Sebulan Menjelang Pilpres di Panti Laras 1 (Tulisan-3)

Mempertanyakan Keserampangan DPT Kaum Disabilitas Mental

Minggu, 24/03/2019 17:56 WIB
Sosialisasi Pemilu di Panti Laras I (foto: Robinsar Nainggolan/law-justice.co)

Sosialisasi Pemilu di Panti Laras I (foto: Robinsar Nainggolan/law-justice.co)

law-justice.co - Tiga perempuan berjalan menuju ke arah gerbang utama. Sebelum sampai ke pos penjagaan, salah seorang dari mereka tiba-tiba meronta dan merebahkan diri di tanah. Tidak jelas apa yang diucapkannya. Kedua rekannya memandanginya saja tanpa berbuat apa-apa.

Supriyadi tidak kaget melihat kejadian  itu. Dengan sedikit menggarangkan raut wajah, dari pos penjagaan sang satpam berteriak ke arah tiga perempuan tadi. “Masuk!” 

Kepada seorang pria yang juga merupakan penghuni, ia memerintah.  “Tolong teman kamu. Bawa masuk!”

Orang yang diperintah segera menghampiri perempuan yang masih rebahan di tanah. Bersama dua rekan, ia menggotong dengan paksa. Dibawa kembali ke dalam panti, meski  perempuan itu terus meronta.

Adegan itu berlangsung di Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 1, Cengkareng, Jakarta Barat, pada Senin (19 Maret 2019) siang.

Gangguan Jiwa Berat

Panti Laras 1 merupakan tempat penampungan  orang-orang dengan disabilitas mental.  Selain tempat ini ada juga Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2 (Cipayung, Jakarta Timur) dan Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 3 (Daan Mogot, Jakarta Barat). Ketiganya di bawah pengelolaan Dinas Sosial DKI Jakarta.

Semua penghuninya pengidap gangguan jiwa berat yang langsung digaruk dari jalanan. Itulah yang membedakan Panti Laras 1 dari dua panti lainnya.  Orang yang mentalnya sangat bermasalah itu diinapkan dulu di Panti Sosial Bina Insan (PSBI) sebelum dibawa ke Panti Laras 1.

“Kalau dari jalanan kan biasanya mereka masih nggak karuan. Nggak pernah mandi, rambut masih gondrong. Dibawalah ke PSBI. Paling lama 12 hari di sana. Kemudian ditempatkan di sini untuk dibina,” kata Staf Bagian Pelayanan Panti Laras 1,  Misriati.

Berluas sekitar 1 hektar, Panti Laras 1 memiiki 6 wisma yang namanya serba burung.  Penghuni pria ditempatkan di  Elang, Cendrawasih, Kenari, dan Merpati; perempuan di Melati dan Mawar. Pasien yang baru datang dari PSBI, biasanya disolasi dulu di Wisma Elang paling lama seminggu dengan tujuan mengenalkan lingkungan baru. Kalau langsung dibaurkan dengan yang lain tentu bisa kacau. Seusai isolasi, wajah baru itu bisa dimasukkan ke wisma mana saja; tempat penampungan yang tersedia tak ada pembedanya.

Penghuni yang baru masuk terus ada sebab razia rutin berlangsung di jalanan. Dengan sendirinya panti ini harus senantiasa menyortir penghuni. Mereka  yang kondisinya telah membaik bisa dialihkan ke Panti Laras 2 atau Panti Laras 3. Syaratnya, telah bisa mengurus diri.

Setidaknya setiap bulan panti harus bisa mendapatkan minimal 10 orang yang keadaannya sudah membaik.  Biasanya 20-30 orang yang bisa di-cluster (meminjam istilah pengelola panti) sebab sebanyak itulah yang akan datang  dari  PSBI Cipayung dan  PSBI Kedoya.

Jumlah penghuni tempat ini sangat tak menentu. Selain mekanisme cluster, ada faktor lain penyebabnya. Penghuni yang diambil langsung oleh keluarganya, meninggal dunia, dan berhasil melarikan diri, terutama. Saat ini penghuninya  735 orang, terdiri dari 520 laki-laki dan 215 perempuan. Ini  belum termasuk yang rawat inap (96 orang di RSJ Grogol dan RSUD Koja).  Adapun petugasnya cuma 40 orang yang terdiri dari perawat, penjaga, dan satpam. Dari mereka 17 saja yag berstatus pegawai negeri sipil.

Keterbatasan jumlah pekerja yang memungkinkan penghuni raib  “Mereka bisa mempelajari cara-cara untuk kabur. Ada yang lompat pagar, ada yang lewat gorong-gorong. Keinginan untuk kabur itu sangat tinggi di antara beberapa mereka,” ungkap Misriati.

Beberapa pasien yang kondisi kejiwaannya parah terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Di panti ini tidak ada dokter spesialis jiwa yang setiap hari berkunjung. Yang ada cuma 1 dokter umum dari Puskesmas Cengkareng; dia datang di hari kerja Senin – Jumat.

“Kalau tiba-tiba tingkat halusinasinya sangat tinggi, kelakuan pasien kadang aneh-aneh. Kami tidak bisa menanganinya lagi. Makanya harus dirujuk ke rumah sakit selama 3 minggu. Setelah itu dibawa lagi ke sini.”

534 Hak Pilih

Jelas, Panti Laras 1 adalah tempat penampungan orang dengan gangguan jiwa yang tergolong akut. Begitupun, para penghuninya tetap diberi Komisi Pemilihan Umum (KPU) hak pilih. Pada hari H Pemilu, 17 April mendatang,  akan ada Tempat Pemungutan Suara (TPS) di halaman dalamnya.

Dari  total 735 orang, 534 penghuni yang telah  termaktub dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). KPU sendiri yang menentukan siapa-siapa saja orang yang masuk dalam DPT.  “Kami hanya diminta untuk menyetorkan daftar nama penghuni,” kata Misriati.  

Setelah disetorkan pada pertengahan tahun 2018, KPU mengirimkan daftar DPT ke petugas panti. Awalnya, jumlah DPT 700 orang. Namun setelah ditelisik ulang, ternyata orang yang namanya terdaftar banyak  yang sudah tidak lagi berada di sana.  

“Mereka meminta kami untuk mengecek ulang nama-nama yang awalnya 700 an itu. Setelah periksa lagi, akhirnya tinggal 534 orang yang punya hak pilih pada Pemilu nanti.”

Misriati dan petugas di Panti Laras 1 lainnya tidak mengetahui bagaimana cara KPU memilih penghuni di sana untuk dimasukkan ke DPT soalnya tidak dilibatkan lebih jauh. Yang pasti, tidak ada pemeriksaan medis maupun kejiwaan, sebelum penentuan DPT.

Melihat kondisi kejiwaan para penghuni panti, wajar kalau muncul pertanyaan: apakah sebanyak itu orang-orang di sana yang memiliki kemampuan untuk menentukan hak pilih?

Secara tersirat, Misriati berpendapat, angka itu mungkin terlalu berlebihan. Perempuan yang sudah sejak 1998 bekerja di panti sosial itu membandingkan dengan DPT pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 lalu.

“Waktu itu cuma 35 orang. Itu pun sudah benar-benar diperiksa secara kejiwaan bahwa mereka mampu untuk memilih. Dulu tidak ada TPS di dalam panti. Mereka ikut TPS di warga sekitar sini.”

Tak Sadar Pemilu

Beberapa di antara penghuni panti, menurut Misriati, menyadari adanya hak dirinya dalam pemilu serta mengetahui nama calon presiden dan wakil presiden. Tapi jumlah mereka sangat sedikit. Untuk melihat langsung kondisi mereka, ia kemudian mengajak Law-justice.co berkeliling panti.

Sesampai di haman utama panti, beberapa penghuni mendekat. Misriati mengajak mereka—Joni, Iwan, Yusuf, dan Murdan—bercakap. Satu persatu lelaki itu kami tanyai  tentang pemilu.

Joni hanya diam, saat ditaya. Tidak mengeluarkan kata sama sekali, dia. Misriati mengatakan, orang itu memang pendiam dan sangat jarang sekali berbicara apalagi ke orang asing.

Kami lantas beralih ke Iwan. Pria berbaju merah itu hanya tertawa ketika ditanya. Jawabannya? “Nggak tahu.”

Yusuf yang menghuni Wisma Elang pun tampak kebingungan ketika ditanya ihwal calon presiden dan wakil presiden. Waktu ditanya siapa presiden Indonesia saat ini, ia menjawan “Pak Susilo (Bambang Yudhoyono).”

Dari keempatnya, hanya Murdan yang bisa diajak komunikasi dengan lancar.  Dia tahu bahwa nanti mereka akan ikut pemilu.

“Prabowo, Sandi, dan Jokowi,” ucapnya sambil melihat ke arah spanduk besar di pinggir lapangan,  menjawab pertanyaan:  siapa saja calon presiden pada 17 April mendatang.

Petugas KPU DKI Jakarta sebenarnya sudah dua kali berkunjung ke Panti Laras 1 untuk bersosialisasi. Sejak itu, setiap pagi saat berkumpul di halaman utama, petugas panti selalu mengenalkan calon presiden dan calon wakil presiden dan nama-nama partai yang bertarung. Terpampang dengan jelas pada spanduk yang tergantung di salah satu bagunan gambar para pasangan calon pimpinan negara.

Misriati berharap, pada sosialisasi ketiga nanti, KPU benar-benar serius menyampaikan cara-cara melakukan pemilihan. Jika tidak, para penghuni tak bakal mengetahui apa yang perlu mereka lakukan di hari-H. “Sebetulnya beban lho bagi kami suara sebanyak ini. Tapi katanya sudah menjadi aturan bahwa mereka harus didaftarkan. Ya sudah, kami ikut sertakan. Tentang apakah mereka mengerti, tentang hasilnya nanti bagaimana, kami nggak tahu.”

Pemilu tinggal menghitung hari. Begitupun, pengelola  Panti Laras 1 belum pernah membicarakan detil pelaksanaan pencoblosan nanti. Mereka juga tidak tahu apakah akan ada seleksi lagi terkait dengan DPT.

Mereka juga tidak tahu apakah  akan ada pemeriksaan kejiwaan atau tidak,  sebelum pencoblosan. Informasi pasti dari KPU tentang itu belum ada. Pun ihwal tata cara pendampingan para pemilih nanti jika memang diperlukan. Isyarat keserampangan, bukan?

(Januardi Husin\Rin Hindryati)

Share:




Berita Terkait

Komentar