Geliat Kopi Nusantara

Kedai Kopi Asiang, Ikon Pontianak yang Tiada Duanya

Rabu, 03/04/2019 19:22 WIB
Kopi Asiang, ikon Pontianak

Kopi Asiang, ikon Pontianak

Pontianak, law-justice.co - aksana pendekar Shaolin (kungfu Tiongkok) saja gayanya saat bekerja. Berkepala plontos, ia senantiasa bertelanjang dada di hadapan tetamunya. Tato yang menghiasi dada dan lengan, masing-masing di bagian kanan, semakin mengunikkan penampilannya.

Butir-butir keringat menempel di tubuhnya yang tegap-tinggi. Tangan kanan dan kirinya sama sigapnya. Saat yang satu mencengkeram tangkai panjang teko kaleng berisi air jerangan, yang satu lagi memegang kuping wadah serupa di ketinggian sejajar bahunya. Matanya mengawasi cairan kopi coklat kehitaman  yang terjun memenuhi sebuah gelas kertas di atas meja beretalase. Bibirnya lebih sering terkatup; pertanda konsentrasi tinggi.

Menjadi ikon Pontianak. (Foto: P.Hasudungan Sirait/law-justice.co)

Begitu gelas kertas itu penuh dan dibawa pergi oleh pelayan, ia berpaling ke gelas-gelas keramik Tiongkok bermodel lama. Tersusun di kanan, satu persatu cangkir putih-tebal yang sisinya serta tatakannya bermotif kembang hijau kehitaman diraih dan diletakkannya di hadapannya dalam posisi siap dipenuhi.

Ia menyambar salah satu ceret kaleng yang berjejer di atas tutup penjerangan air. Dari sebuah dandang kaleng,  bersendok-sendok kopi diambil dan dimasukkannya ke sana. Air yang senantiasa berasap diciduknya untuk dicampurkan dengan bubuk kopi.

Ceret yang sudah sarat diangkatnya tinggi-tinggi setelah isinya dikocoknya 4-5 kali.  Cairan itu dialirkannya  ke ceret  bersaringan kain yang di letakkannya di bawah, tepat di hadapannya. Masih dari ketinggian, isinya ia tuangkan ke dalam gelas-gelas yang sebelumnya sudah dimasukkannya gula atau creamer yang oleh masyarakat kita disebut secara salah kaprah sebagai ‘susu kental manis’.

 

Pengujung termasuk dari luar kota. (Foto: P.Hasudungan Sirait/law-justice.co)

Gerakannya yang seakan tiada henti,  begitu cepat sehingga terkesan mekanistis. Termasuk saat mengisi kembali wadah penjerangan saban usai menciduknya.

Menyaksikan dia bekerja serasa menikmati sebuah pertunjukan yang memikat. Kita seperti sedang menonton pesulap yang sedang memperagakan trik-triknya dengan mengandalkan kecepatan tangan,  selain konsentrasi penuh. Takjub, para pengunjung pun ada saja yang mengajaknya bercakap singkat selain memvideokan adegan-adegan kebaristaannya,  tanpa melupakan untuk selfie dengannya.

Ikonik

Asiang, begitu nama panggilan  barista yang selalu bertelanjang dada saat melayani tetamunya. Yohanes Fendi nama lainnya. Usianya sekarang sudah jalan 65 tahun; begitupun kelincahannya masih prima. Kedai kopi yang dirintis ayahnya tahun 1958 dijalankannya dengan pendekatan yang tak biasa. Di tangannyalah warung bermodel ruko yang berlokasi di Jl. Merapi, Benua Melayu Barat, termashyur dan menjadi ikon kota Pontianak. Perlu kita ingat bahwa jauh sebelum ngopi menjadi gaya hidup kaum muda di negeri kita warkop ini telah menjadi landmark kota khatulistiwa.

Rasa dan aroma kopinya merupakan salah satu keistimewaan warung Asiang. Sejak dulu sampai sekarang, menurut Pak Asiang, mereka menggunakan kopi hasil bumi Kalimantan Barat saja. Robusta, asalnya dari Kubu Raya, Panggur, dan Padang Tikar. Racikan gaya negeri leluhurnya: Hainan—dikucurkan dari ketinggian menggunakan teko bersaringan kain agar nimat dan araromanya optima —yang digunakan sedari dulu.   

 

Sesak di dalam, di luar pun jadi. (Foto: P.Hasudungan Sirait/law-justice.co)

Harga yang murah-meriah juga merupakan kelebihan lain dari kedai ini. Secangkir kopi hitam di sini cuma Rp 5.000; sedang kopi susu Rp 7.000. Seperti halnya di kedai-kedai kopi tradisional yang bertebar sejak lama di Nusantara, selain teh manis dan telor setengah matang, tersedia juga aneka kudapan di sni. Roti berselai, apem, dan serabi, termasuk. Juga sate,  yang bisa dipesan di sebelah, di kanan depan. Harga aneka penganan ini juga serba bersahabat.  

Keistimewaan utama warkop ini tentu saja kebertelanjangan dada Pak Asiang saat memuaskan pengunjung. Kedai ini buka saban hari mulai pk. 03.00 dan tutup sekitar pk. 18.00. Subuh pun Pak Asiang  sudah tak berbaju.

“Ajaib juga Pak Asiang ini. Rasanya ia nggak pernah masuk angin meski nggak berbaju sejak subuh. Sejak dulu  ia begitu. Sementara kita, kena angin sedikit aja sudah pengen kerokan,” ucap seorang wartawan Pontianak yang merupakan pengunjung tetap di sini.

Bertelanjang dada saat meladeni tetamu mana pun, termasuk para pejabat, pengusaha, karyawan, mahasiswa, penganggur, maupun pelancong. Sejak lama Pak Asiang sudah demikian.  Apa sesungguhnya sebabnya sehingga ia begitu? Karena berkeringat terus. Soalnya harus selalu bergerak di dekat kompor yang terus menyala, untuk menyiapkan ini-itu.  Berganti dan berganti baju dianggapnya merepotkan; ya, sekalian saja telanjang dada. Lama-lama ia terbiasa demikian. Itu sebab yang pertama.

 

Usia tak menghambat geraknya. (Foto: P.Hasudungan Sirait/law-justice.co)

Ternyata kebiasaan itu,  tanpa diniatkannya, telah menjadi pembeda dirinya dari para pemilik kedai kopi lain di Pontianak. “Ada puluhan warung kopi di Pontianak. Sekarang mungkin sudah ratusan. Pemilik yang nggak pake baju, saya aja.  Karena beda sendiri, saya menjadi yang paling dikenal. Warung kopi ini menjadi terkenal. Orang Jakarta pun banyak yang ke sini,” ucap dia sambil tersenyum.

Kebedaan yang sebenarnya tak disengaja telah melambungkan nama Pak Asiang dan warung kopinya. Sampai sekarang pun orang terus datang ke tempat ini, termasuk pelancong dari mancanegara. Tujuannya? Selain untuk mencecap nikmat kopi dan aneka  kudapan, juga untuk menyaksikan aksi sang pemilik yang gayanya laksana pendekar Shaolin. Ya, beruntunglah Pontianak memiliki ikon berupa Pak Asiang yang identik dengan kedai kopi unik. Dia memang tiada duanya!

(P. Hasudungan Sirait\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar