Pak SBY, Apakah Ada yang Salah dengan Politik Identitas?

Kamis, 11/04/2019 09:10 WIB
Nama Ketum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Nama Ketum Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Jakarta, law-justice.co - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengirimkan surat pada petinggi-petinggi Partai Demokrat yang terkesan “mengkritik” Kampanye Akbar paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pada intinya, SBY menyayangkan berkembangnya politik identitas (keagamaan) dalam penyelenggaraan kampanye menjelang pemilihan umum tanggal 17 April 2019.

Kegiatan kampanye di Gelora Bung Karno yang dihadiri ratusan ribu orang (ada yang mengkalkulasi hingga sejuta orang lebih) itu diawali dengan shalat tahajud dan shalat subuh berjamaah. Barangkali, karena itulah seolah-olah memberi kesan kampanye tersebut hanya ditujukan kepada suatu kelompok tertentu (eksklusif) dan mengabaikan kelompok lain yang dipersepsi lebih besar/beragam (inklusif). Menurut pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, kondisi tersebut sebenarnya terkait ketidaklaziman dari pembri izin kepada panitia Kampanye Akbar Paslon 02 yang hanya diberikan waktu penggunaan SUGBK dari pukul 06.00-10.00 pagi.

Lazimnya, izin diberikan pukul 08.00 sampai jam 12.00, atau lebih panjang lagi. Sehingga, butuh perencanaan matang dengan alokasi waktu yang singkat itu. Kalau kampanye dimulai pukul 06.00, tentu saja sebagian masyarakat harus berangkat dari rumah antara pukul 02.00 – pukul 04.00. Bahkan yang dari luar kota Jakarta, sudah berangkat sejak Sabtu pagi dan ada yang baru datang Sabtu tengah malam. Di luar itu, pihak BPN pun memastikan bahwa kegiatan kampanye tersebut sudah cukup inklusif karena turut dihadiri oleh berbagai kelompok dan tokoh agama yang berbeda.

Meski beberapa petinggi Demokrat telah mengklarifikasi bahwa surat dari Presiden yang menjabat pada tahun 2004-2014 itu adalah kritik sebelum hari H dan telah dilaksanakan dengan baik oleh Prabowo, namun posisi politik Demokrat dalam koalisi dinilai ambigu dan setengah hati. Terlebih, bukan sekali ini saja Demokrat melakukan manuver yang berseberangan dengan sesama anggota koalisi 02. Tentu saja, surat SBY itu itu pun serupa memberi amunisi kepada kubu lawan untuk menyerang Prabowo.

Kembali soal politik identitas yang disinggung SBY dalam suratnya, benarkah kampanye Capres 02 bernuansa politik identitas? Apakah politik identitas itu bernilai negatif dan mengancam eksistensi kebangsaan Indonesia? Pertanyaan tersebut perlu dibahas dan direspons secara terbuka karena tesis SBY juga sudah terlanjur menyebar. Sebagian besar warga tidak paham dengan makna politik identitas, termasuk pula para elite politik yang sedang mengeksploitasi sentimen politik untuk kepentingan partai dan personalnya masing-masing.

Istilah Politik Identitas (Politics of Identity) pertama kali diperkenalkan oleh L.A. Kauffman di tahun 1990 sebagai respons untuk menjelaskan menguatnya gerakan politik kaum minoritas yang terpinggirkan di Amerika Serikat seperti kulit hitam dan Hispanic (Syafii Maarif: 2009). Secara substantif, politik identitas dikaitkan dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam sebuah bangsa atau negara. Di sinilah ide tentang keadilan untuk semua menjadi sangat relevan.

Politik Identitas, Lumrah di Negara Demokrasi

Politik identitas sebenarnya merupakan gejala klasik yang normal terjadi di berbagai negara. Bahkan, negara demokrasi yang telah berusia cukup tua dan dipandang maju budaya politiknya seperti Amerika Serikat masih menghadapi tantangan identitas nasional (Huntington, 2004). Karena identitas nasional AS dibentuk oleh berbagai kelompok imigran yang saling berinteraksi untuk membangun kesepakatan bersama. Apalagi bangsa Indonesia yang terbentuk melalui interaksi ratusan suku dan ras, serta berbagai agama dan kepercayaan, sesungguhnya sudah jauh lebih lama mengenal politik identitas.

Politik identitas bentuknya macam-macam, bisa politik identitas agama, identitas kesukuan, identitas golongan, identitas ras, identitas gender, bahkan identitas profesi. Secara definitif, politik identitas merupakan simbol sosial berdasarkan kepentingan individual yang memiliki kesamaan secara sosiokultural, sosioekonomi, sosiogeografi dan sosioteologi. Bersatunya kepentingan individual dalam simbol sosial inilah yang akhirnya melahirkan politik identitas.

Alangkah naif pandangan yang mengecilkan atau mengabaikan peran politik identitas dalam pembentukan nasionalisme Indonesia. Bisa dibilang ahistorik, tesis yang ingin menunjukkan nasionalisme Indonesia lahir dari ruang kosong sejarah dan bersifat superior dibanding nilai-nilai primordial lainnya. Faktanya, ketika identitas “Indonesia” masih berupa komunitas yang dikhayalkan (imagined society), maka peran identitas kelompok yang nyata dan dibawa sejak lahir (primordial) sangat penting untuk menjaga eksistensi bersama dan melawan penjajahan asing. Hal itu diabadikan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Adalah pemimpin Sarekat Islam sekaligus pelopor gerakan kebangsaan paling awal yaitu Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, secara terang menggunakan politik identitas yaitu Islam sebagai ideologi pemersatu dalam mengusung gerakan kebangsaannya pada awal abad XX. Hal itu disamping agama Islam sebagai agama mayoritas yang dianut bangsa Indonesia, di sisi yang bersamaan Islam juga menjadi satu identitas pembeda antara bangsa pribumi dengan identitas Barat yang disebut kaum pergerakan kala itu sebagai kafir-penjajah.

Politik identitas juga sudah ada tatkala para Pendiri Bangsa Indonesia memilih jalan demokrasi. Pada pemilu pertama (1955) yang berlangsung pasca kemerdekaan RI, hadir lima aliran/ideologi politik utama dalam konstelasi nasional sebagai manifestasi dari aspirasi masyarakat, yakni: nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam, sosialisme demokratis, dan komunisme (Castle dan Feith, 1960/1988).

Berkembangnya pemikiran/ideologi politik merupakan fenomena niscaya dalam demokrasi. Anehnya, mengapa hanya Islam yang dijadikan sumber menakutkan politik identitas, padahal nasionalisme radikal dan komunisme telah terbukti menjadi ancaman bagi eksistensi Indonesia?

Sebab itu, kekhawatiran SBY soal politik identitas sebenarnya sesuatu yang tidak relevan. Terlebih, sentimen politik berdasarkan identitas atau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Golongan) bukan hal baru di Indonesia, bahkan juga di negara-negara lain. Hal tersebut merupakan gejala alamiah. Sebagai sebuah artikulasi politik, demokrasi memberi ruang terhadap politik Identitas. Sepanjang tidak menggunakan kekerasan, tidak merasa paling benar sendiri, dan mengintimidasi kelompok-kelompok lain yang berbeda, maka politik identitas sah-sah saja dilakukan.

Bukankah para kandidat dalam kontestasi politik kerap melakukan pemetaan basis suara dengan sentimen identitas? Misalnya, Jokowi memilih cawapres Ma’ruf Amin yang notabene Ketua MUI dan Rais Aam PBNU, serta berbagai kunjungan ke pesantren ataupun mengundang ulama ke istana, tak lain untuk memikat suara identitas agama tertentu (Islam).

Begitu pula formasi pasangan kandidat dengan kombinasi Jawa-Luar Jawa, Islam dan Muslim, Pria-Wanita, hingga Ulama-Nasionalis dalam Pilkada ataupun Pilpres, adalah bentuk penggunaan politik identitas. Samal halnya ketika SBY membentuk majelis taklim jelang Pilpres periode keduanya, juga dimaksudkan untuk mengamankan suara dari kelompok Islam.

Bukti lain dominannya sentimen politik identitas tercermin dalam pola pendekatan para kandidat yang hendak berkontestasi di pemilu presiden. Jauh sebelum kampanye dimulai, mereka sudah bolak-balik mendatangi pusat-pusat preferensi pilihan berbasis sentimen primordial itu. Mereka mendatangi tokoh-tokoh agama, para pemuka suku atau etnis maupun orang-orang yang menentukan opini dalam sebuah golongan masyarakat. Coba saja perhatikan, ruang tamu rumah kiai, pastur dan pendeta maupun pedande di Hindu Bali, sejak beberapa bulan terakhir disesaki oleh para pencari keberuntungan politik di Pemilu Presiden ini.

Dalam konteks kontestasi pemilu, isu SARA pasti akan tetap menjadi preferensi utama bagi publik dalam menentukan pilihan. Salahkah kenyataan itu? Sudah pasti tidak. Jika orang menjatuhkan pilihannya berdasarkan suku, agama, ras atau golongan, di mana letak kelirunya? Dalam tingkat peradaban seperti apa pun, sentimen primordialistik tersebut tidak akan mungkin dihilangkan. Di samping pertimbangan lainnya seperti program sang kandidat, sentimen kepartaian, persuasi yang memikat, atau bahkan uang.

Pada titik ini, mengkritisi politik identitas jangan parsial dan memihak. Seolah praktik politik identitas menjadi ancaman demokrasi ketika dilakukan oleh kelompok tertentu. Bahkan didramatisir secara berlebihan seolah menjadi ancaman demokrasi. Padahal, di dunia Barat saja, kecenderungan itu menjadi bagian dari proses politik yang tidak perlu menjadi momok yang menakutkan.

"Politik identitas itu ada di semua negara demokrasi, bukan hanya di Indonesia. Banyak orang salah kaprah, misalnya saat Pilkada Jakarta seakan-akan menyebabkan perpecahan, ada suatu politik identitas yang besar. padahal tidak separah apa yang dikatakan orang," ujar Wapres Jusuk Kalla dalam Diskusi Business Lunch "Waspada Ekonomi Indonesia di Tahun Politik" di Hotel Aryaduta Jakarta, beberapa waktu lalu.

Karena itu, tak perlu mempolitisasi bahwa politik identitas sesuatu yang mendestruksi kedewasaan demokrasi. Jangan hinakan kemampuan rakyat untuk menyaring isu-isu SARA ini dengan cara yang dewasa. Rakyat sudah terlatih menghadapi isu seperti ini karena komoditas politik ini sudah sejak dahulu diperdagangkan di depan mata mereka. Justru elite-lah yang masih kekanak-kanakan menempatkan politik identitas. (Sumber: Nusantara.news)

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar