Ariani Soekanwo

Kesetaraan Hak Disabilitas dan Paradigma Kolot Kementerian Sosial

Senin, 01/04/2019 09:32 WIB
Ariani Soekanwo, Ketua Umum PPUA-Penca (Winna Wijaya/ law-justice.co)

Ariani Soekanwo, Ketua Umum PPUA-Penca (Winna Wijaya/ law-justice.co)

law-justice.co - Ariani Soekanwo kehilangan penglihatannya saat berusia enam tahun. Dokter mendiagnosanya mengidap low vision yaitu menurunnya fungsi penglihatan seseorang, yang berujung dengan kebutaan.

Namun, vonis itu tidak bisa menghalangi langkah Ariani untuk meraih segala keinginannya. Disabilitas tidak membuat perempuan kelahiran Batu, 30 Desember 1945 ini, hanya duduk manis dan menunggu pertolongan orang lain.

Lulus sekolah menengah atas, ia melanjutkan belajar ilmu antropologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1962. Di sinilah rekam jejak Ariani membuka akses pintu hak kaum disabilitas dimulai. Duduk di semester empat, bersama dosennya, ia mendirikan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) pada 1966. Kini organisasi itu telah tersebar di seluruh provinsi Indonesia.

Kemudian pada 1997 mendirikan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) mewadahi lintas penyandang; tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunagrahita, dan lain-lain. Tahun 2000, ia juga mendirikan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN), serta mulai menghimpun seluruh organisasi disabilitas terkait hak pemilu melalui PPUA-Penca pada 2002.

Meskipun begitu, perjalanan hidupnya sebagai seorang penyandang disabilitas bukan berarti mulus-mulus saja. Hal itu mulai dirasakannya saat ia ditolak mendaftar sebagai dosen di jurusannya.

“Orang mengakui saya termasuk yang maju [secara kualitas], tapi belum berani mengangkat sebagai dosen. Secara kapasitas diakui, tapi secara frontal tidak,” kenang Ariani.

Ia menduga, mayoritas pola pikir masa lalu masih menganggap disabilitas hadir sebagai beban sehingga dikenal merepotkan. Padahal menurutnya, “Sikap kan harus solusi ya, bukan menelantarkan.”

Pengalaman itu tidak membuatnya patah semangat. Hingga kini, Ariani masih terus berjuang di jalan yang dipilihnya. Gagal jadi dosen, ia maju terus memperjuangkan kaum disabilitas untuk mendapatkan hak yang sama dengan yang lain, melalui  lembaga Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA-Penca) yang didirikannya, dimana ia duduk sebagai ketua umum.

Kegigihannya tidak sia-sia. Salah satu prestasi terbesarnya adalah berhasil menggolkan kaum disabilitas mendapatkan haknya untuk dipilih. Saat ini,  setidaknya terdapat setidaknya 41 calon legislatif (caleg) berasal dari kaum disabilitas di seluruh Indonesia. Padahal sebelumnya, untuk menjadi anggota legislatif, syarat utamanya adalah haru sehat jasmani dan rohani.

Ariani memang tidak lagi muda, namun semangatnya masih menggebu-gebu.  Selama pertemuan dengan law-justice.co, ia kerap melontarkan celetukan segar dengan gaya humornya. Diantaranya,  “jangan di-gebyah uyah” alias “jangan mengeneralisir”.

Ungkapan itu selalu ia tekankan selama memerjuangkan hak kaum disabilitas untuk  mendapatkan akses politik, pendidikan, kesehatan, hingga akses menikmati infrastrutur.

“Untuk lima tahun ke depan, siapa tahu makin banyak yang berminat jadi caleg. Karena ini sudah terbuka eranya, itu nanti bisa kita menuntut kuota,” tutur Ariani.

Sebab angka itu menurutnya terbilang kecil, mengingat KPU mendata jumlah caleg keseluruhan sebanyak 7.968 orang dari 20 partai. Lagi pula, sejauh ini belum ada standar jumlah kuota yang ditetapkan dalam peraturan disabilitas. “Tapi itu sudah luar biasa,” ucapnya sambil tertawa.

Bahkan ia pun pernah maju sebagai caleg DPR RI melalui Partai Golkar pada tahun 2004. Ia ditunjuk lantaran kerap mengadvokasi hak disabilitas agar mendapat hak memilih dalam pemilu.

Melalui berbagai organisasi yang ia dirikan, Ariani menggembleng pemahaman anggotanya mengenai semua peraturan yang telah mewadahi hak disabilitas. Karena menurutnya, ketidaktahuan itu menjadi hambatan membuka akses mereka. Sementara di sisi lain, pemerintah perlu didorong untuk mewadahi melalui kebijakan yang mereka telurkan.

Potensi kaum disabilitas di berbagai bidang makin hari memang makin menunjukkan kualitasnya. Sebut saja ajang olahraga terbesar, Asian Para Games, yang pada 2018 lalu berlangsung di Indonesia. Gelaran itu dikenal sebagai pesta olahraga difabel yang diikuti 43 negara dari seluruh Asia, terdiri dari sejumlah 2.762 atlet difabel.

“Semua kantor yang maju, karena advokasi disabilitas,” tutur ibu yang juga hobi main piano itu.

Organisasi seperti National Paralympic Committee (NPC) menurut Ariani menjadi wadah keberhasilan pesta olahraga. Begitu pula pemilu, melalui PPUA-Penca yang aktif mengadvokasi hak pilih disabilitas juga menjadi salah satu faktor yang dapat memajukan pesta demokrasi.

“Semua sekarang, MRT [Mass Rapid Transit], LRT [Land Rapid Transit], Transjakarta, penggunaan railing [pegangan pengaman], serta [penyertaan pegawai] Kementerian Perhubungan [Kemenhub] inklusif disabilitas dalam pelaksanaannya,” ujarnya.

Yang justru menjadi persoalan adalah Kementerian Sosial [Kemensos] dalam menangani kaum disabilitas. Ia menilai lembaga itu hanya bergerak menggunakan paradigm charity alias “terus-terusan menggelontorkan bantuan” kepada penyandang disabilitas, tanpa melihat persoalan hak dasar.

“Kemensos menganggap semua disabilitas itu sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. Loh, mosok aku PMKS [Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial]?” ungkapnya geram.

PMKS merupakan program Dinas Sosial yang diberikan kepada seseorang atau keluarga yang terhambat melaksanakan fungsi sosial. Seperti kemiskinan, terlantar, cacat, maupun akibat perubahan lingkungan secara mendadak.

“Mereka sudah punya duit, hanya butuh identitas sebagai disabilitas. Karena kita kan kalau naik kereta api ada tempat duduk prioritas, ada pendampingan, bukannya malah mau cari bantuan sosial,” ucapnya kesal.

“Kemsos ya ganti saja kementerian amal. Tapi kita kan nggak butuh [amal]. BPJS aja bayar sendiri,” imbuhnya lagi.

Ariani mengakui bahwa Kemensos telah banyak berjasa. Namun bukan berarti secara terus-menerus menganggap kaum disabilitas sebagai kaum yang patut dikasihani, sehingga tidak layak dilepas jalan sendiri. Meski begitu, penyelesaian ini patut menyertakan lintas lembaga. Mulai Kemenkes, Kemenhub, KemenPUPR, Kemenpar, hingga Kemendikbud yang juga harus ikut serta membuka akses dan pendampingan seluasnya.

Itu semua menjadi landasan Ariani melakukan perjuangan kesetaraan hak disabilitas. Bermodal legalitas peraturan yang menjadi payung hukum seluruh sektor –yang antara lain Undang-Undang Dasar 1945 serta Convention on the Rights of Person with Disabilities Nomor 19 Tahun 2011– menegaskan bahwa penolakan terhadap kaum disabilitas untuk mengenyam kesempatan dalam segala bidang adalah tindakan melanggar hukum.

“Kalau ditolak itu jangan nangis, tapi tunjukkan undang-undang. Jangan mau ditolak, ngamuklah. Undang-undang yang buat kan negara, harus dituruti," tutup Ariani. 

 

(Winna Wijaya\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar