Sembilan Lembaga Bentuk Komite Keselamatan Jurnalis

Sabtu, 06/04/2019 07:31 WIB
Sembilan lembaga berkolaborasi untuk membentuk sebuah Komite Keselamatan Jurnalis (law-justice.co/ Januardi Husin)

Sembilan lembaga berkolaborasi untuk membentuk sebuah Komite Keselamatan Jurnalis (law-justice.co/ Januardi Husin)

law-justice.co - Sembilan lembaga berkolaborasi untuk membentuk sebuah Komite Keselamatan Jurnalis. Mereka akan fokus pada advokasi kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis saat melakukan kerja jurnalistik.

Kesembilan lembaga itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesti International Indonesia, serta Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

Pembentukan Komite Keselamatan Jurnalis disepakati sebagai hasil dari Focus Group Discussion (FGD) pada Maret lalu. FGD tersebut membahas tentang maraknya kekerasan terhadap jurnalis, baik saat melakukan tugas liputan maupun setelah liputan tersebut diterbitkan.

Data dari Divisi Advokasi AJI Indonesia menunjukkan, sejak tiga tahun terakhir telah terjadi kekerasan fisik dan non fisik terhadap jurnalis di atas 60 kasus pertahun. Tahun 2016 bahkan tercatat sebagai angka tertinggi, yakni mencapai 81 kasus kekerasan.

Fakta itu menunjukkan bahwa keselamatan jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugasnya penuh dengan risiko. Sementara itu, penegakan hukum terhadap pelaku tindak kekerasan selama ini belum maksimal.

Karena itu, kesembilan lembaga tersebut menyepakati untuk membentuk sebuah komite bersama yang nantinya akan membantu menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis baik dari sisi litigasi maupun non litigasi. Komite itu juga akan melakukan kampanye untuk mencegah kekerasan terhadap jurnalis.

“Inisiatif pembentukan komite ini karena kami menyadari kerentanan jurnalis pada tahun politik,” kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan saat membuka launching Komite Keselamatan Jurnalis di gedung Dewan Pers, Jumat (5/4/2019).

Ia mengatakan, dibutuhkan kerja bersama semua lembaga untuk melakukan pendampingan terhadap jurnalis yang mengalami kekerasan. Terutama di daerah-daerah yang tidak mudah diakses oleh salah satu lembaga.

“Dalam kasus non litigasi, yang harus dilakukan pertama kali adalah verifikasi. Tapi tidak mudah melakukan itu jika kasus tersebut terjadi di daerah. Itulah yang ingin diatasi dengan pembentukan komite keselamatan jurnalis,” ujarnya.

Saat terjadi kasus kekerasan jurnalis, Komite itu nantinya akan memastikan kasus tersebut berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik. Setelah itu, komita akan bekerjasama dengan perusahaan media untuk turut mendampingi korban membuat laporan ke polisi. Selain itu, komite juga akan membantu melakukan upaya-upaya evakuasi jika korban terancam keselamatannya.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menjelaskan, belakangan mulai marak bermunculan pola-pola baru kekerasan terhadap jurnalis yang berkaitan dengan karya jurnalistiknya. Dengan teknologi informasi, para pelaku kekerasan dengan gampang mempersekusi jurnalis secara daring.

“Terjadi pelanggaran privasi jurnalis melalui tindakan doxing. Mentracking data pribadi, lalu menyebarkannya sambil mengajak orang untuk melakukan tindak kekerasan. Potensi kekerasannya sangat nyata,” ujar Ade.

Ia berharap, Komite Keselamatan Jurnalis juga sensitif terhadap kasus-kasus kekerasa model baru, selain kekerasa secara fisik. Dengan adanya perkumpulan lembaga, akan lebih mudah mendorong perusahaan media untuk melakukan upaya-upaya perlindungan terhadap jurnalisnya yang mengalami kekerasan.

“Terkait aktor, yang penting adalah perusahaan pers. Tanggung jawab pemberitaann itu bertumpu pada redaksi. Jadi jurnalisnya tidak bertanggung jawab secara penuh. Ketika ada kasus, yang paling menentukan adalah perusahaan pers, apakah akan menindaklanjuti atau tidak,” tutur Ade.

Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menekankan, pentingnya jurnalis untuk lebih meningkatkan profesionalisme dan mematuhi kode etik. Ia mengatakan, banyak kasus-kasus kekerasan terjadi justru karena jurnalisnya yang menyalahgunakan profesi atau tidak menjalankan kerja-kerja jurnalistik dengan baik.

“Penting sekali memastikan, apakah kasus tersebut berkaitan dengan kerja jurnalistik atau tidak. Sekarang banyak bermunculan media dan wartawan baru. Yang jadi soal, bagaimana jika kontrol sosial dilakukan oleh orang yang tidak punya kompetensi,” ucap Stanley.

Ia menegaskan, Dewan Pers akan selalu berupaya mengintervensi kasus hukum yang menjerat jurnalis. Lembaganya telah menekan MoU dengan aparat penegak hukum, agar tidak menjerat jurnalis dengan delik pidana ketika melakukan kerja-kerja jurnalistik.

“Wartawan yg profesional tidak berhak dijerat dgn UU ITE. Kami punya 111 ahli yang akan menilai, apakah kasus tersebut berkaitan dengan kerja jurnalistik atau tidak,” tegas Stanley.

Usai resmi diluncurkan, semua lembaga yang tergabung dalam Komite Keselamatan Jurnalis akan bekerja sama memverifikasi setiap kasus kekerasan jurnalis di seluruh wilayah Indonesia. Jika kekerasan dipastikan berkenaan dengan kerja-kerja jurnalistik, komite akan melakukan semua upaya untuk mendampingi jurnalis baik di ranah litigasi maupun non litigasi.

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar