Muncul Petisi Tolak Asing Kuasai Pelabuhan JICT

Minggu, 31/03/2019 18:57 WIB
Demo karyawan pelabuhan JICT di Jakarta (Foto: Liputan6)

Demo karyawan pelabuhan JICT di Jakarta (Foto: Liputan6)

Jakarta, law-justice.co - Kasus perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) kepada Hutchison Ports terus mendapatkan desakan terkait penyelesaian dan sudah masuk radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pekan ini, muncul petisi yang menunggu dukungan publik melalui situs petisi di Indonesia, Change.org. Petisi itu berjudul "SAATNYA PELABUHAN NASIONAL DIKELOLA BANGSA SENDIRI..!!! STOP PERPANJANGAN KONTRAK JICT-HPH yang dipublikasikan akun Fauzan Ozan, salah satu anggota Serikat Pekerja JICT.

Petisi ini sudah ditandatangani oleh sekitar 823 per 9 Maret lalu, atau hari 18 hari jelang kontrak Hutchison berakhir pada 27 Maret 2019.

JICT adalah pelabuhan kontainer atau peti kemas di Tanjung Priok, Jakarta Utara, hasil kerja sama antara PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II dengan Hutchison Ports (anak usaha CK Hutschison), perusahaan milik taipan Hong Kong Li Ka Shing, salah satu orang terkaya di dunia versi Forbes.


Kontrak Hutchison di JICT diawali privatisasi jilid I pada 27 Maret 1999 dan akan berakhir 27 Maret 2019. Kasus ini telah bergulir sejak 2015, di mana kontraknya diperpanjang lagi selama 20 tahun (2019-2039), berlaku sejak 2015 kepada Hutchison.

Dalam perkara kontrak JICT kepada Hutchison, KPK mengusut kasus ini sejak Juni 2017. Menurut laporan audit investigatif Badan pemeriksa Keuangan (BPK), mantan Direktur Utama Pelindo II RJ Lino bersama beberapa oknum Hutchison Ports, diduga melakukan perpanjangan JICT pada 2014 tanpa izin pemerintah, tanpa tender dan melanggar berbagai aturan.

Mokhamad Firmansyah, Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT, menegaskan ada indikasi terjadi kejahatan korupsi lintas negara di gerbang ekonomi nasional ini. Selain itu, turut melibatkan berbagai konsultan internasional seperti Deutsche Bank AG Hong Kong, Rotschild, Norton Rose dan beberapa pengusaha nasional.


"Penting bagi KPK untuk mengungkap dugaan kasus mega korupsi pelabuhan peti kemas terbesar se-Indonesia tersebut," kata Firmansyah dalam saran pers yang dikutip CNBC Indonesia.

Dari bukti-bukti yang disampaikan BPK dan KPK juga sedang mengusut kasus tersebut, Pelindo II dinilai tidak bisa kompromi terhadap praktik-praktik korupsi yang ada di pelabuhan.

Selain itu, kata Firmansyah, dampak lain dari kasus kontrak JICT, 400 pekerja outsourcing JICT turut di-PHK dan belum kembali bekerja sejak 1 Januari 2018. "Mereka berserikat dan ikut melawan privatisasi JICT jilid II. Namun malah diberangus dengan alasan peralihan vendor yang terkesan dipaksakan.

"Nota khusus dari Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta Utara untuk mempekerjakan kembali buruh yang di-PHK pun tidak diindahkan oleh manajemen JICT," katanya.

Bukan hanya 400 pekerja outsourcing JICT, 42 pelaut di anak usaha Pelindo II PT Jasa armada Indonesia (JAI), turut dipecat dengan modus yang sama yakni peralihan vendor. Mereka di-PHK karena diduga berserikat dan ikut melawan korupsi pelabuhan.

President Direktur Gunta Prabawa hingga saat ini belum merespons seperti yang dilansir dari CNBC Indonesia menanggapi soal petisi publik ini.

Dalam petisi itu, juga disebutkan bahwa JICT merupakan aset bangsa yang sangat strategis. Pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia itu merupakan pintu keluar masuk ekspor impor dan gerbang ekonomi nasional. Oleh karena itu, sudah semestinya pelabuhan tersebut dikelola oleh Indonesia. Bukan oleh asing.

"Kami menyesalkan ternyata kontrak tersebut diperpanjang hingga tahun 2039. Hanya berbekal izin prinsip Menteri BUMN yang notabene belum dipenuhi Pelindo II, tanpa izin konsesi otoritas pelabuhan dan Menteri Perhubungan. Saat itu RJ Lino [Dirut Pelindo ketika itu] membuat perpanjangan kontrak JICT secara sepihak hanya dengan modal dukungan dari Menteri BUMN Rini Soemarno. Untuk itu, perpanjangan kontrak tersebut menabrak peraturan perundangan-undangan."

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar