Disabilitas Mental, Sebulan Menjelang Pilpres (Tulisan-5)

Dirut RSJ Grogol: Emang Orang Tidak Sakit Mampu Menentukan Pilihan dengan Rasional?

Senin, 25/03/2019 16:05 WIB
Dirut RSJ Grogol, dr. Laurentius Simanjuntak (foto: Winna Wijaya/law-justice.co)

Dirut RSJ Grogol, dr. Laurentius Simanjuntak (foto: Winna Wijaya/law-justice.co)

law-justice.co - Rumah Sakit Jiwa Grogol yang nama resminya RSJ Soeharto Heerdjan menjadi oase bagi warga Ibukota yang sedang didera tekanan mental berat. Penduduk Banten dan Jawa Barat juga mengalir ke sana.  Seperti apa suasana  dan persoalan keseharian di tempat ini serta bagaimana kesiapan pengelolanya menghadapi pemilu 17 April 2019?  Berikut ini paparan Direktur Utama Rumah sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, dr. Laurentius Panggabean, SpKJ, MKK,  di ruang kerjanya Selasa 19 Maret 2019 kepada Winna Wijaya dari Law-justice. co.

Berapa jumlah pasien di sini dan seperti apa kondisinya?

Kapasitasnya 300 bed, terisi sekarang itu hampir 70-80%-lah. Kadang-kadang lebih juga. Hampir 85%. Jadi,  orangnya sekitar 85% dari 300. Sekitar 260-an, dari kelas VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.  Kita masih  rawat gabung, sekitar 20 orang dalam satu bangsal. Ke depan harusnya kita buat pasien itu ber-8 dan ber-6. Kelas 3 untuk 20 orang, kelas 2 berisi 4 orang, kelas 1 dihuni  2 orang.  Sekarang yang terbanyak di kelas 3 karena pasiennya umumnya dari Dinas Sosial dan masyarakat, terutama yang menggunakan BPJS. Untuk orang yang mampu bayar kita siapkan VIP. Baru 1 VIP-nya. 

Yang bukan menggunakan BPJS dan orangnya mampu, mereka  tidak dirawat di rumah sakit umum melainkan di rumah sakit swasta. Mereka mampu membayar lebih mahal. Yang di sini kan dari Dinas Sosial: yang diambil dari jalan.  Sebagian besar merupakan gangguan jiwa tapi masih bisa diobati.  

Di sini pasien dirawat rata-rata 21 hari. Sudah tercapai target kalau mereka pulih. Mungkin 100% tidak pulih, tapi tidak gaduh-gelisah lagi. Targetnya: bisa minum obat dan bisa produktif   seperti dulu. Atau minimal tidak membahayakan orang lain atau dirinya sendiri.  Kalau pulih seperti normal,  itu nggak mungkin.  Bagaimanapun,  mereka lama hidup dalam kondisi yang nggak biasa sehingga  harus direhabilitasi.

Target kita,  dihilangkan halusinasinya dan perasaan yang keliru tadi tentang dirinya. Misalnya dia merasa dirinya titisan dewa; sesuatu yang hebat. Jadi, setelah  21 hari mereka sudah siap dipulangkan. Kalau nggak  bisa ya kita pertahankan; tapi rata-rata dikembalikan ke masyarakat atau ke panti.

Mereka umumnya berasal dari mana?

Sementara ini dari panti atau yang terlantar di wilayah DKI. Masyarakat Jawa Barat dan Banten juga banyak yang bersurat ke kita supaya pasien dijemput. Tapi hampir 80% pengguna BPJS itu dari panti sosial di Jakarta. Mereka yang biasanya di jalanan, kita  jemput. Begitu juga yang di puskesmas dan di lingkungan keluarga. Tentu yang dibawa keluarganya  juga  banyak, termasuk untuk rawat jalan. Hampir 1.200 pasien rawat jalan kami. Sehari-hari ada 120 pasien yang kami tangani.

Biaya di sini tidak luar biasa mahal, jadi BPJS bisa menutupi. Telat administrasi ya boleh, kan pasien kita hanya beberapa dari rumah sakit. Selama ini nggak ada keluarga pasien yang kesulitan saat berurusan dengan kita. Sekarang tinggal kemauan membawa pasien kontrol ke sini saja.  Rumahnya jauh? Kita memang belum berhasil membuat  pelayanan seperti ini di puskesmas. Masalahnya,  di sana sering ganti dokter. Ke depannya kita harap mereka berfungsi dengan baik.

Pengalaman menangani pasien terparah di sini seperti apa?

Merusak orang lain,  ada. Mencelakakan orang lain juga ada.  Gangguannya apa? Kita sulit membayangkan. Tapi kalau kita menyederhanakan, kira-kita seperti ini. Kita kan punya suara hati yang memandu. Misalnya saya melihat Mbak kayaknya cantik. Dalam pikiran muncul ide: godain atau timpuk atau colek atau sekalian perkosa. Itu kan pikiran. Kita nggak  wujudkan karena di pikiran kita ada yang menahan,  itu nggak boleh. Tapi orang yang mengalami gangguan itu nggak  ada penahanannya.  Yang menahan dengan mengatakan  itu zina, itu nggak ada. Seperti bablas fantasinya sebab suara hatinya tidak bekerja. Begitu juga kehendak untuk membunuh.

Paling parah? Dia tidak bisa membedakan benar atau salah. Realita kemampuan menilai dia terganggu. Akhirnya dia melakukan. Halusinasi kan sama dengan suara hati yang melarang kita melakukan. Dia sudah split [terbelah]  sehingga suara penyuruh ada di telinganya.

Konsentrasi penderita gangguan jiwa itu bisa lamakah?

Bisa, kalau sembuh. Kan target kita pulih. Makanya kita kembangkan juga rehabilitasi. Rehabilitasi itu kembali ke perilaku yang lama. Dia bisa diajar bekerja, masak, menggoreng, menanam…supaya produktif.  Minimal dia lepas dari tanggungan keluarga.  Rehabilitas itu di luar 21 hari pengobatan. Tidak nginap juga nggak apa. Sekarang 12 orang sedang mengikuti program, biayanya 100 ribu per hari.

Kemungkinan kumat masih ada?

Mungkin, kalau nggak  minum obat. Obat itu harus terus. Tidak boleh tidak minum obat. Ada caranya mengurangi obat, tapi nggak boleh sendiri,  mesti dipantau. Efeknya bukan besok tapi minggu depan. Kalau distop sekarang belum tentu. Dua minggu mungkin membaik. Jadi penghentian obat tidak cepat.

Konsentrasi mereka tidak lama. Apakah mereka akan mampu ikut pemilu nanti?

Emang orang yang tidak sakit mampu menentukan pilihan dengan rasional? Nggaklah, kan itu sudah dimind-set-kan. Jarang orang yang konsisten.  Samalah. Artinya kemungkinan seperti itu terjadi pada semua orang. Jadi itu nggak menjadi halangan. Tapi konsentrasi lama itu… kita ini maksimal bisa 10 menit saja sudah luar biasa. Kayak gitulah, kita saja nggak bisa berkonsentrasi lama.

Pasien dapat dipastikan sembuh total?

Bisa, pada gangguan jiwa. Apalagi dengan obat baru sekarang. Pasien kita ada yang tetap ngaco banget meski pernah dirawat. Orang dewasa harus cepat ditanggulangi. Makin cepat makin bagus.  Gangguan di usia  20 tahun  lebih jelek dan lama pengobatannya. Juga yang mengalami trauma. Ada kasus di RSJ Lawang, Jawa Timur, tahun 2018. Seorang pasien seolah pintar ngaji, tapi sebenarnya isinya nggak ada.

Kaitannya dengan hak pilih dalam pemilu 17 April mendatang. Laikkah pasien gangguan jiwa diberi hak suara?

Kalau seorang dalam posisi sedang aktif gangguannya, kemampuan menilainya terganggu. Ia mungkin tidak bisa ikut dalam pemilihan umum. Tapi bukan tidak boleh. Kita tidak membatasi dia ikut. Tapi apakah dia akan menggunakan haknya dengan baik dan benar?  Itu kan lain persoalan...

Contohnya,  orang penderita diabetes. Boleh nggak dia memilih? Boleh. Tapi bila pada saat pemilu dia koma, kan nggak bisa. Atau misalnya orang biasa yang tiba-tiba sakit jantung. Kan dia nggak dilarang ikut pemilu. Pasien gangguan jiwa tidak dilarang ikut mencoblos tapi mereka tidak menggunakan haknya  ketika kumat. Jadi, hak mereka tidak dibatasi.

Sosialisasi dari KPU di rumah sakit ini bagaimana?

Kita kemarin juga disurati oleh KPU Jakarta Barat tentang pelaksanaan Pemilu. Tapi kan kalau kita lihat,  pendaftaran  30 hari sebelum hari pelaksanaan.  Pasien di sini tidak sampai 30 hari…Kalau dia masuk sekarang,  21 hari ke depan dia sudah pulang. Kembali lagi ke tempat dia sehingga kita nggak ngurusin lagi. Demikian juga kalau dia masuknya 15 hari sebelum pemilu. Kan sudah di luar; mau dipindahkan juga nggak bisa. Jadi kita pikir, mau yang mana yang kita ambil?

Kalau dia sudah aktif sekali gangguannya tentu nggak bisa dia menggunakan haknya. Karena kondisi, bukan karena sistem. Sama seperti pasien di ICU, boleh nggak? Boleh, tapi dia kan nggak bisa.  Kalau di rumah sakit, umum apalagi, paling cuma 12 hari, 7 hari [perawatan]. Jadi, itu  yang kita pakai sebagai patokan untuk petugas.

KPU sudah bersosialisasi ke pasien di sini?

Setahu saya belum. Kalau  di panti umumnya stay lama, ya… di Panti Laras dan di Yayasan Galuh bisa berbulan-bulan. Di kita kan nggak. Kemarin itu kita pertimbangkan. Nggak ada pasien yang tinggal lama di sini.  Dulu saya di RSCM. Sosialisasi pemilu  pernah dilakukan di sana dan ada TPS. Tapi saya nggak tahu prosesnya  waktu itu.

TPS akan  dipasang di sini?

Kan pasien kita sedikit, sekitar 200. Kita nggak tahu  pasien kita terdaftar atau tidak di daerah asal mereka. Rumah sakit nggak bisa memastikan. Kemarin kita juga mempersoalkan itu. Kalau misalnya TPS mau dibikin sekarang, nanti pasien sudah pulang. Kalau dibikin nanti, waktunya sudah lewat. Makanya kita nggak mengikuti. Memang 1 suara itu penting tapi prosesnya itu tidak semulus yang diperkirakan. Apalagi kalau berdasarkan aturan bahwa mereka harus terdaftar di daerah. Itu kan nggak  bisa kita daftarkan di sini; harusnya sudah ada di sana. Biasanya mereka tidak punya KTP. Nggak diurus. Bikin kan mesti ada foto, mesti ke kecamatan…..

Stigma masih melekat pada rumah sakit jiwa, terutama pasiennya…

Di luar negeri pun ada. Di mana-mana ada. Itu hak azasi, sih. Di sini nggak diikat, kecuali untuk menyelamatkan.  Disuntik saja. Stigma itu karena kegagalan kita menjelaskan bahwa pasien itu bisa diobati. Dengan kemajuan zaman mereka bisa pulih.  Habis waktu kita menghadapi stigma. Buktikan bahwa dia bisa pulih, nggak perlu kita gembar-gembor kayak wartawan.

Berapa anggaran rumah sakit ini?

Anggaran pertahun hampir 120 milyar rupiah. Per bulan ya sekitar 12 milyar, itu termasuk untuk pengobatan dan gaji karyawan, dokter, dan sebagainya. Kita ada punya 511 pegawai, termasuk dokter.

(Winna Wijaya\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar