksimum 35. Itu siapa? Keluarga muda, punya anak satu. Kehidupan belum terlalu mapan dan kebanyakan tamat SMA, SMK, atau D3. Pekerjaannya  pegawai-pegawai rendahan atau menengah, yang gajinya 2-5 juta. Hidup itu dibilang  miskin, nggak miskin juga. Dibilang sudah  mapan juga belum. Di tengah-tengah, gantung. Nah, ini  yang banyak galau.

Ada lagi yang galau dari kelompok-kelompok kritis, yang S-1, aktivis  LSM. Itu yang sekarang suka galau. Mereka agak manja menurut saya. Dikit-dikit ngancam golput. “Saya golput saja, nggak ada  bagus. 01 nggak bagus, 02 nggak bagus. Udah golput saja, gitu.”  Nah, yang ini  yang sekarang banyak diceramahin sama Pak Magnis Suseno. “Jangan begitulah. Kita ini bukan mencari orang terbaik, tapi mencegah orang buruk berkuasa. Mbok ya sadar punya tanggung jawab. Nggak semua keinginan kalian yang muluk-muluk, utopis, idealis itu dapat. Nggak ada orang yang sempurna.” Kan gitu . Itu lain lagi ceritanya.

Tapi kelompok-kelompok undecided tadi itu saya lihat masih menunggu dari 2 paslon soal ekonomi yang mereka persoalkan. Karena bagi mereka penghasilan 2-5 juta itu rentan. Duit beda 20 ribu saja bisa jadi soal. Mereka itu yang disurvei SMRC [Saiful Mujani Research & Consulting]. Terungkap tadi:  mereka mengeluhkan betapa lapangan pekerjaan menjadi problem.

 

Di bilik suara. (Foto: Karl BAM Sirait)

Melihat ledakan  populasi, kita perlu hati-hati. Pertumbuhan demografi kita  jomplang. Orang menyebutnya bonus demografi. Cuma, hati-hati karena bukan bonus doang. Kalau mereka nggak punya pekerjaan, nggak tertampung, itu akan menjadi bencana demografi. Orang-orang muda itu banyak umur 20-30, nggak tertampung. Lompatan ekonomi kita untuk keluar dari jebakan middle  income memang butuh prasyarat.

Nggak mungkin terjadi kalau  infrastrukturnya buruk. Itu sudah  pasti. Gimana Anda buat  manufaktur dan menciptakan lapangan pekerjaan jika cuma membangun infrastruktur. Butuh waktu dia [infrastruktur] punya dampak. Percepatan (pembukaan) lapangan kerja! Bu Sri Mulyani sudah bilang kuncinya adalah: infrastruktur dibaikin, investasi dimasukin. Sekarang kalau  investasi asing dimasukin, teriak-teriak anti-asing. Padahal Faisal Basri buat pidato kebudayaan keren. Dia bilang:  coba lihat kalau kita dibanding negara lain itu: tingkat investasinya rendah, nggak sampai  3%. Kita  kurang malah dimasukin asing, kata Pak Faisal Basri. Itu benar. Sektor investasi itu yang mendongkrak lapangan pekerjaan segala macam.

Kita, gimana nggak ada investasi masuk? Infrastrukturnya kurang dan perlu kepastian hukum. Kepastian itu paling kacau dimana? Di Pemda. Sengaja  dibikin sulit-sulit semua urusan. Kan nyebelin sebenarnya karena dia pengen ngutip-ngutip upeti. Jadi, saya bilang:  berpikir waras! Tapi orang-orang  yang seperti tadi kan nggak mengerti;  bagi mereka tahunya langsung jadi. Ada lapangan pekerjaan, kebutuhan terjangkau, penghasilan jadi lebih baik.

Kita secara  ekonomi secure. Orang-orang yang galau saya lihat kurang puas. Tapi ketika mau milih 02 belum tentu juga mau karena jargon-jargon saja. “Pokoknya kalau saya berkuasa, menang nanti lapangan pekerjaan gampang, harga-harga dimurahin.” Gimana caranya? Nggak jelas juga detilnya. Mereka juga  nggak ngerti. Itu  yang membuat mereka yang galau sekarang  undecided.

Cuma kita lihat sekarang: undecided secara statistik makin mengecil, 10% paling gede. DI SMRC lebih kecil:  7&. Nah, kalau pindah  ke 02 nggak cukup juga untuk menang.

Secara umum, ada nggak peningkatan kepedulian anak muda terhadap dunia politik, khususnya pemilu?

Itu juga problemnya. Orang-orang yang Anda sebutkan tadi, umur 20  sampai 35, tipe yang apolitis. Mereka tidak suka memperbicangkan politik, nggak nonton debat, Orang-orang  seperti itu nanya-nanya ke lingkungan. “Ini gimana nanti?”

Anak muda masih banyak yang undecided votter. Lantas siapa yang paling  serius mendekati  mereka:  01 atau 02?

Dua-duanya. Kalau sudah saat terakhir biasanya  strateginya lempar jala apa pun. Ikan harus dapat! Tembak semua peluru, kira-kira begitu. Tapi memang, mau 01 atau  02,  pasti mereka memberikan penekanan berlebih pada undecided votter. Orang-orang yang perlu dijawab kegundahannya soal hal-hal yang  menyangkut hajat hidup sehari-hari perlu dijawab. Makan, kebutuhan sembako, kerja, harga-harga terkendali, lapangan pekerjaan, kesempatan kerja, usaha. Mereka harus diyakinkan bahwa, “Kami memberikan jawaban  lho”. Itu yang harus dilakukan oleh kedua pasangan.

Apakah ada perbedaan pendekatan  antara 01 dan 02?

Sebenarnya kan Sandi itu berusaha mencitrakan: dia adalah orang yang mengerti anak-anak milenial dan dia bergaya milenial. Dia memang orang muda.  Tapi program-program yang Oke-Oce  itu kan barang mati. Dia harus  lebih kreatif dari itu karena  orang bosen dengerin. Nanti jawabnya oke-oce lagi. Rumah pra-kerja itu nggak ada bedanya dengan program Jokowi. Malah Jokowi lebih konkrit: menyediakan akses kalau orang yang punya kartu pra-kerja bisa masuk BLK [balai latihan kerja], bisa dapat trainining, uang saku, kesempatan kerja…Dia lebih konkit.

Sandi berputar saja di Oke-Oce sama rumah pra-kerja. Konkritnya seperti apa? Sekarang pendekatan ke komunitas-komunitas. Pak Jokowi sudah lebih duluan karena ada festival milenial. Orang-orang muda  dikumpulin. Dia sudah masuk ke situ. Terus juga simbol-simbol yang dipakai Jokowi, misalnya startup-start-up itu. Jokowi lebih dekat. Makanya kemarin ketika  Zaky [Achmad Zaky Syaifudin, bos Bukapalak] salah lidah, ia merasa gundah dan langsung minta bertemu di istana. Itu artinya dia paham Pak Jokowi  itu sudah nyapa golongan-golongan start-up. Cuma gara-gara keseleo lidah Zaky merasa salah langkah. Dia datang lagi, sowan ke istana.

Menunggu giliran mencoblos, tadi pagi. (Foto: Karl BAM Sirait)

Apakah gagasan Sandiaga Uno untuk membuka lapangan pekerjan  dengan menghadirkan pabrik-pabrik menarik bagi anak muda?

Nggaklah! Anak muda sekarang  hobinya bikin start-up, bikin office; kerja-kerja yang gaya kekinian.

Justru itu kan yang ditawarkan Jokowi dengan E-comerce, Unicorn, dan ekonomi digital

Iya, betul. Pak Jokowi malah lebih lincah gerakan ke sana. Jadi kalau  menurut data survei, milenial dimenangkan oleh Jokowi. Cuma ada yang menarik. Kelompok-kelompok lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya hanya 7%, kecil populasinya, cenderung ke Prabowo. Agak tipis selisihnya, 2-5%. Itu menarik. Penjelasannya  begini. Kelompok-kelompok itu, dugaan saya, ragu memilih Jokowi karena  ekspektasi yang terlalu besar. Mereka-mereka orang-orang terdidik dan punya harapan yang lebih besar. Mereka sedikit galau sekarang dan itu membuat mereka undecided.  Atau lebih cenderung ke Prabowo, dengan persentase (keungulan) yang kecil kalau 7%. Kalau  semuanya memilih Prabowo,  nggak ngangkat juga suaranya. Jumlah populasnya kecil.

Nah, orang-orang seperti ini, dalam tanda kutip, kelompok-kelompok menengah yang manja dan cerewet, mau dapat yang terbagus. Situasi ekonomi sulit sekarang. Dia mau dapat gaji, rumah bagus. Ekspektasinya terlalu tinggi. Cuma kalau kita tanya, “Lu mau ganti ke Prabowo—apa semudah membalik telapak tangan?” mereka juga bingung sebenarnya. “Apa iya ya?”  Tapi marah gitu lho.  “Ini nggak perform, ekonomi cuma 5,3%!”  Cerewet gitu. Istilahnya, kaum menegah yang manja.

Kemarin alumni kampus-kampus gencar mendukung pasangan calon. Mengapa itu terjadi?

Alumni itu akan mendorong orang agar bersolideritas berdasarkan komunitas. Padahal di era sekarang individu-individu otonom, mandiri. Dia sudah memutuskan dengan caranya sendiri. Nggak terlalu banyak menolong, komunitas itu. “Saya Hamdi, milih ini..” So what? Saya lihat saja: ini tawarannya apa, masa lalunya kayak apa, orangnya kayak apa, karakteristik apa. Ini jelek, itu jelek... Saya putuskan. Begiitu sekarang.

Kadang-kadang banyak juga orang yang tiba-tiba ikut komunitas ini-itu. Ternyata motifnya pertemanan saja, kangen-kangenan sesama alumni.  Kayak reuni. Yang begitu-begitu deklarasinya banyak ke-01.  Survei sekarang  tidak memperlihatkan itu sebagai faktor yang mendorong orang memilih. Jadi nggak signifikan. Bukan atas dasar itu pasangan calon dipilih. Survei SMRC itu tadi, menurut saya sudah paling logis.

SMRC kan urutannya: faktor apa yang paling menentukan untuk memilih. Ini menurut saya saintifik, karena diregresikan. Jadi, faktor pertama orang milih Jokowi adalah kualitas personal (0,85 angka regresinya), evaluasi atas kinerja (0, 88), keyakinan terhadap kepemimpinan (0,84). Ada juga yang hubungan negatif yaitu kalau Jokowi itu nggak bisa melepaskan diri dari hoaks bahwa dia kaki tangan RRC.  Drop suaranya. Terus, kedua,  isu PKI. Dua itu yang menghantam dia. Yang lain itu adalah kepuasan terhadap penegakan hukum, keamanan, politik yang terjaga, dan inflasi yang terjaga. Jadi ini sesuatu yang masuk  akal. Orang melihat itu bagus, mereka milih.  Nggak ada soal  itu alumni atau nggak. Nggak ada urusannya.

Dua kubu ini dikritik juga karena menyederhanakan. Seolah  kaum muda hanya tinggak di perkotaan.

Arus migrasi orang muda ke kota itu gede banget sekarang. Jadi yang tinggal di kampung itu orang tua sama anak-anak. Itu problemnya memang. Data demografi memang begitu sekarang.

Atau memang dua pasangan calon ini hanya menyasar kaum muda yang tinggal di perkotaan saja?

Iya itu, sudah dihitung. Jadi, dia fokus ke kota atau sub-urban. Di situ ngumpul anak-anak muda itu. Makanya sekarang Kementan [Kementerian Pertanian] membuat program anak muda mulai bertani; supaya balik ke kampung. Cuma problemnya, menurut saya, ketersedian lahan. Rata-rata penguasan lahan  itu baru setengah hektar per orang. Itu ekonominya nggak layak. Kalau setengah hektar kaum muda dapat apa? Kalau  mau agak kaya minimal 5 hektar. Itu problem juga. Anak-anak muda nggak tertarik. Pulang kampung Cuma ngolah 0,5 hektar. Makanya sekarang Kementan mencoba cetak sawah baru.

Caleg muda sekarang banyak juga. Bisakah itu jadi indikator bahwa anak muda telah melek politik?

Ini menarik juga. Kemarin BBC mewawancara saya  soal Caleg Muda dan Perempuan. Saya bilang, memang rada kasihan kita: kultur kita kan patriakrat. Laki-laki itu yang dianggap cocok di politik; perempuan nggak. Kedua, kalau perempuan di jalur politik, dicurigai dia bukan perempuan yang baik. Ketiga, kalau dia masuk parlemen, lembaga yang didominasi laki-laki, dianggap nggak mutu sehingga ngak dikasih jabatan strategis. Pemanis doang.

Saya bilang, mereka ini seperti triple minority. Nah, sekarang, yang berani mengubah itu PSI. Cewek-cewek muda banyak di sana. Ini eksperimen politik menurut saya. Cilakanya, perempuan juga nggak bepihak pada sesamanya. Voter perempuan  50 persen. Seharusnya seluruh mereka memilih caleg perempuan. Nyatanya  milih caleg laki-laki juga.

Terus ada problem  kapasitas. Perempuan-perempuan muda ini political skill-nya masih kalah sama yang tua-tua yang rata-rata laki-laki. Di Dapil dia kalah, di parlemen dia kalah juga. Kan masalahnya sekarang, hanya karena 30%  syarat keterwakilan perempuan. Tapi yang kepilih kan nggak sampai 30%. Calon doang 30%.

 

Kehadiran caleg muda ini  apakah membuat pemilu lebih menarik di mata generasinya?

Nggak. Sikap mereka ambivalen soal politik. Di satu sisi dia benci. Kan anak  muda emoh lihat politisi yang  kerjanya  tukang kacau, korupsi, bohong, nyinyir kayak Fahri Hamzah. Nyebelin gitu. “Kalau bisa  gua getok kepalanya!”  Tapi satu sisi dia bilang, negara ini harus ada politisinya. Suka tidak suka harus tetap ada, anggota parlemen harus ada politisi. Jadi, antara benci dan rindu.

PSI melangsungkan kampanye untuk kaum muda. Tapi menurut survei elektabilitas mereka rendah. Itukah penyebabnya?  PSI itu menurut saya salah strategi untuk satu hal. Dia nggak sabar. Harusnya  5 tahun dia ormas saja dulu,  kayak Nasdem. Kalau tingkat pengenalannya sudah cukup bagus, baru nanti (bikin partai). Nasdem juga, dia dapat 7%. Dia sabar, jadi ormas dulu. Bangun basis massa dulu.

 Anak muda lebih suka 01 atau 02?

Kalau saya lihat mereka lebih ke 01. Jawabannya waktu Jokowi naik motor di Asian Games. Saya bilang sebelah sana sakit gigi ini. Itu kuat betul. Setelah itu dia ke mana-mana pakai  sneaker, gerak-geriknya lincah. Jadi orang menduga kedatangan Maaruf Amin akan merontokkan basis mereka  di kaum milenial. Nggak tuh…. Karena Jokowi sihirnya  di situ; dia itu sudah milenial gayanya.  Belum lagi nge-vlog. Anak-anaknya di Instagram jahil lagi. Terus milenial banget. Jadi Maaruf  nggak ngaruh. Prabowo sudah nggak bisa nyaingin.

Makanya kalau sudah urusan milenial  itu pertarungannya antara Jokowi dengan Sandi. Tapi Sandi kan vice. Orang tetap lihat presiden dong yang nentuin kan presiden. Sehebat-hebatnya vice-president,  nggak nentuin dia.

Kalau  Pak Prabowo kerjaannya cuma gebrak-gebrak meja. Ya, sudah selesai dia.  Itu  fakta lho, terkronfirmasi. Tempramen menurunkan elektabilitas.  Buktinya apa? Di tahun  2014 saya survei bikin suvei tentang kepribadian. Dia itu dianggap otoriter, temperamental, emosi tidak terkendali, dan  one man show. Jadi itu yang membuat dia menjadi sosok yang ditakuti.

(Teguh Vicky Andrew\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar