Jokowi yang Tak Percaya Birokrasi

Senin, 25/03/2019 09:30 WIB
Presiden Jokowi Beserta Rombongan Meninjau Pembangunan Tol Sumatera (Seskab)

Presiden Jokowi Beserta Rombongan Meninjau Pembangunan Tol Sumatera (Seskab)

Jakarta, law-justice.co - Presiden Jokowi rupanya ingin menunjukkan dirinya sangat teliti mengawasi pembangunan. Itu terlihat dari pidatonya di depan acara deklarasi dukungan pengusaha pekerja pro-Jokowi di Istora Senayan, Jakarta 21 Maret 2019 lalu. Jokowi menyebutkan, dia sampai delapan kali datang ke tol Trans Sumatera untuk memastikan pembangunan berjalan sebagaimana mestinya.

“Tunjukkan kepada saya, presiden mana yang ngecek jalan sampai delapan kali? Kalau Presiden datang delapan kali, maka menterinya pasti datang 16 kali,” ujar Jokowi.

Benar juga. Memang tak ada presiden Indonesia yang pernah melakukan itu. Atau bahkan mungkin tak ada satu pun presiden di dunia yang perlu delapan kali datang ke suatu proyek hanya untuk memeriksa. Mungkin hanya Jokowi pula yang mempunyai rumus bahwa jika presiden turun sampai delapan kali, maka menterinya pasti datang 16 kali untuk memeriksa kelangsungan proyek.

Entah apa pula yang ada di pikiran para pekerja yang ikut dalam deklarasi tersebut ketika mendengar presidennya bekerja seperti tak mengenal waktu. Sebab mereka hanya bekerja delapan jam sehari atau 40 jam sepekan. Dengan sistem yang rapi, toh produktivitas mereka tetap baik.

Entah bagaimana reaksi para pengusaha yang hadir dalam acara deklarasi itu. Barangkali mereka bingung. Sebab, para pengusaha tentu terbiasa manajemen dan sistem kerja. Mereka hanya menetapkan target, lalu pencapaiannya diserahkan kepada jajaran manajemen, mulai dari direksi sampai ke pegawai terendah. Selanjutnya para pengusaha itu tinggal melakukan pemantauan efektivitas dan efisiensi pekerjaan berdasarkan laporan anak buah. Dengan sistem manajemen yang baik, para bos itu pasti mendapatkan laporan yang presisi. Berdasarkan laporan itulah dia mengambil kebijakan lanjutan.

Tentu tak mungkin kita menyamakan secara persis antara kerja buruh dengan kerja presiden, atau tanggung jawab pengusaha dengan tanggung jawab kepala negara. Namun, kita ingin menekankan satu hal: Mr. President, you are the boss! Anda adalah chief executive officer di negara ini: Pemimpin eksekutif tertinggi.

Jika di bawah CEO perusahaan ada banyak staf eksekutif lain, di bawah Presiden pun serupa, terdapat banyak pimpinan eksekutif lain, mulai dari sekian puluh menteri dan kepala lembaga, ratusan direktur jenderal, ribuan direktur, ratusan kepala daerah dan mungkin jutaan kepala dinas, serta hampir seratusan ribu kepala desa atau lurah. Itu semua adalah anak buah Presiden.

Dengan eksekutif sebanyak itu, mestinya Presiden tak perlu capek--walaupun tak patut juga hanya duduk manis di singasana istana. Sebab, kalau disederhanakan, tugas Presiden hanya satu: jangan lupa memberi perintah, dan memastikan perintahnya berjalan sesuai tujuan. Kurang lebih sama dengan tugas pengusaha sebagai CEO perusahaan.

Kalau Presiden sudah mengeluarkan perintah, dan memastikan perintahnya dilaksanakan, maka menjadi pertanyaan kita, apa perlu Presiden Joko Widodo harus turun memeriksa jalan sampai delapan kali? Apa benar pula rumus kalau presiden datang delapan kali, maka menteri datang 16 kali.

Kalau cuma sekadar memastikan pekerjaan tidak mangkrak, pegawai pengawas atau mandor pun cukup. Sejauh sistem pelaporan dalam manajemen pemerintah berjalan benar, toh tidak ada bedanya laporan mandor, dirjen atau menteri. Sejauh sistem itu tepat, apa yang dilihat presiden dengan turun langsung pasti tidak akan berbeda dengan yang dilaporkan mandor.

Apalagi di setiap daerah ada kepalanya, mulai dari bupati sampai gubernur, yang bertugas sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Apalagi selain laporan staf, berbagai perangkat teknologi sudah tersedia untuk memudahkan pengawasan.

Presiden turun langsung ke bawah itu memang perlu. Itu untuk menimbulkan kesan adanya total immersion, keterlibatan mental secara penuh dari pemimpin untuk mencapai target program. Pemimpin yang terjun ke bawah ini juga dapat membangkitkan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas dan menciptakan sense of urgency dari seluruh jajaran organisasi untuk segera menyelesaikan pekerjaan dan mengatasi setiap masalah yang timbul.

Melihat langsung kondisi lapangan sebenarnya praktek paling dasar yang lazim dilakukan dalam pemantauan dan evaluasi suatu program. Dulu di era Bung Karno dikenal istilah turba (turun ke bawah), di masa Orde Baru disebut sidak (inspeksi mendadak), dan belakangan populer istilah blusukan dari Jokowi. Tujuannya sama: menumbuhkan kesan total immersion.

Tapi turba, sidak atau blusukan itu adalah tindakan manajemen yang bersifat sesekali. Kalau dilakukan berulang-ulang, maka kesan yang timbul justru berbeda. Presiden bisa dianggap tidak mempercayai jajarannya, mulai dari kabinet sampai ke level terbawah. Atau Presiden dapat pula dinilai tidak mampu membangun sistem kerja pemerintahan yang benar.

Namun, itu kalau kita bicara tentang manajemen kerja pemerintahan dan tugas-tugas Presiden dalam menjalankan pekerjaan pemerintahan. Namun, kalau konteksnya adalah kampanye pilpres, ya, tentu sudut pandangnya berbeda pula. Datang berpuluh kali pun meninjau suatu proyek yang eye catching, berletih-letih membagikan sertifikat tanah gratis kepada masyarakat, atau berbecek-becek masuk gorong-gorong, ya memang tak ada salahnya. Toh itu untuk kepentingan elektabilitas pribadinya menjelang pemilu.

Jadi, sekali lagi, ya bergantung pada sudut pandang saja. Delapan kali turun ngecek jalan, itu wajar jika ditilik dari kepentingan elektabilitas. Tapi, jika dilihat dari manajemen pemerintahan, menjadi tak wajar. (Sumber: Nusantara.news)

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar