Perjalanan Bank Syariah Perdana Indonesia (Tulisan-1)

Membebaskan Bank Muamalat dari Kapitalisme Penjerat Ummat

Jum'at, 05/04/2019 18:08 WIB
Bentang Bank Muamalat Indonesia (foto: Muslim Obsession)

Bentang Bank Muamalat Indonesia (foto: Muslim Obsession)

Jakarta, law-justice.co - Ilham Habibie dan Sri Dato Tahir memiliki pertalian khusus yang melampaui dimensi bisnis. Ilham adalah putra Presiden RI ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie. Sedangkan Sri Dato Tahir yang merupakan bos konglomerat Mayapada Group, seperti yang dikatakannya sendiri, selama ini sudah dianggap seperti anak angkat oleh sang teknolog yang ahli pembuatan pesawat terbang.   

Sebagai putra (kandung dan angkat) BJ Habibie-lah mereka kemudian bermuka-muka pada sebuah kesempatan,  untuk membicarakan nasib Bank Muamalat, bank syariah pertama Indonesia yang kelahirannya melibatkan sentuhan sejumlah tokoh termasuk sang mantan Menteri Riset dan Teknologi lulusan Aachen, Jerman.

Sedang menyiapkan konsorsium, putra sulung BJ Habibie kala itu. Tujuannya? Menghimpun dana  untuk menyelamatkan Bank Muamalat yang sedang dibelit krisis permodalan. Arifin Panigoro, Lynx Asia, dan SSG Hong Kong, termasuk yang sudah  dihubunginya. Sri Dato Tahir yang tak lain dari menantu bos Lippo Group, Mochtar Ryadi, juga dikontaknya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah meminta pemilik Bank Mayapada itu membantu Bank Muamalat. Jadi, saat bertemu Ilham Habibie, ia sudah bisa memiliki gambaran tentang masalah yang sesungguhnya. Dalam penilaiannya, sekian lama Bank Muamalat telah menyimpang dari rel yang seharusnya. Alih-alih ummat Islam, terlebih kaum yang tak beruntung secara ekonomi, malah korporasi raksasa, termasuk yang bergerak di lapangan yang eksesif: bisnis tambang batu bara dan kelapa sawit, yang dijadikannya nasabah utama. Sebuah penyimpangan dari cita-cita semula, tentunya. Cilakanya, kredit macet serius kemudian membelitnya.

Dalam persuaaan itu  Sri Dato Tahir menolak untuk bergabung dengan konsorsium. Bukan Ilham yang ia ragukan melainkan orang-orang dalam perikatan pebisnis yang dipimpin putra BJ Habibie-Ainun.  Dalam penilaiannya, mereka itu hanya orang yang mau cari untung belaka dan tidak peduli dengan hakekat perbankan syariah. Dalam pikiran mereka, setelah uang segar disuntikkan, Bank Muamalat akan direstrukturisasi. Nanti kalau sudah sehat, ya tinggal dijual saja.

“Saya bilang sama Pak Ilham, kita deket, saya dianggap kayak anak angkatnya Pak Habibie, ’Gini lho Mas:  bank ini bukan tempat bancakan. Bank is institusi yang sangat-sangat different dari usaha-usaha yang lain. Jadi you punya cara berpikir bukan profit-lost, untung-rugi.’  Nah ini, grup yang di belakang Pak Ilham ini pikirannya masih begitu. Mau  package, lalu mungkin dia mau jual lagi,” ujarnya kepada Law-justice.co.

Sri Dato Tahir menyarankan ke Ilham agar mereka yang masuk nanti menjadi bankir betul di Bank Muamalat. Tugasnya membesarkan, bukan sekadar mampir untuk mendulang untung.   “Kalau untuk transit-transit jangan. Saya nggak ngerti bahasa saya itu bisa di-ngerti  nggak oleh Pak Ilham. Mungkin Pak Ilham ngerti, rombongannya nggak ngerti.”

 

Bos Mayapada Group Sri Dato Tahir (foto: Teguh Vicky Andrew/Law-justice.co)

Ada satu hal lagi yang membuat orang terkaya ke-4 Indonesia di tahun 2018 (total hartanya sekitar US$3,5 miliar) enggan bergabung: manajemen Bank Muamalat yang dalam penglihatannya sebagian bukan sosok yang tulus melainkan pemain.

“Kalau butuh dana fresh kita akan  kasih, perlu money market kita kasih. Cuma ini ya, kalau dugaan saya lho, manajemennya (Bank Muamalat) ini setengah modelnya mafia. Jadi ada resistensinya. Mereka mungkin mau cari investor yang kira-kira  sejalan dengan cara  berpikir mereka. Nah, ini repot..” lanjutnya.

Dana segar

Menjelang usianya ke-27, PT Bank Muamalat Indonesia, justru terbelit masalah pelik. Modal cekak, itu hambatan utama yang membuat dirinya tak leluasa bergerak. Masalah ini muncul sejak 2015 dan berpuncak pada 2017. Kala itu rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) bank yang kelahirannya dibidani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin BJ Habibie, turun menjadi 11,58%. Pada sisi lain, pemegang saham lama enggan menyuntikkan dana segar.

Pembiayaan bermasalah (non-performing finance/NPF) sempat berada di atas 5% atau lebih tinggi dari batas maksimal ketentuan regulator. Untunglah pada kuartal I tahun 2018 NPF ini membaik, yakni di level 4,76%.  Manajemen sekarang, yang dipimpin Direktur Utama Bank Muamalat Achmad Kusna Permana, memang telah bekerja keras memperbaiki keadaan. Hasilnya pun nyata.

Dalam keterangan tertulisnya kepada Law-Justice.co, Achmad Kusna Permana mengatakan,  sejak semester kedua 2018 hingga kini proses penambahan modal terus berjalan

“Sampai saat ini banyak sekali investor yang tertarik untuk masuk ke Bank Muamalat. Kini, proses penambahan modal Bank Muamalat berada dalam tahap akhir, dan diharapkan dalam waktu dekat dapat selesai,” kata mantan Direktur Syariah Permata Bank.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan, setidaknya diperlukan dana segar kisaran Rp 4 triliun – Rp 8 trilliun untuk menyelamatkan bank yang akan merayakan milad-nya  ke-27 pada 1 Mei mendatang. Seorang sumber mengatakan, kebutuhan dana segar itu setidaknya  Rp 8 triliun.

Sejumlah nama sempat diisukan bakal menggelontorkan dana segar untuk menyelamatkan  bank yang saham mayoritasnya dikuasai asing yakni Islamic Development Bank (32,74%), Bank Boubyan, Kuwait (22%), Atwil Holdings Limited (17,81%), National Bank of Kuwait (8,45%), IDF Investment Foundation (3,48%), dan BMF Holding Limited (2,84%).   Sebut saja PT Minna Padi Investama Sekuritas dan PT Bank Rakyat Indonesia. Namun, keduanya urung.   

Semula Minna Padi berencana masuk ke dalam Bank Muamalat sebagai pembeli siaga atau standby buyer saat  right issue bank syariah perdana di negeri kita itu. Dengan dana sekitar Rp 4,5 triliun, mereka bakal menguasai sekitar 51% saham.

“Kebutuhan penambahan modal Bank Muamalat memang cukup besar. Kemungkinan besar Mina Padi tidak cukup kuat pendanaannya,” kata Yusuf Wibisono, pengamat ekonomi syariah, Universitas Indonesia.

Belakangan muncul konsorsium yang dibentuk Komisaris Utama Bank Muamalat Ilham Habibie. Dia menyatakan, bersama Arifin Panigoro, Lynx Asia, dan SSG Hong Kong telah membentuk konsorsium untuk menyuntikan dana kepada Muamalat. Bertempat di kantor OJK di kawasan Bank Indonesia (BI), Jumat (28/9/2018), Ilham yang mewakili konsorsium calon investor baru menemui OJK.

Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, OJK menginginkan investor yang berminat harus bisa membuat Bank Muamalat memiliki permodalan kuat dan kredibel. Sehingga nantinya, setiap keputusan yang diambil bisa dipertanggung jawabkan.

"Muamalat itu kita perlu lebih hati-hati... Yang ingin masuk banyak. Tapi OJK perlu pilih," ujar Heru ketika memberikan kepada awak media di kawasan gedung Bank Indonesia (BI), Rabu (19/12/2018).

“Pada dasarnya Bank Muamalat terbuka pada calon investor manapun, baik lokal ataupun asing. Pada saatnya nanti kami akan umumkan nama investor serta anggota konsorsium Bank Muamalat,” kata Permana.

Bank Muamalat sedang membutuhkan dana segara dalam jumlah banyak. Masalah mereka tentu saja bukan Cuma itu, melainkan banyak. Ketaatannya pada garis syariah murni, seperti kata seorang yang turut membidaninya dan sempat mendirekturinya, menjadi urusan penting yang harus lekas dibereskannya. (Bersambung)

Laporan: Teguh Vicky Andrew, Winna Wijaya

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar