Ekspor RI Turun, Mendag Salahkan Perang Dagang

Rabu, 17/04/2019 08:31 WIB
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (Foto: CNBC)

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita (Foto: CNBC)

Jakarta, law-justice.co - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor RI selama Januari-Maret 2019 (kuartal I-2019) turun, tercatat defisit sebesar US$ 193,4 juta. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, neraca perdagangan RI masih bisa membukukan surplus sebesar US$ 314,4 juta.

Salah satu penyebab defisit itu adalah ekspor yang menurun dalam tiga bulan berturut-turut di awal tahun ini. Data BPS yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan, nilai ekspor pada Januari 2019 tercatat sebesar US$ 13,87 miliar atau turun 4,7% dibandingkan Januari 2018 (year-on-year/yoy). Ekspor non-migas sendiri turun 4,5% yoy di bulan pertama tahun ini.

Tak kunjung membaik, ekspor di Februari malah kembali menyusut 11,33% yoy menjadi US$ 12,53 miliar. Ekspor non-migas menyumbang penurunan 10,19% yoy.


Di bulan lalu, kinerja ekspor memang sedikit membaik senilai US$ 14,03 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Namun jika dibandingkan Maret tahun lalu, nilai ini tetap turun 10,01%. Nilai ekspor pertambangan dan industri pengolahan menjadi biang kerok dengan penurunan masing-masing sebesar 15,37% dan 7,84% yoy.


Lantas, apa solusi yang ditawarkan pemerintah?

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyalahkan perang dagang sebagai faktor utama. Dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah atau melemah di dunia, permintaan global menurun sehingga pasar ekspor semakin sempit dan timbul persaingan antar negara.

``Nah, keberhasilan memenangkan persaingan itu tergantung harga dan kualitas produk kita serta bea masuk di negara tujuan. Bea masuk bisa menguntungkan bagi mereka yang sudah ada perjanjian dagang, kita baru mulai membuka setelah 8 tahun," kata Enggar usai menghadiri Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (16/4/2019).

Dia mengacu kepada Indonesia-Chile CEPA yang berhasil ditandatangani Desember 2017, Indonesia-EFTA CEPA yang diteken pada Desember 2018, dan Indonesia-Australia CEPA yang ditandatangani awal Maret lalu. Ketiganya hingga kini masih menunggu proses ratifikasi di DPR.

Mendag pun lebih memilih menjabarkan upaya pemerintah menekan impor. Dia mengaku tidak khawatir dengan defisit neraca dagang di kuartal-I tahun ini, karena impor lebih banyak terjadi di kelompok bahan baku.

"Ini menunjukkan pertumbuhan industri meningkat, baik dari volume, kapasitas, maupun investasi baru, terutama di kawasan ekonomi khusus (KEK)," katanya.

Sebagaimana yang dilansir dari CNBC Indonesia, Enggar mengakui defisit neraca dagang masih akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan, karena industri manufaktur membutuhkan waktu untuk menghasilkan ekspor bernilai tinggi.

"Pada akhirnya nanti dia akan menghasilkan dan itu akan meningkatkan ekspor. Substitusi barang impor dan mendorong industri berorientasi ekspor terus kita lakukan. Baru nanti akan menghasilkan di 2019 ini," pungkasnya.

(Rois Haqiqi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar