Rapor Merah Jokowi, Dua Tahun Kasus Novel Baswedan

Jum'at, 12/04/2019 09:01 WIB
Presiden Jokowi Berpidato dalam Sebuah Acara di Istana Negara, Jakarta (setkab)

Presiden Jokowi Berpidato dalam Sebuah Acara di Istana Negara, Jakarta (setkab)

Jakarta, law-justice.co - Hari Rabu kemarin tepat dua tahun kasus penganiayaan Novel Baswedan bertahan sebagai misteri yang belum terungkap. Dan kebetulan tepat pula sepekan menjelang Hari-H pemungutan suara Pemilu 2019, hari Rabu depan.

Dibantah atau tidak, itu jelas merupakan rapor merah bagi Presiden Jokowi yang sedikit banyak akan menjadi preferensi pemilih menjelang masuk ke bilik suara.

Apakah Pemerintah Jokowi gagal mengungkap kasus tersebut? Sampai saat ini, harus kita katakan iya.

Ada dua hal yang perlu ditagih ke pemerintah. Pertama, penuntasan kasus itu sendiri. Kedua janji Presiden Jokowi. Presiden pernah menjanjikan akan ada step lain dalam masalah Novel. “Kalau Polri sudah begini (Presiden mengangkat kedua tangannya tanda menyerah) baru kami akan (lakukan) step lain,” katanya.

Pernyataan Presiden tentang “step lain” itu terkait desakan sejumlah kalangan agar pemerintah membentuk tim pencari fakta, karena Polri tak kunjung selesai mengusut kasus ini. Presiden menjanjikan akan terus mengejar Polri. "Saya akan terus kejar Kapolri agar kasus ini menjadi jelas dan tuntas siapapun pelakunya," ucapnya.

Itu diucapkannya di Istana Negara, 20 Februari 2018. Artinya, janji itu sudah berumur setahun lebih.

Soal penuntasan kasus, dua tahun jelas tempo yang terlalu lama untuk menuntaskan kasus seperti ini.

Penyidik senior KPK itu disiram air keras oleh orang tak dikenal pada 11 April tahun lalu, sehingga matanya mengalami cacat seumur hidup. Padahal seperti sering kita ulas, rasa-rasanya kasus seperti ini terlalu kecil bagi kemampuan reserse polisi kita. Sebab, publik amat paham, berbagai kasus kriminal yang jauh lebih rumit atau tergolong kejahatan yang terorganisasi (organized crime), mampu diungkap Polri dengan sangat sempurna. Sebutlah misalnya pengungkapan kasus terorisme atau peredaran gelap narkoba. Semua terbongkar dengan cepat. Atau juga kasus-kasus hoaks terhadap pemerintah. Polisi secepat kilat berhasil meringkus pelakunya.

Tapi, semua keperkasaan Polri itu seperti tak berdaya dalam kasus kriminal biasa ini.

Novel pernah mengungkapkan tentang ada jenderal polisi aktif yang terlibat. Kita tidak tahu apakah itu yang membuat kasus ini bukan lagi kasus kriminal biasa, namun sudah menjadi luar biasa. Luar biasa bukan karena sifat-sifat atau varibel kasusnya yang sama seperti extra-ordinary crime pada umumnya, tapi karena tebalnya tembok yang sampai detik ini tak mampu ditembus polisi.

Sejauh ini, polisi memang masih terus melakukan investigasi kasus ini –sebab belum ada pernyataan menghentikan penyelidikan. Awal tahun lalu Kapolri Tito Karnavian sudah pula menerbitkan surat tugas bernomor Sgas/3/I/HUK.6.6/2019 tertanggal 8 Januari 2019 yang membentuk tim khusus untuk mengusut kasus ini. Tim ini terdiri dari 65 orang dari KPK, Polri dan sejumlah pakar. Namun, kasus tersebut tetap saja gelap hingga sekarang.

Lalu terkait dengan janji Presiden untuk “step lain” tadi. Secara resmi Polri memang belum menyatakan angkat tangan. Tapi, inisiatif step lain itu mestinya datang dari Presiden. Presidenlah yang harus menyatakan, bahwa perlu langkah baru untuk membongkar misteri ini.

Kalau menunggu Polri menyerah, jelas tak akan mungkin. Sebab ini menyangkut reputasi mereka yang selama ini cemerlang dalam mengusut kasus sesulit apa pun. Lagi pula, dalam hukum pidana kita tidak ada pengaturan secara tegas mengenai batas waktu proses penyidikan.

Memang ada juga sejumlah kasus yang menjadi dark number di kepolisian. Tanpa mengurangi simpati dan keprihatinan kita terhadap korban dan keluarganya, kasus Novel ini jelas punya urgensi sangat tinggi. Sebab dia penyidik andalan KPK, musuh utama para koruptor yang sedemikian banyak bergentayangan di negeri ini. Koruptor – yang sudah pasti kaya raya dan berkuasa—berkepentingan melenyapkan Novel, atau setidaknya membuatnya jeri. Melawan teror terhadap Novel dan aparat KPK lain harus dilihat sebagai upaya menyelamatkan pemberantasan korupsi.

Sayangnya, perspektif ini tidak dilihat oleh Presiden. (Sumber: nusantara.news)

(Tim Liputan News\Gisella Putri)

Share:




Berita Terkait

Komentar