Greg R. Daeng, Aktivis HAM

Menggagas Keadilan Ruang dari Desa

Senin, 01/04/2019 19:27 WIB
Aktivis HAM, Greg R. Daeng menyosialisasikan hukum ke masyarakat desa (Foto: Law-justice.co)

Aktivis HAM, Greg R. Daeng menyosialisasikan hukum ke masyarakat desa (Foto: Law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Setiap pembangunan yang memanfaatkan ruang mutlak membutuhkan satu sistem penataan ruang yang menyeluruh, selaras, berkeadilan dan berkelanjutan. Acuan prinsip-prinsip tersebut menjadi penting bagi pemerintah dalam hal ini untuk menetapkan pola dan struktur pemanfaatan ruang agar sesuai dengan lingkup peruntukannya.

Sebagai negara berkembang, Indonesia secara bertahap telah mulai menyusun krangka kebijakan baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang sehubungan dengan manajemen/tata kelola pemanfaatan ruang yang  tepat sasaran.

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (“UU 26/2007”), secara tegas menyebutkan tentang unsur-unsur penting apa saja yang ada dalam setiap penataan ruang, seperti perencanaan penataan ruang, pemanfatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ketiga aspek ini menjadi syarat utama dari setiap penyelenggaraan penataan ruang yang disusun baik mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota hingga ke level kawasan perdesaan.

Mengapa kawasan perdesaan dan bukan desa yang disebutkan?. Pertanyaan ini setidaknya akan terbesit dalam benak kita jika membaca pada bagian akhir dari paragraf  kedua di atas.  Secara literasi, dalam UU 26/2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (“PP 15/2010”) memang menyebutkan bahwa kawasan perdesaan merupakan gabungan dari beberapa desa yang ada dalam satu atau lebih wilayah kabupaten. Konteks kawasan perdesaan disini lebih diarahkan sebagai bagian dari kawasan strategis nasional, kawasan strategis provinsi, dan/atau kawasan strategis kabupaten.

Namun demikian, secara administrasi kawasan perdesaan berada di bawah kendali koordinasi pemerintah kabupaten. Hal ini pun berimplikasi pada model pengaturannya secara teknis hukum, yakni Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan (RTRWKP) yang mana dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten, dan bukan Peraturan Desa (PERDES).

 

Otonomi Desa Atas Ruang

 Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (“UU 6/2014”), dijabarkan setidaknya 4 (empat) komponen utama kewenangan desa, yakni  kewenangan berdasarkan hak asal usul, kewenangan lokal berskala Desa, kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan uraian di atas, praksis desa diberi ruang untuk secara otonom menjalankan agenda pembangun desa setidaknya dalam 2 hal, yakni berkenaan dengan lingkup kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenagan lokal berskala desa. Lingkup ini pun mengisyaratkan pada prinsip rekognisi, artinya siapapun dalam NKRI ini, termasuk pemerintah pusat wajib memberikan pengakuan terhadap seluruh kewenangan yang dimiliki desa.

Lalu, bagaimana dengan urusan penataan ruang oleh desa ?. kewenangan ini sebetulnya termaktub dalam aturan turunan dari UU 6/2014, yakni Peraturan Menteri Desa Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul  dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (“Permendes 1/2015”). Dalam Pasal 8 huruf (e) menyebutkan bahwa dalam urusannya dengan kewenangan lokal berskala desa di bidang pemerintahan desa,  desa memiliki kewenangan untuk melakukan pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa.  

Legitimasi hukum ini pun membawak konsekuensi bagi desa untuk bisa menyusun dan menyelenggarakan penataan ruang secara mandiri berbasis desa. Namun, domain tersebut haruslah tetap berpatokan pada 2 (dua) hal. Pertama, penataan ruang yang diusulakan tersebut hanya terbatas pada lingkup kewenangan desa di bidang hak asal usul dan kewenangan lokal skala desa. Kedua, penataan ruang yang diusulkan oleh desa harus diselaraskan dengan rencana penataan ruang yang ada di tingkat kabupaten.

 

Partisipasi Dari Bawah

 Salah satu proses penting dalam penyelenggaraan penataan ruang di desa adalah partisipasi aktif dari warga desa dalam melakukan pemetaan ruang wilayah yang peruntukannya sesuai dengan lokalitas yang ada. Meskipun dilakukan secara swadaya, namun proses pendekatan yang berbasis hak tersebut setidaknya dapat memberikan gambaran kepada mereka sendiri tentang apa saja agenda pemanfaatan ruang di tingkat desa yang dapat dilakukan hari ini dan juga bermanfaat untuk masa yang akan datang.

Desa Tanjung Rangas merupakan contoh desa yang sudah dan sedang melakukan rencana penataan ruang dengan berbasiskan pada model pemetaan partisipatif. Secara administrasi, desa ini masuk dalam wilayah Kabupaten Seruyan, Povinsi Kalimantan Tengah. Karakteristik wilayahnya terletak di bantaran sungai dan memiliki potensi pengembangan ekonomi di bidang perikanan dan peternakan.

Terhitung sejak bulan September 2018, proses pemetaan partisipatif mulai dilakukan di desa Tanjung Rangas. Kini tahapannya  sudah masuk ke tingkatan konsultasi publik. Proses ini sendiri bertujuan untuk memastikan secara jelas tentang pembagian pemanfaatan ruang wilayah desa dengan berdasarkan pada fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan budidaya.

Dalam kesempatan memfasilitasi proses konsultasi publik tersebut, penulis mencatat beberapa hal penting yang menjadi poin kesepakatan yang muncul dari hasil silang pendapat dalam forum yang jumlah kehadirannya cukup berimbang antar laki-laki dan perempuan. Kesepakatan yang dihasilkan antara lain : pemanfaatan wilayah untuk pengembangan pemukiman, wilayah peternakan, wilayah penangkapan dan budidaya ikan, wilayah berburu, wilayah perkebunan, dan wilayah pemanfaatan sumber daya hutan.

Selain itu, dari warga desa yang ada juga disepakati tentang bentuk pemanfatan lahan yang sesuai yang tidak menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang meluas serta model pengaturan tentang kompensasinya.

Hal tersebut tampak dalam kesepakatan warga desa tentang system pembukaan lahan dengan metode bakar yang mana wajib didahului dengan pembuatan kanal parit pembatas, mencanangkan pengembangan pemukiman dan perumahan ternak dengan jarak di atas dari 100 meter sempadan sungai, menjadikan wilayah desa yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) sebagai kawasan lindung, melakukan kompensasi penanaman 5 pohon sejenis pada setiap penebangan 1 pohon yang ada dan mendorong pengembangan 3 sektor ekowisata utama yakni : wisata penggembalaan ternak, wisata berburu dan wisata pemancingan yang lokasinya ditentukan masing-masing oleh warga desa sendiri.

      Dari segenap kesepakatan tersebut nantinya akan akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Desa (RTRWDes) dan dijadikan pedomaan bagi penyelenggaran penataan ruang tingkat desa dalam kurun waktu 20 tahun kedepannya. Meskipun masih harus dikonsultasikan ke tingkat kabupaten, tapi usulan pemanfaatan ruang yang ada sudah menggambarkan bahwa dalam urusan penataan ruang, desa sudah menjadi subjek dan bukan lagi  sebagai objek.

       Menyaksikan dari dekat potret dinamika urun rembuk terkait penataan ruang yang dilakukan oleh warga Desa Tanjung Rangas, membuktikan bahwa pembicaraan tentang penataan ruang yang berbasiskan ekologis dan keberlanjutan sesungguhnya bisa dilakukan dari level bawah (baca : desa). Meskipun dibahas dalam kualitas bahasa yang tergolong sederhana, tetapi hal tersebut tidaklah menghilangkan ensensi bahwa apa yang mereka usulkan dan canangkan tersebut merupakan sesuatu yang sama dan selaras juga dengan sistem penataan ruang yang ada di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota.

 

Dari desa, oleh desa dan untuk desa …

 

*Tulisan ini sebagai catatan refleksi penulis ketika mendampingi warga Desa Tanjung Rangas, Kalimantan Tengah yang sedang melakukan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Desa (RTRWDes).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar