Gangguan Jiwa dalam Lintasan Sejarah Nusantara (Tulisan-1)

Penyebab Kegilaan: Mulai dari Gangguan Roh Halus hingga Guna-guna

Minggu, 31/03/2019 18:23 WIB
Suasana tenang di bangsal Pribumi, Rumah Sakit Jiwa Bogor sekitar 1885 ( foto : KITLV)

Suasana tenang di bangsal Pribumi, Rumah Sakit Jiwa Bogor sekitar 1885 ( foto : KITLV)

Jakarta, law-justice.co - Suatu ketika Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur)  berujar kepada  pimpinan tertinggi Kuba, Fidel Castro, bahwa seluruh presiden Indonesia sejatinya adalah orang gila. Bila Soekarno adalah seorang yang gila wanita, maka Soeharto merupakan sosok yang gila harta. BJ  Habibie adalah figur benar-benar gila. Sementara dirinya sendiri (Gus Dur) sering membuat orang menjadi gila; tentu saja yang memilihnya sebagi presiden juga tergolong orang-orang gila.

Obrolan santai di Hotel Melia, Havana, Kuba yang berlangsung di tahun 2000  lelucon antar dua kepala negara belaka. Sejatinya, hampir sepanjang sejarah Indonesia, orang-orang mengalami gangguan jiwa—yang  menurut filsuf  Michel Foucault merupakan  orang-orang yang dapat mencapai kebenaran melebihi rasio—di negeri kita bernasib malang saja dan tidak pernah semujur rekan-rekan mereka di Eropa.

Alih-alih menjadi aktor penting dalam peradaban, apalagi menjadi presiden seperti yang dileluconkan Gus Dur, orang-orang yang mengalami gangguan mental tak pernah menjadi sosok sentral dalam sejarah Indonesia. Sebaliknya, mereka dianggap sakit dan tidak dapat disembuhkan sehingga dibelenggu—dipasung, dan disingkirkan. Bukan cuma itu, eksistensinya hampir dianggap tidak ada dalam peradaban masyarakat Nusantara.

Stereotif negatif semacam itu terekam, misalnya, dalam salah satu lontar di Bali yang bertajuk Usada Buduh yang berarti penyembuhan penyakit gila. Meski baru ditulis pada abad ke-13 dan ke-14—pada masa pemerintahan Raja Raja Waturenggong di Gelgel, Bali (1460-1550), isi lontar ini diperkirakan sudah diterapkan secara turun-temurun. Ia berasal dari pengetahuan pengobatan India yang masuk ke Bali bersamaan dengan penyebaran agama Hindu pada abad ke-5.

Dalam lontar yang ditulis oleh seorang bhagawan—guru spiritual—bernama Dang Hyang Dwijendra setidaknya terdapat 20  penyakit gila. Beberapa penyakit semacam ini ditandai dengan gejala berperilaku ganjil (suka bernyanyi, menangis, tertawa, dan mengatakan hal-hal yang aneh. Selain itu terdapat pula penyakit gila yang ditandai dengan ciri-ciri fisik tertentu (perut membengkak dan badan panas). Di luar itu, terdapat pula penyakit gila yang disebabkan oleh guna-guna (santet).

Beberapa wilayah di Indonesia, sejak lama, juga menganggap kegilaan sebagai suatu penyakit. Masyarakat Banggai, Sulawesi, Tengah, umpamanya,  mengenal istilah gila betul. Sebutan  ini mengacu pada orang-orang yang mengalami gangguan dalam periode yang panjang akibat gangguan roh-roh halus (Broch, 2001). Ini memiliki pemaknaan serupa dengan gila menurun yang dikenal dalam masyarakat Melayu. Mereka percaya bahwa orang-orang yang mengalami gangguan mental karena faktor keturunan. Meskipun begitu, seperti halnya masyarakat Banggai, mereka percaya bahwa kegilaan semacam ini disebabkan oleh serangan mistis, roh-roh, dan kegagalan untuk memenuhi kewajiban spiritual.

Hal serupa juga ditemukan dalam kepercayaan lama masyarakat Jawa Barat yang masih bertahan sampai sekarang. Seperti dicatat oleh Hiroko Horikoshi (1980), kesehatan merupakan hasil harmonisasi antar unsur panas dan dingin dalam tubuh, antara individu dan komunitas, seseorang dan tatanan kosmos.  Berdasarkan pemahaman  itu, gangguan mental disebabkan oleh ketidakharmonisan jiwa dan raga, yang dapat disembuhkan melalui ritual agama, hidup sederhana, mandi, pijat, dan membatasi makanan.

Meskipun terdapat beberapa kelompok masyarakat yang kerap menggunakan kata ‘gila’ untuk orang yang kehilangan kontrol emosi sesaat karena pergaulan yang erat , terdapat pula kalanangan yang menabukan sebutan itu. Dalam masyarakat Jawa, menurut Basuki dan Sri Hartati (2017), kata gila bisa bermakna pisuhan (umpatan) yang dapat membuat seorang yang menyandangnya marah.

Alasannya, orang-orang gila, yang dalam bahasa Jawa dipandakan menjadi edan, gendheng, lenyeng, kenthir, pekok, goblok, ideot, pengung, gemblung, mendem, koclok, druhun, dan banci itu merupakan  aib bagi keluarga. Sifat-sifat yang terkandung dalam istilah-istilah lokal seperti disebutkan di atas, juga merepresentasikan kecacatan sehingga masyarakat Jawa menyematkan stigma negatif pada penderita.

Karakter buruk  dan streotip sebagai orang “sakit” yang tersemat dalam kegilaan, membuat penderita tak dapat menduduki jabatan publik. Hal ini, misalnya terlihat dalam aturan Rijksblad Mangkunegaran Nomor 10 Tahun 1917. Regulasi itu melarang—salah satunya—orang-orang yang dianggap tidak memiliki kemampuan untuk menjalanjan tugas karena sakit, berusia lanjut, lemah fisik atau mental dilarang menjadi kepala desa (Wasino, 2008).

Citra Eropa

Seperti masyarakat tanah jajahan, pemerintah kolonial Hindia Belanda juga memiliki pandangan negatif terhadap para penyandang disabilitas mental. Ketika VOC berkuasa, orang-orang yang dianggap  gila disamakan dengan kaum tak berpunya dan yatim piatu.  Mereka dimasukan ke panti untuk fakir miskin, semacam ruang ekslusi berupa bilik-bilik gelap  yang dikelola pemerintah  agar tidak berbaur dengan masyarakat dan supaya dapat mengoreksi perbuatan-perbuatan ganjil yang mereka lakukan.

Salah satu orang yang dimasukan ke panti semacam ini adalah seorang Eropa, bernama Joost Blondeel. Dikenal sebagai sosok pengemas minuman ke botol, dia dicap gila karena kerap menenggak arak dalam jumlah besar. Joost dimasukan ke ruang ekslusi pada tahun 1717. Karena status barunya, pemerintah memutuskan untuk menyita seluruh hartanya yang terdiri dari uang 587 ringgit dan delapan kelip, serta tujuh budaknya (Niemeijer, 2012).

Bagi VOC, tindakan semacam ini dilakukan untuk menjaga nama baik kongsi dagang itu di mata masyarakat tanah jajahan. Alasannya, berbagai perilaku ganjil orang-orang gila dapat merendahkan martabat kaum Eropa yang dianggap superior dibanding kelompok-kelompok ras dan etnis lain.  Selain itu, pengasingan ke panti dilakukan agar moral Kristiani orang-orang gila  itu tetap terjaga dan supaya mereka tidak pindah agama.

Meskipun pada awalnya VOC hanya memedulikan kaum  gila yang bersatus Eropa, belakangan orang-orang Tiongkok dan Pribumi juga mendapatkan perlakuan serupa. Seperti diungkapkan Nathan Porath (2008), atas gagasan Dewan diakon di Batavia, pada 1635 telah dibangun sebuah rumah sakit untuk menampung orang-orang gila, miskin, dan yatim piatu. 

Beberapa kelompok juga mendirikan rumah sakit semacam ini.  Salah satunya adalah Chineesche Hospitaal yang berdiri pada 1640. Sesuai namanya, pada mulanya tempat ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang Tionghoa yang gila. Namun VOC kemudian menjadikan rumah sakit ini sebagai sentra pengurungan kaum pribumi yang dicap mengidap  gangguan jiwa di Pulau Jawa.

Praktik semacam ini terus bertahan setidaknya hingga paruh kedua abad ke-19. Artinya, selama lebih dari 200 tahun, seperti catatan Loedin (dalam Wandha, 2012) tentang kondisi Chineesche Hospitaal pada 1815, mereka hidup dalam lingkungan yang buruk dengan kaca-kaca jendela yang pecah, atap bocor, pagar bagian belakang yang roboh dan selokan bawah tanah yang mampat sehingga berbau busuk dan menyebabkan demam.

Situasi buruk itu kian menegaskan bahwa orang-orang gila yang dimasukkan  ke rumah sakit  bukan karena kesehatan melainkan kemiskinan. Hal itu terlihat dari realitas: hampir tidak ditemukannya peralatan medis di sana kecuali alat pasung (boeiblokken) yang digunakan saat mereka agresif.  Perlakuan inilah yang menyebabkan Residen Batavia P.H. van Lawick van Pabst pada 1819 menyebutnya sebagai praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusian (Wandha, 2017).

Penyakit Peradaban

Keadaan baru berangsur-angsur membaik  setidaknya sejak diterbitkannya Resolusi 1831 yang mengatur persiapan penerimaan lebih banyak orang-orang dengan gangguan jiwa pada  rumah sakit besar di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak saat itu, terutama pada pertengahan abad ke-19, muncul wacana pendirian rumah sakit jiwa yang kemudian mewujud melalui penerbitan Het Reglement op het Krankzinnigenwezen (Stbl. 1897 No. 54).

Dalam aturan ihwal institusi untuk menanggani orang-orang gila ini  disebutkan rumah-rumah sakit jiwa tidak dapat menerima pasien dari masyarakat. Mereka hanya bisa merawat orang-orang dengan gangguan mental parah  yang direkomendaskan oleh kejaksaan, kepolisian, dan lembaga pemerintah. Regulasi inilah yang kelak melahirkan berbagai rumah sakit jiwa di Hindia-Belanda (Diatri dan Maramis, 2016).

Sebelumnya,  berdasarkan rekomendasi  Bauer dan Smith yang diperkuat oleh Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 14 Mei 1867, rumah sakit jiwa Bogor menjadi institusi yang pertama kali beroperasi di tanah jajahan yakni sejak 1 Juli 1882. Memasuki awal abad ke-20, didirikan pula beberapa rumah sakit jiwa lain, seperti di Lawang (1902), Magelang, dan Sabang (1923).

Dalam rentang waktu itu setidaknya terdapat 4 tipe institusi untuk merawat orang dengan gangguan jiwa. Institusi pertama, tentu saja adalah empat rumah sakit jiwa (kranzinnigengestichten) tadi yang hampir selalu penuh, meskipun telah dibangun fasilitas tambahan di Semplak, Bogor (1931) dan Pasuruan, (1932). Selain itu, terdapat pula rumah sakit sementara untuk penderita gangguan jiwa akut (doorgangshuizen).

Di luar itu, terdapat panti perawatan (verpleegtehuizen) dan penampungan pasien yang sudah stabil. Bila yang disebut pertama memiliki fungsi hampir sama dengan doorgangshuizen, kecuali kepala lembaga itu yang merupakan perawat yang mendapat pengawasan dari dokter, maka penampungan pasien  merupakan semacam rumah bagi komunitas yang bekeja di peternakan dengan pengawasan ahli jiwa.

Meskipun pertimbangan medis sudah mulai digunakan,  pemerintah Hindia-Belanda sebenarnya lebih menitikberatkan motif ekonomi untuk untuk menangani persoalan kaum disabilitas mental. Hal ini terkait kebijakan Tanam Paksa yang diinisiasi pada 1830. Ketika itu penguasa kolonial membutuhkan banyak tenaga dan pada saat yang bersamaan  harus memisahkan kelompok yang tidak dapat bekerja, seperti orang gila ke dalam sebuah tempat khusus.

Praktik semacam ini, menurut Jan Breman (2014) ditemukan di beberapa  kawasan perkebunan. Di sana orang-orang yang melakukan kesalahan ketika bekerja disamakan perlakukannya dengan pengindap gangguan jiwa. Mereka sama-sama diklasifikasikan sebagai kelompok yang tidak dapat bekerja dan mendapat hukuman, yaitu dipasung.

Selain itu, seturut logika yang sama, ide pendirian rumah-rumah sakit jiwa di kawasan pedalaman yang mengemukan pada pertengahan abad ke-19, terkait pembersihan orang-orang gila dari kawasan perkotaan. Alasannya, rumah-rumah sakit di beberapa kota besar, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya sudah penuh. Dengan begitu, diperluakan sebuah lahan luas untuk menempatkan orang-orang gila, sekaligus mengaryakan mereka dalam beragam aktivitas sebagai bagian dari terapi kerja.

Meskipun begitu, kebijakan untuk menempatkan  orang-orang dengan gangguan jiwa di rumah sakit telah  membuka kemungkinan bagi para ahli jiwa untuk mempelajari kaum disabilitas mental, selain mendata jumlah mereka di tanah jajahan. Sebenarnya, pada 1868, Bauer dan Smith sudah melakukan survei di pulau Jawa dan menyebut setidaknya terdapat 550 orang yang seharusnya dirawat di rumah sakit jiwa;  300 di antaranya ditemukan dalam kondisi yang menyedihkan di beberapa tempat.

Seperti ditemukan di beberapa wilayah koloni lain, para ilmuan Eropa yang melakukan penelitian di Hindia-Belanda mengasumsikan tingkat kerataan gangguan jiwa dalam populasi masyarakat pribumi sebenarnya rendah. Meskipun begitu, mereka belum bisa mengikis anggapan bahwa gangguan jiwa lebih mudah diidap oleh individu-individu dalam masyarakat yang masih terbelakang.

Para ilmuan Eropa di Hindia Belanda, bahkan menyebut persoalan gangguan jiwa adalah penyakit sebuah peradaban. Hal ini terjadi pada masyarakat yang maisih primitif atau belum berkembang. Beberapa ahli psikiatri asal Belanda  bahkan kerap menyebut gagasan tentang bentuk-bentuk spesifik dari gangguan jiwa yang unik dalam masyarakat pribumi (Pols, 2017).

Pada awal abad ke-20 psikiater asal Jerman, Emil Kraeplin, pernah berkunjung ke rumah sakit jiwa Bogor untuk meneliti. Di sana ia sempat  mewawancarai 100 pasien psikiatris, 39 di antaranya mengidap dementia praecox—skizofernia. Berdasarkan temuannya, ia menyimpulkan gejala skizofernia untuk pasien pribumi tidak terlalu parah sebab akibat ketidakstabilan emosi saja dan kemungkinan untuk sembuh sangat besar.

Berdasarkan riset Kraeplin, beberapa ahli psikiatri Belanda berupaya mengungkapkan alam pikiran masyarakat pribumi. Sejak lama, oleh penguasa Eropa, mereka dicap memiliki karakter kejiwaan yang emosional, malas, tidak bisa dipercaya, dan kekanak-kanakan. Hal inilah yang digunakan oleh penguasa kolonial untuk mendiskriminasi mereka. (Bersambung)

(Teguh Vicky Andrew\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar