Mencermati Survei Kompas dan Pentingnya Pengawas Pilpres Independen

Sabtu, 23/03/2019 05:41 WIB
Ilustrasi Peran Pengawas Pemilu (Ist)

Ilustrasi Peran Pengawas Pemilu (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Gelisah dan terkejut, begitu kira-kira yang dirasakan Toto Suryaningtyas dan para koleganya di Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas begitu melihat hasil surveinya sendiri pekan lalu. Hasil survei elektabilitas kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang kemudian diterbitkan di Kompas edisi Rabu (20/3/2019), tersebut menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma`ruf turun, sementara Prabowo-Sandiaga naik. Selisih elektabilitas kedua pasangan calon (paslon), sebulan sebelum hari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, kian tipis.

Hasil survei yang digelar Litbang Kompas pada 26 Februari hingga 5 Maret 2019 itu menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma`ruf sebesar 49,2 persen, sementara Prabowo-Sandiaga mencapai 37,4 persen. Artinya, elektabilitas Jokowi-Ma`ruf hanya selisih 11,8 persen daripada Prabowo-Sandiaga. Ini untuk pertama kalinya tingkat elektabilitas petahana berada di bawah angka 50%. Hasil ini mengingatkan kita pada pilkada DKI lalu, dimana petahana waktu itu BTP-DSH hasilnya baik putaran I maupun II tetap di kisaran 42% saja, sementara suara pasangan AHY-SM justru sepenuhnya lari ke pasangan AB-SU yang pada putaran pertama memperoleh 39% menjadi 58%.

Hasil survei itu tidak hanya membuat internal Kompas terkejut (angka survei sebenarnya Jokowi sudah di 43%, tapi Kompas tidak tega mencantumkan angka itu) tetapi juga membuat petahana gelisah dan gundah gulana. Tanda-tanda menuju kekalahan nampak terlihat didepan mata.  Hasil survei itu merupakan sinyal lampu kuning bahkan mengarah ke lampu merah kalau tidak ada upaya signifikan untuk mencoba mencegah kejatuhan petahana.

Mengapa elektabilitas pasangan petahana cenderung untuk terus menurun ?. Apa dampak ikutan dari terus turunnya elektabilitas petahana tersebut ? Apakah turunnya elektabilitas ini membuat petahana panik lalu terbuka peluang untuk bermain curang ? Perlukah pengamat independen dari luar negeri memantau potensi kecurangan itu ?

Mengapa Terus Menurun ?

Kalau boleh jujur, menurunnya elektabilitas petahana terjadi diawali ketika memilih calon Wapresnya dari kalangan agamis. Harapan untuk meraih suara kaum agamis rupanya tidak membuahkan peningkatan elektabilitas, malah justru menambah jumlah potensi golput.

Kasus korupsi yang juga terjadi di dalam kubu petahana juga ikut menggerus kepercayaan masyarakat terhadap orang-orang yang berada disekitarnya. Terakhir salah seorang Ketua parpol pengusung turut terseret OTT KPK, ditengarai bakal turut memperkeruh keadaan, apalagi survei di atas dilakukan sebelum terjadinya kasus tersebut. Bisa jadi setelah pertengahan Maret ini bakal terjadi penurunan elektabilitas lagi.

Jargon bahwa presiden tak ikut campur urusan KPK dan membuktikan tidak tebang pilih sepertinya kurang kuat untuk mengangkat elektabilitas kembali. Justru sebaliknya, masyarakat jadi berpikir jangan-jangan banyak orang di sekelilingnya yang berperilaku sama, hanya nasibnya lebih baik karena masih terhindar dari radar KPK. Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas, termasuk kasus Novel dan kasus-kasus terdahulu seperti kasus Munir, Kendeng, Kerusuhan 21 Mei 98 dan sebagainya juga berimbas pada turunnya kepercayaan terutama para aktivis HAM kepada pemerintah sekarang.

Infrastruktur yang selalu digadang-gadang oleh pemerintah sebagai keberhasilan ternyata tak luput dari masalah. Walau sudah banyak jalan tol serta MRT rampung, namun setelah beroperasi timbul masalah seperti longsor di ruas tol Semarang – Salatiga dan banjir di ruas tol Madiun - Kertosono.  Tidak jelasnya pembangunan kereta super cepat, penyelesaian LRT yang molor dari jadwal, serta terbengkalainya pembangunan rel di Sulsel menjadi contoh bahwa ternyata masih banyak hal yang harus diselesaikan pemerintah dalam waktu yang semakin sempit ini.

Belum lagi masalah hutang BPJS kepada rumah sakit, serta berkurangnya jenis tanggungan penyakit yang dicover BPJS, membuat masyarakat semakin ragu apakah pemerintah memang mampu menjalankan amanah undang-undang dengan baik. Belum lagi soal tiket pesawat yang semakin tinggi, yang malah membuat masyarakat harus ke luar negeri dulu sebelum menginjak ibukota, agar mendapat tiket murah.

Memang bukan semua salah petahana, karena mengurus negara sebesar Indonesia memang perlu seorang yang mempunyai kemampuan bukan sekadar penguasa boneka. Aparatur yang lamban bekerja masih mendominasi dihampir semua lembaga negeri ini, sementara para pegawai baru justru malah sebagian mengikuti irama seniornya, bukan membawa perubahan yang lebih baik. Para politisi terutama pendukung petahana juga tidak menunjukkan perilaku yang dapat diteladani, yang membuat masyarakat semakin apatis dengan pemilu kali ini.

Celakanya, golput justru jadi kambing hitam yang terus ditakut-takuti, bukannya malah dirangkul oleh pendukung petahana. Bukannya memperbaiki kesalahan kolektif birokrat dan politisi yang sudah mendarah daging ini, malah golput yang disalahkan.

Seharusnya perlu dicari penyebabnya mengapa mereka golput, karena ternyata setelah lima tahun bekerja, walau ada perubahan signifikan di beberapa bidang termasuk infrastruktur, namun belum menyentuh akar permasalahan yang terjadi. Kasus korupsi makin marak, bahkan semakin banyak yang terkena OTT. Selain itu kasus HAM yang tak pernah diselesaikan membuat orang skeptis akan adanya perubahan mendasar di negeri ini.

Menaikkan gaji PNS, walaupun sudah waktunya dan tak terkait langsung dengan pemilu, rasanya tidak akan menolong banyak untuk mengerek elektabilitas yang sudah terlanjur turun. Apalagi waktu pencoblosan tinggal hitungan hari, tak sampai sebulan lagi, hanya tinggal mukjizat saja yang mampu mendongkrak elektabilitas petahana.

Dampak Menurunnya Elektabilitas

Hasil survei memang belum tentu menjadi kenyataan, namun bisa menjadi barometer untuk waspada. Turunnya elektabilitas harusnya menjadi peringatan bagi para pendukung petahana untuk lebih humanis serta harus mampu meyakinkan para swing voters dengan tidak lagi menakut-nakuti apalagi mengkambinghitamkan golput.  Tapi alih-alih ini semua menjadi bahan peringatan, hasil survei itu justru membuat pendukung petahana terutama parpol pendukungnya saling menatap curiga dan punya kecenderungan untuk  berputar haluan guna menyelamatkan dirinya

Kini sudah bisa kita saksikan bersama, partai partai pendukung petahana saling tanduk. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beradu mulut dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar saling curiga dengan Partai  Nasdem, sedangkan PDIP saling lempar isu dengan PSI. Mereka seolah-olah tidak mengenal lagi siapa kawan siapa lawan.

Para pentolan parpol pendukung petahana mulai gelisah dengan hasil kampanye belakangan ini. Di mana-mana Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (Padi) disambut gelombang ribuan massa. Di sisi lain, Jokma gagal menghadirkan pendukung. Celakanya, alam juga sering kurang bersahabat dengan sang petahana. Sedikitnya di tiga titik tempat kampanye Jokma, disambut angin puyuh sehingga memporak-porandakan panggung acara mereka.

Partai Golkar yang dalam sejarahnya tak pernah mengambil sikap oposisi mulai kelihatan bermanuver. Tokoh-tokoh penting Partai Beringin mulai menyelamatkan diri merapat ke kubu 02. Sebut saja salah satunya adalah Erwin Aksa. Keponakan Wapres Jusuf Kalla ini membelot dari keputusan partainya. Erwin, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPP Golkar, justru memilih untuk menunjukkan dukungannya secara terang-terangan kepada Prabowo-Sandi.

Loncat pagar Erwin ini bukan perkara sepele. Erwin yang pengusaha itu telah mengirim pesan kepada publik bahwa tempat yang prospektif adalah berada di kubu Prabowo-Sandi. Kabarnya, sejumlah tokoh politik pendukung petahana lainnya secara diam-diam juga banyak yang merapat ke kubu 02. Setidak-tidaknya, di antara mereka sudah ada yang memasang dua kaki. Kaki sebelah di kubu 01, sebelah lagi di 02. Dasar politisi.

Sikap politisi itu wajar adanya. Maklum saja, para pentolan parpol itu adalah orang yang memiliki akses terhadap hasil survei yang sesungguhnya. Survei-survei itu banyak memenangkan paslon 02 atau setidak-tidaknya memberi gambaran remuknya elektabilitas sang petahana.

Konon sepekan sebelum hasil survei Litbang Kompas disiarkan, sudah ada angka-angka yang berseliweran. Sejumlah wartawan senior yang punya akses di laci Kompas membisikkan di interen Kompas sendiri ada yang berpendapat sebaiknya survei tersebut tidak usah dirilis. Namun sebagian lagi menghendaki sebaliknya. Kala itu, konon perolehan Jokma hanya 43% dalam survei. Di sisi lain, undecided masih 17%. "Angka 49,2% untuk Jokowi adalah angka kompromi," kata sang pembisik.

Lalu, bagaimana hasil survei lembaga lain yang berbeda dengan Kompas? Kini, publik sudah menyadari, bahwa lembaga-lembaga survei tersebut bekerja sebagai tim sukses. Mereka bukan sebagai lembaga survei yang jujur dan independen.

Kabarnya, ada 22 lembaga survei yg dibayar petahana. Mereka bekerja dengan tujuan menggiring opini publik. Hasil survei mereka diharapkan dapat memberi keyakinan bagi pendukungnya bahwa Jokowi menang, di sisi lain membuat drop kubu lawan. Terakhir hasil survei ini nantinya bisa menjadi alat untuk menjustifikasi kemenangannya, walau dengan cara-cara curang. Sejauh ini, kerja lembaga-lembaga survei itu sudah benar, sesuai pesanan klien. Namun, jadi sulit bagi rakyat untuk mempercayai lembaga survei seperti itu.

Kepanikan melanda petahana

Terus menurunnya elektabilitas petahanan rupanya telah membuatnya gelap mata sehingga membuat rakyat Indonesia menyongsong 17 April 2019 dengan hati yang cemas. Betapa tidak? Kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu semakin marak saja dari hari ke hari. Terkesan ada upaya untuk menggunakan kekuasaan seluas-luasnya untuk mendukung kemenangan paslon Jokowi-Ma’ruf Amin.

Ada beberapa faktor yang membuat rakyat pesimis Pemilu 2019 bisa berlangsung jujur dan adil, di antaranya:

Pertama, menteri kabinet diragukan netralitasnya. Karena siapa pun mereka, bahkan politikus sekali pun, apabila sudah duduk di jabatan publik seharusnya bersikap netral. Mereka harus bisa membedakan mana posisi sebagai politisi dan mana posisi sebagai menteri. Celakanya, posisi ini yang nyata-nyata bias. Meski dibungkus secara apik, rakyat sudah bisa membaca apa maksud dari tingkah laku para menteri yang kelewatan itu.

Misalnya Mendagri Tjahjo Kumolo yang “jualan” Jokowi 2 periode kepada para kades.  Pernyataan Menristekdikti Mohamad Nasir agar jangan coblos dua, coblos satu saja. Menkominfo Rudiantara yang tegas-tegas mendikte ASN dengan “yang gaji kamu siapa” gara-gara simulasi pemilu. Termasuk aksi satu jarinya Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Sri Mulyani dalam pertemuan IMF-World Bank, tempo hari lalu.

Kedua, polisi diragukan netralitasnya. Rakyat Indonesia baru saja digegerkan dengan viralnya video polisi yang melatih emak-emak berteriak “Jokowi Yes-Yes!” Video ini terang mengerikan di tengah-tengah harapan publik agar polisi tidak lagi ditarik ke dalam politik praktis seperti era orde baru. Apapun alasannya sulit rasanya mencari pembenaran atas aksi polisi melatih “Jokowi Yes-Yes!”

Ketiga, ASN diragukan netralitasnya. Netralitas ASN dan Kepala Desa adalah satu masalah besar dalam pemilu hari ini. Banyak ditemukan kepala desa yang menjadi tim pemenangan atau sikap tindakan ASN yang condong mendukung kubu tertentu. Ini dibuktikan dengan terciduknya camat se-kota Makassar yang mendeklarasikan diri untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Sementara pada sisi lain 6 guru honorer di Banten dipecat hanya gara gara mengacungkan dua jari sambil menunjukkan foto pasangan nomor urut 2.

Ada pula aksi Mendagri Tjahjo Kumolo yang minta ASN jangan netral, tapi jadi corong kisah sukses Jokowi. Muncul pula  kasus walinegari di Dharmasraya Sumatera Barat yang terang-terangan mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Padahal ASN dan Kepala Desa adalah figur sentral di masyarakat dan menjadi tokoh rujukan di masyarakat. Mestinya para ASN dan kepala desa dapat menempatkan diri sesuai dengan mandat undang-undang untuk tidak mengambil bagian dari tim pemenangan peserta pemilu.

Keempat, lembaga survei diragukan netralitasnya. Belakangan ini banyak lembaga survei yang coba mengiring opini public tentang hasil pemilu. Tragisnya lembaga-lembaga survei itu terciduk atau memiliki track record sebagai konsultan politik dari pihak-pihak tertentu. Bagaimana independensi pelaksanaan quick count apabila lembaga survei ini adalah konsultan kubu tertentu? Bagaimana mungkin lembaga survei itu bisa dipercaya bersikap netral, bila sejatinya mereka adalah pemain dalam Pemilu ini?  Sialnya, Indonesia tidak punya hukum untuk melarang lembaga survei untuk mengambil dua peran sekaligus dalam satu event kompetisi politik tertentu.

Kelima, media massa diragukan netralitasnya. Hari ini sebagian besar keberadaan bos media ada di kubu Jokowi. Mereka adalah Surya Paloh, Hari Tanoesoedibjo, dan Erick Thohir. Bergabungnya ketiga sosok tersebut akan merugikan masyarakat karena bisa jadi membuat medianya tak lagi independen. Apalagi media sosial saat ini masih dipenuhi oleh berita disinformasi dan hoaks.

Keenam, Presiden cuti akal-akalan hanya jam-jaman. Peraturan cuti pejabat yang hendak berkampanye dalam Pemilu, menguntungkan capres petahana Jokowi. Akibatnya Jokowi bisa tetap berkampanye di sela-sela melaksanakan tugas sebagai presiden. Turunannya Jokowi bisa tetap menggunakan fasilitas sebagai presiden saat hendak berkampanye. Meskipun sah secara peraturan perundang-undangan, kebijakan ini tentu melanggar etika politik.

Ada ketidakadilan antar capres di sini, termasuk besarnya potensi capres petahana melakukan penyelewengan kekuasaan untuk menjaga status quo. Daftar ini akan bertambah panjang apabila kasus-kasus Kepala Daerah juga dimasukan. Tapi intinya dalam kondisi yang penuh potensi ketidaknetralan ini, kita tidak bisa lagi berharap pada sisi internal. Apalagi bila kekuasaan benar-benar menyusup dalam kegelapan untuk memenangkan kubu tertentu.

Perlu Hadirnya Pengawas Independen

Untuk  memperkuat pengawasan agar Pemilu bisa berlangsung jujur dan adil salah satunya adalah dengan membuka keterlibatan pengawas internasional. Sinergi pengawas internasional dan pengawas lokal bisa meminimalisasi kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. Rakyat juga bisa lebih tenang sebab yang namanya pengawas internasional bersifat independen. Mereka tidak bisa diintervensi secara langsung oleh penguasa manapun di Indonesia. Keberadaan pengawas internasional juga bisa meningkatkan kepercayaan rakyat bagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Pilpres 2019 mendatang.

Tagar #INAelectionObserverSOS memuncaki trending topic dunia pada Rabu siang (20/3). Tagar ini berusaha menarik perhatian dunia internasional untuk menyoroti kepolisian RI yang dianggap tidak netral di pemilihan presiden Indonesia. Sebelumnya, sejumlah akun menyebarkan tagar #PolisiTidakNetral dan #WasitKokIkutMain yang sempat meramaikan lini masa twitter Indonesia. Tagar itu diunggah dengan video dan narasi yang menuduh polisi tak netral dan cenderung mendukung Calon Presiden inkumben Joko Widodo dalam Pilpres 2019.

Munculnya  tagar ini merupakan sesuatu yang urgen  sebagai bentuk keseriusan kita untuk menjaga pemilu berjalan langsung, adil dan jujur. Sejauh ini sudah ada gagasan untuk mengundang tim pemantau pemilu asing untuk pemilu serentak pada 17 April 2019. Statement ini awalnya keluar dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dalam pemaparannya, BPN berencana mengundang lembaga pemantau internasional untuk mengawasi jalannya pemilihan umum 2019. Rencana tersebut seiring dengan banyaknya muncul permasalahan selama masa kampanye Pemilu 2019.

Sementara itu, beberapa waktu yang lalu, pengamat politik Rocky Gerung mengeluarkan pernyataan yang sama. "Legitimasi Pemilu makin defisit. Gejala kecurangan makin kentara. Kiranya penting lembaga pemantau pemilu asing ikut mengawasi demi transparansi demokrasi,`` kicau Rocky Gerung via twitter.

Apapun alasannya, adanya pemantau asing adalah suatu keharusan. Mengundang tim pemantau pemilu asing independen adalah cara rasional menjaga keadilan agar pemilu berjalan tanpa ada tekanan ataupun kecurangan. Kita semua percaya bahwa bawaslu pasti akan sangat terbantu jika benar-benar ada lembaga pemantau pemilu asing yang turut terlibat. Selain itu, panasnya hawa politik yang muncul belakangan ini bisa lebih adem dengan kehadiran tim pemantau asing untuk meredam kecurigaan yang muncul.

Di  sisi lain,  kehadiran tim pemantau pemilu asing menjadi pertanda bahwa demokrasi kita semakin terbuka pada pengawasan internasional. Ini logis karena semakin terbukanya demokrasi kita maka semakin besar citra demokrasi yang dewasa dan bermartabat dihadapan bangsa lainnya.

Kabarnya kini lampu hijau sudah muncul dari lembaga pemantau independen bawaslu dan komisi pemilihan umum. KPU bahkan menilai bahwa ini adalah hal positif yang wajib dijalankan agar independensi pelaksanaan pemilu di indonesia lebih bermartabat dimata masyarakat dunia.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika ingin serius menjalankan ini.  Diantaranya pemerintah harus benar-benar komitmen dan bersedia menjalankan hal baik ini. Menghadirkan lembaga pemantau pemilu asing dalam pemilu 2019 akan membuat hawa demokrasi indonesia bergeliat di mata internasional. Pemerintah juga harus terbuka untuk melihat persoalan ini sebagai rasa tanggung jawab atas demokrasi Indonesia yang bermartabat. Untuk itu semua peserta pemilu harus percaya dan sepakat dengan setiap masukkan dan hasil dari pemantauan lembaga asing tersebut. Sikap sportif memberikan tanggapan yang baik bahwa kita adalah bangsa yang rasional dalam menghadapi setiap masukan yang diberikan.

Selain meletakkan kepercayaan terhadap lembaga pemantau pemilu asing, masyarakat juga harus pro aktif dan ikut terlibat. Setiap masukan masyarakat harus ditanggapi dan diterima. Masukan tersebut harus dipandang sebagai masukan yang bernilai positif dan jangan nantinya dipakai sebagai persekusi bagi setiap masyarakat yang memberi masukan.

Kita semua tentunya berharap agar wacana ini penting dilaksanakan dan sudah seharusnya diterapkan. Kehadiran lembaga pemantau pemilu asing akan punya efek yang baik ke depan, baik bagi kita semua dan bagi peradaban demokrasi Indonesia yang sehat, cerdas dan bermartabat.

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar