Kasus Audrey Dinilai sebagai Bentuk Hilangnya Rasa Kemanusiaan di Diri Anak
Empat dari 12 siswi SMU yang diduga menjadi pelaku dan saksi dalam kasus penganiayaan siswi SMP berinisial AU (14) berdiskusi di sela jumpa pers yang digelar di Mapolresta Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019). Sebanyak 12 siswi SMU menjalani pemeriksaan kepolisian terkait dugaan penganiayaan yang terjadi di dua tempat berbeda yaitu halaman parkir di Jalan Sulawesi dan Taman Akcaya di Kota Pontianak pada Jumat (29/3/2019). ANTARA FOTO
Batam, law-justice.co - Kasus pengeroyokan terhadap Audrey, siswi SMP oleh sejumlah siswi SMA di Pontianak dinilai sebagai bentuk hilangnya rasa kemanusiaan terhadap anak.
"Miris, anak-anak kita tidak memiliki karakter yang kuat, rasa kemanusiaannya hilang," kata pemerhati pendidikan anak, Hardi Selamat Hood Kota Batam, Kepulauan Riau, Jumat (12/4).
Hadi mengatakan sulit mempercayai anak usia SMA bisa melakukan perundungan yang menciderai orang lain, bahkan sampai harus dirawat di rumah sakit. Perundungan, kata dia, bukan hanya terjadi di saat ini, melainkan sejak dulu. Namun, tidak sampai melukai orang lain.
"`Bully` sering terjadi, cuma dilakukan dalam konteks permainan, candaan. Gurau biasa," kata Hadi.
Menurut dia, perundungan yang berakhir dengan pengeroyokan bisa terjadi karena terinspirasi dari berbagai hal yang dilihatnya, termasuk permainan canggih (game).
"Perkembangan teknologi dahsyat, games yang memberikan inspirasi, itu terjadi," kata dia yang pernah menjabat Ketua Dewan Pendidikan Kota Batam itu.
Untuk mengantisipasi agar kasus itu tidak berulang, maka dibutuhkan ketahanan keluarga. Menurut dia, pertahanan keluarga penting. Karena anak-anak adalah binaan keluarga, yang akan membentuk karakter generasi selanjutnya.
Hadi melihat pertahanan keluarga sudah makin memudar, dengan banyaknya orang tua yang menitip anak ke lembaga lain untuk membesarkan buah hatinya.
"Kami di DPD sudah mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga, yang memaksa orang tua bertanggung jawab pada anak," kata dia.
Komentar