BPKH Batal Investasi ke Bank Muamalat

Kamis, 28/03/2019 21:30 WIB
Kepala BPKH Anggito Abimanyu (Foto: Tempo)

Kepala BPKH Anggito Abimanyu (Foto: Tempo)

Jakarta, law-justice.co - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) urung berinvestasi ke Bank Muamalat. Mereka memilih memprioritaskan sektor yang lebih menguntungkan dan minim risiko. Kepala BPKH Anggito Abimanyu kepada Law-justice.co Kamis (23/3) mengatakan pihaknya belum siap mengucurkan sebagian uangnya ke bank syariah dan ingin mencari sektor yang lebih meyakinkan.

Di tengah ketidakpastian tentang calon investor Bank Muamalat, BPKH yang kini resmi mengambilalih pengelolaan dana haji dari Kementerian Agama sempat digadang-gadang bakal berinvestasi secara langsung (direct investment) di bank syariah pertama di Indonesia tersebut.

“Enggak ada. Kemarin kami hanya menjajaki saja, karena kan kami sebagai pemegang saham. Kami (ingin) cari yang lebih pasti, menghasilkan, dan risikonya rendah,” kata Anggito saat ditemui di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kamis (28/3).

Tahun ini, BPKH diamanatkan untuk mengelola keuangan haji sebesar Rp 113 triliun. Dari jumlah tersebut, 50 persen akan diinvestasikan langsung. Sementara sisanya akan dikelola Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaran Ibadah Haji (BPS-BPIH).

Anggito menegaskan, pihaknya tidak akan menginvestasikan 50 persen dana haji ke sektor perbankan syariah. Beberapa sektor yang lebih diprioritaskan adalah penerbangan, hotel, dan dapur katering (kitchen).

“Kami belum siaplah (investasi ke bank syariah). Yang lain kan banyak yang bagus-bagus. Sebagai korporasi juga lebih bagus untuk berinvestasi ke sana,” ujar Anggito.

Menurut dia, perbankan syariah di Indonesia masih memiliki potensi untuk terus berkembang. Dosen di Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gdjah Mada itu mengatakan, masalah utama yang dialami oleh perbankan syariah saat ini adalah soal permodalan, manajemen, sumber daya manusia, dan pengembangan produk.

“Yang urgent itu sebetulnya memang permodalan. Selain itu, juga mengenai regulasi-regulasi dan produknya agar lebih diperluas,” ucapnya.

Meskipun Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, tidak lantas membuat perbankan syariah tumbuh dengan pesat. Anggito menyadari bahwa masyarakat Indonesia lebih tertarik untuk menyimpan dananya di bank konvensional. Gerakan-gerakan hijrah yang terus digalakkan sejak lima tahun belakangan dinilai belum cukup untuk mengajak masyarakat berpindah ke bank syariah.

“Faktanya, masyarakat lebih memilih bank konvensional untuk bertransaksi, karena memang hasil yang diperoleh dari bank konvensional masih lebih menarik ketimbang bank syariah. Di bank konvensional, feedback-nya lebih bagus. Dari segi pembiayaan juga lebih murah.”

Karena itu, Anggito menilai, pentingnya intervensi pemerintah untuk membantu pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Pemerintah harus membantu untuk mencarikan investor-investor baru yang dananya tidak bersifat sementara, serta mendorong strategi pengembangan produk dan pengembangan bank melalui merger.

Mengenai Dana Abadi Umat (DAU) dari Kementerian Agama yang saat ini masih berada di Bank Muamalat, Anggito mengaku tidak menghkhawatirkannya. Pihaknya akan terus mengikuti perkembangan terkini dari bank syariah pertama di Indonesia itu. Sekadar informasi, sebagian DAU telah diinvestasikan dalam bentuk saham Bank Muamalat. Kementerian Agama membeli saham Bank Muamalat pada 1998 dengan menggunakan DAU.

Berdasarkan laporan keuangan akhir tahun 2016, Bank Muamalat masih mencantumkan nama Badan Pengelola Dana ONHI sebagai pemegang saham dengan penguasaan 1,03%. Namun dalam laporan per September 2017, nama tersebut sudah tidak tercantum lagi. Hak saham Bank Muamalat yang dibeli dari dana DAU itu memang telah terdilusi.

“Soal dana abadi umat kami tidak khawatir. Kami maintenance saja. Bank Muamalat secara fundamental kan bagus. Nasabahnya kuat. Cuma mereka butuh permodalan yang kuat,” ucapnya.

(Januardi Husin\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar