Menjelang Hari Terakhir Pilpres 2019 (Tulisan-2)

Golput, Ekspresi Kekecewaan, dan Hujatan

Selasa, 16/04/2019 21:15 WIB
Gerakan Golput (Foto: Bamboeroentjing.com)

Gerakan Golput (Foto: Bamboeroentjing.com)

Jakarta, law-justice.co - Sabtu, 13 April 2019. Di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sejumlah pegiat gerakan mendeklarasikan sikap #SayaGolput. Mereka membacakan maklumat ‘Memilih untuk Tidak Memilih’. Korban kejahatan 1965, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jaringan Tambang (JATAM), Paralegal, organisasi buruh, dan beberapa tokoh independen yang bergerak secara individu, termasuk yang turut menyatakan sikap.

Nining Elitos, wakil serikat buruh, memilih golput secara sadar. Alasannya? Baik kubu Jokowi maupun Prabowo sama-sama mengabaikan hak dasar buruh. Keterpilihan Jokowi di tahun 2014, menurut dia,  sebenarnya cukup memberi harapan baru. Tapi nyatanya kebijakan yang dimunculkannya kemudian  tak berpihak ke kaum pekerja. Kepastian kerja, umpamanya, tidak ada sampai hari ini.

“Buruh berjuang di pabrik perkebunan justru dikriminalisasi. Di Gresik, buruh dipenjarakan karena menolak outsourching. PHK juga makin semena-mena,” ujarnya.

Elisa Sutanudjaja, seorang pegiat tata kota di kawasan urban Jakarta, juga berpenilaian miring. Selama ini, tegas dia,  warga kerap dibohongi pemerintah. “Penggusuran yang dilakukan berkali-kali adalah hasil produksi kebijakan yang terakumulasi tanpa koreksi. Saya tidak melihat itikad baik dari keduanya [kubu 01-02] untuk mengubah keadaan. ”

Intoleransi makin meningkat selama Jokowi memerintah Indonesia. Aktivis lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), Roy Murtadho, berpenilaian demikian. Ia mencontohkan kasus penggusuran warga Kulon Progo yang dilakukan pemerintah setempat di penghujung 20i7 demi kelangsungan proyek bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) . “Pemerintah justru setuju penggusuran. Isu toleransi hanya jadi ucapan di permukaan,” tandasnya.

 

Memilih untuk tidak memilih. (Foto: Robinsar Nainggolan/Law-justice.co)

Puluhan orang yang hadir hari itu menyatakan ke-golput-annya  dengan membaca maklumat secara bersamaan. “Siapa pun yang akan terpilih, kami tetap terus berjuang mengembalikan kedaulatan rakyat,” demikian penutup deklarasi itu. Lalu mereka melanjutkan aksi dengan mencelupkan jari kelingking tangan kanan ke dalam tinta putih secara bergantian.

Menjelang hari-H pencoblosan,  17 April 2019, pendukung Golput  semakin menggeliat. Penyebab utamanya adalah ketakpuasan terhadap pemerintah sekarang, pada satu sisi, dan tidak ada tawaran konkrit pemecahan masalah dari kubu yang merupakan rivalnya, Prabowo-Sandi.

Gerakan golput mengimbas kalangan muda, terutama lewat media sosial. Para netizen tertentu rajin berkicau soal keenggan dirinya mencoblos lusa. Salah satu dari mereka adalah Haris Azhar, pegiat hak asasi manusia (HAM) yang lama berkiprah di Kontras.  Di Twitter ia menggunakan nama akun PilihNo3 sebagai isyarat dirinya tak memilih baik Capres 01 maupun 02.

“Keduanya adalah pelanggar HAM,” ucap dia saat Law-justice.co menjambanginya di kantornya,  Lokataru, Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat (12/4).

Harris Azhar akan golput. Tapi,  bukan berarti ia tidak bakal hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) nanti. Ia dan kawan-kawannya yang sepaham akan berada di tempat pencoblosan untuk memastikan bahwa kertas suaranya akan dirusaknya dengan tangannya sendiri. “Saya akan memastikan suara saya tidak berpihak pada 01 dan 02.”

Jumlah kaum golput meningkat dari tahun ke tahun pasca-reformasi. Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya,   mendata di awal 2019 bahwa  jumlahnya bakal  mencapai 30%  dari total 185 juta orang yang masuk  daftar pemilih tetap (DPT) Komisi Pemilihan Umum (KPU). Artinya, ada sekitar 61 juta orang yang mangkir Rabu lusa.  Sebagai gambaran, pada pemilu 2014 angka ini sekitar 58 juta. Sedangkan saat pilpres 2009 tercatat 48 juta.

Menolak Golput

Golput sebagai gerakan di negeri kita bermula menjelang pemilu pertama yang dilangsung rezim Orde Baru tahun 1971. Pada 3 Juni 1971, sebulan sebelum pencoblosan, sosiolog-aktifis Arief Budiman (Soe Hok Djin) dan kawan-kawannya mencetuskan ide boykot pemilu. Sebabnya?

Mereka kecewa melihat sepak terjang penguasa yang kelewat bernafsu menjadi pemenang pemilu. Dengan melibatkan sepenuhnya tentara (ABRI/TNI), polisi, dan birokrasi (termasuk korps pegawai negeri—Korpri), kuningisasi (lambang Golongan Garya, partai penguasa) berlangsung di seluruh negeri. Tekanan, intimidasi, dan teror diarahkan siapa pun yang berani menentangnya. Arief dkk. memunculkan tanda gambar yang  putih polos sebagai simbolnya. Sebab itulah kelompoknya dinamai penguasa ‘golongan putih’ (golput).

Sejak pemilu perdana Orde Baru (1971) hingga yang pamungkas (1997) Golkar senantiasa menang telak sehingga menjadi sangat hegemonik. Begitupun, barisan golput yang tak punya ruang untuk membesarkan diri,  tetap saja menjadi pengusik yang bersemangat.

Di musim pemilu 2019 suara perlawanan terhadap golput kembali bergema. Asalnya termasuk dari filsuf Indonesia terkemuka, Romo Franz-Magnis Suseno. Di  kolom opini koran Kompas ia memunculkan tulisan berjudul Golput. Dengan tegas ia menyebut golput adalah phsyco-freak dan benalu. Dalam penutup tulisannya ia bersaran agar  pembaca tetap “memilih yang terbaik dari yang terburuk”.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto, juga ikut nimbrung. Suaranya lebih lantang, malah. Ia menyebut penyeru golput pantas dijerat Undang-Undang Terorisme karena menyebar ketakutan ke tengah masyarakat. Argumen dia tak begitu jelas.

Presiden ke-4 RI, Megawati Soekarno Putri, tak ketinggalan berseru ke publik. Ia menyatakan pegiat golput adalah pengecut. Mereka, menurut dia, tak pantas tinggal di Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi yang memayungi segala yang berkaitan dengan umat Islam di negeri kita, tak tinggal diam. Mereka sampai mengeluarkan fatwa yang mengharamkan golput. Sangat serius, bukan?

“Ini kepanikan mereka. Konfidens banget menganggap bahwa yang golput itu suaranya mereka,” kata Haris Azhar  menanggapi. “Kenapa MUI nggak bilang haram sama pejabat negara yang merampas uang rakyat? Kenapa tidak mengharamkan investor yang masuk ke tanah-tanah adat? MUI harusnya berkaca diri!”

Suara menolak kali ini lebih keras. Sumbernya lebih banyak kubu yang pengusung petahana (Jokowi) dalam pilpres 2019. Pertanda apakah gerangan? Kepanikankah, seperti kata Harris Azhar? Bisa jadi. Mereka tentu menghitung kubu lawan yang berpotensi mendulang banyak suara termasuk dari angkatan muda karena pandai menggunakan isu populis. Isu yang bernuansa primordial seperti agama dan pri-nonpri, termasuk.

(Winna Wijaya\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar