Perjuangan Marthen Bira Bawa Tebara Raih Predikat Desa Terbaik

Minggu, 17/03/2019 07:05 WIB
Kepala Desa Tebara, Marthen Ragowino Bira (law-justice.co/ Marselius Gual)

Kepala Desa Tebara, Marthen Ragowino Bira (law-justice.co/ Marselius Gual)

law-justice.co - Desa Tebara. Bagi sebagian orang, nama itu mungkin terdengar asing. Namun buat mereka yang tinggal di kawasan Nusa Tenggara Timur, pasti sudah mengenal desa ini.

Selain populer karena keindahan alamnya,  desa Tebara yang terletak di Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini berhasil meraih predikat Desa Terbaik Nasional dan menjadi Desa Percontohan Nasional tahun 2018 dalam pengelolaan dana desa.

Prestasi tersebut bukannya diraih tanpa perjuangan, apalagi warga desa ini dulunya dinilai pemalas dan konsumtif. Kegigihan Marthen Ragowino Bira, Kepala Desa Tebara dalam memajukan desanya, memang patut diacungi jempol.

"Kalau kepala desa tidak berubah siapa yang memikirkan desa ini. Tidak mungkin orang dari luar, hanya kita yang di sini," kata Marthen, demikian ia biasa disapa beberapa waktu lalu, saat ditemui Marselinus Gual dari law-justice.co di Jakarta.

Kisah perjalanan hidup Marthen hingga menjadi kepala desa, menjadi cerita sendiri yang menarik untuk disimak.  Ia adalah salah satu dari sekian perantau asal NTT di Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang berani pulang untuk membangun desanya. 

Semuanya bermula di tahun 2004. Usai diwisuda tahun 2003 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, ia hijrah ke Jakarta tahun 2004 berbekal ijazah sastra Inggris.

 Di ibu kota, ia sempat menjadi editor dan penerjemah di anak perusahaan Gramedia. Kala itu ia menerjemahkan buku motivasi yang berjudul "To Be You", yang pada akhirnya merubah cara pandangnya.

"Jadi saya menerjemahkan sebuah buku yang kemudian buku itu merubah cara pandang dan mengarahkan saya," kata pria yang suka main bola ini. Marthen mengatakan dirinya lebih suka berada di tengah banyak orang, ketimbang tenggelam di balik meja.

Selepas menjadi editor, tahun 2005 Marhten hijrah ke Kalimantan Timur. Di sana ia bekerja di Total Indonesia, perusahaan asal Perancis yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dan gas.

Bekerja selama setahun di Kaltim kembali merubah cara pandangnya. Selama setahun bekerja di Total Indonesia, Marthen kembali menggugat dirinya: untuk apa bekerja di perusahaan asing sementara negeri ini dan masyarakatnya tetap miskin.

"Justru saya berada di sana untuk melihat sebetulnya apa efek dari perusahaan-perusahaan besar yang mengeksplorasi kekayaan alam kita. Gaji saya besar, waktu kerja saya pendek dan nyaman lah dengan segala fasilitas. Kemudian saya melihat, kita miskin, orang Indonesia tetap miskin. Minyaknya lari keluar dan kita tetap miskin," katanya.

Alasan itu pulalah yang membawa ia pulang kembali ke Yogyakarta tahun 2006, daerah yang disebutnya sebagai tempat kontemplasi dan menjernihkan pikiran. Namun alam sedikit tak berpihak. Beberapa saat tiba, gempa mengguncang Kota Pelajar.

Pria yang memiliki hobi membaca ini pun bergabung dengan International Federation of Red Cross and Red Creation Society, kerja sama gabungan Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Merah Timor Tengah untuk membantu gempa Jogja. "Karena gempa Jogja itulah saya menjadi relawan," katanya mengingat masa-masa itu.

Usai gempa Jogja, giliran Aceh diguncang bencana maha dahsyat di tahun 2007, tsunami. Marthen pun hendak dikirim ke Aceh untuk membantu korban tsunami. Namun, dengan berat hati ia menolak. "Saya memutuskan kembali ke Sumba," ujarnya lirih.

Kembali ke Sumba, Marthen membawa misi memajukan pendidikan di tanah kelahirannya. Kebetulan, selama setahun di Yogyakarta, ia berkenalan dengan Purdi E. Chandra, seorang pengusaha Indonesia sekaligus pemilik Lembaga Bimbingan Belajar Primagama. 

Dari Purdi, Marthen banyak hal, terutama soal pemberdayaan masyarakat. "Jadi ada kelasnya dia itu entrepreneurship university yaitu cara gila menjadi pengusaha. Ternyata yang saya dapat di situ bukan masalah bisnis tetapi masalah stay powernya Pak Purdi Chandra. Ketika dia jatuh bangun, empat jurusan kuliah di UGM dan UNJ kemudian memutuskan menjadi pengusaha, memberdayakan orang dan membuka lapangan pekerjaann dengan Primagama," lanjutnya.

Saat tiba di Sumba, Marthen pun mulai membangun Primagama. Namun, lembaga ini hanya bertahan selama lima tahun. Meski sempat menghasilkan sekitar 100 murid berkualitas, Marthen juga menemukan fakta bobroknya pendidikan di NTTT. 

"Memang karena kebijakan pendidikan kita parah, kita mengharapkan kelulusan 100 persen tetapi tidak berkualitas. Akhirnya Primagama bangkrut, karena memang saya sendirian, tidak ada investor," tukasnya.

Selepas Primagama, Marthen kemudian menjadi guru kontrak daerah selama lima tahun. Lagi-lagi idealismenya terbentur dengan kebijakan sekolah. Dia berhadapan dengan kebijakan sekolah yang tidak pada tempatnya.

"Dan saya menemukan bahwa kenapa kelulusan itu 100 persen karena terjadi masalah ketika siswa dikasih tahu jawaban. Itulah alasan kenapa anak-anak tidak mau ke Primagama, anak-anak tidak cari pendidikan berkualitas. Saya keluar karena saya protes keras (kebijakan sekolah memberikan kunci jawaban UAN),” cetusnya.

Menolak Jadi Kepala Desa

Tahun 2016, Kepala Desa Tebara meninggal dunia. Jabatan itu pun kosong. Warga desa menawari Marthen mengisi posisi tersebut "Awalnya, saya tidak mau, karena dalam bayangan saya kepala desa itu jabatan orang tua. Masa saya yang masih muda ini  menjadi kepala desa," tutur pria kelahiran Waikabubak, 4 Mei 1979 ini.

Setelah diberi pengertian oleh beberapa pihak, Marthen pun menyanggupi. Tahun 2016 ia dilantik menjadi kades pergantian antar waktu (PAW). Setahun menjadi Kades Tebara, tak banyak hal yang dilakukan Marthen. Namun, kata Marthen, selama setahun dia berusaha mengenali persolan utama yang dihadapi warga desanya dan menggali potensi apa saja yang bisa dikembangkan. 

Marthen pun menemukan arah pembangunan baru: menciptakan lapangan kerja di desanya. "Saya meletakan hal-hal dasar terutama clean goverment, kemudian kita memperhatikan data. Artinya kalau kita mau membangun harus tahu masalah dan potensi kita itu apa," katanya.

Tak pelak, tahun 2017, Marthen dipilih kembali menjadi Kades Tebara. Perolehan suaranya sangat signifikan. "Saya dapat membuktikan jika politik itu bisa tanpa uang. Dengan demikian juga saya tidak memiliki utang terima kasih kepada siapapun.

"Dan bahkan memmang saya tidak punya uang, minum kopi saja saya hutang. Dengan begitu saya tidak punya beban, saya tidak harus berterima kasih kepada dewan, kontraktor..." katanya terkekeh.

 Memasuki 2018, Marthen dan stafnya bergerak cepat. Mereka bekerja keras menata desanya siang malam. "Kita sudah tertinggal, kalau kinerja kita biasa-biasa, apa yang mau kita raih. Kalau orang pulang jam 3 sore dari kantor mengapa kita ikut pulang juga, padahal masih banyak pekerjaan yang kita lakukan. Jadi selama 2018 kami pulang jam 6 sore. Saya dan beberapa staf bahkan pulang jam 8 malam. Karena menurut saya kita harus mengejar ketertinggalan, kita tidak bisa berleha-leha seperti orang di Jawa yang sudah maju," tegasnya.

Meski demikian, upaya Marthen tak selamanya mulus. Ia berhadapan dengan kondisi masyarakat yang malas, tidak mau berubah, budaya Sumba yang boros dan sebagainya.

"Kami identifikasi persoalan masyarakat, mereka itu konsumtif tidak produktif, konsumtif dengan budayanya. Karena sawah tadah hujan, dia malas di musim kemarau. Bangun pagi, dia bangun jam 10, kapan dia produktif. Nah sistim kerja yang tidak produktif dan konsumtif ini yang kita rubah. Saya terbitkan peraturan desa, kita harus mulai gerakan hidup hemat, potong babi dikurangi, makan nasional saja, tidak usah cara Sumba yang boros itu, barang-barang adat dikurangi saat dibawa upacara adat, kemudian mengurangi waktu penguburan, tidak terlalu lama," jelasnya.

Berkat kerja keras itulah mereka berhasil membangun pasar, membangun lumbung, menciptakan Bumdes (Bank Umum Desa) dan mengembangkan desa wisata Kampung Prai Ijing dan mengembang danau wisata Wae Boro, danau alami yang ada di pinggir Kota Waikabubak. Semua ini diakuinya dikelola menggunakan Dana Desa sebesar Rp 1,2 miliar ditambah Alokasi Dana Desa (ADD) dari Kabupaten Sumba Barat sebesar Rp705 juta.

"Kenapa pasar, karena kita punya hasil bumi tapi tidak tahu jualan. Mama-mama kita hanya duduk di jalan raya. Makanya pasar di ciptakan. Kenapa lumbung desa? Ketika mereka (warga) ke kota kan mereka ingin belanja barang banyak di sana, nah barang-barang itu kita sediakan di desa dengan harga yang sama di kota supaya dia tidak perlu lagi ke kota kan. Roda ekonomi berputar kan," ujarnya.

Terkait pengelolaan dana desa, Marthen mengatakan lebih banyak di pemberdayaan dan pembangunan. Setelah berhasil membangun pasar desa, gudang, kampung wisata, danau wisata, hal yang kemudian dipikirkannya adalah bagaimana semua itu berkelanjutan dan membawa dampak bagi ekonomi warga Desa Tebara.

"Saya bangun sanggar tari dan kemudian ada pelatihan handicraft (kerajinan tangan), budi daya perikanan, kerajina bambu dan sebagainya, biar warga sibuk dan produktif. 

Alhasil, lanjut Marthen, saat ini Desa Tebara merupakan salah satu dari 10 desa binaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. "Di NTT hanya kami desa wisata," bebernya.

Menurut Marthen, dari pembangunan desa wisata, dalam lima bulan terakhir, Desa Tebara sudah memiliki PAD sebesar Rp 72juta. Penerimaan itu diperolehnya dari sewa lahan parkir, sewa tempat foto, homestay (rumah warga), jual kain tenun dan handicraft.

"Saya sudah mempekerjakan 35 pemuda di kampung saya yang digaji Rp35 ribu sehari sebagai petugas loke dan parkir," katanya sembari menambahkan berusaha meningkatkan PAD sebesar Rp1 miliar tahun ini.

Marthen mengatakan belum puas diri dengan penghargaan dari Kemenkeu. Baginya, penghargaan itu adalah motivasi baru bagi desanya untuk mengembangkan apa yang sudah dibangun.

Dia menambahkan, letak keberhasilannya dalam membangun Desa Tebara bukan saja di transparansi pengelolaan dana desa tapi lebih pada kebijakan yang tepat sasaran dan berkelanjutan.

"Kalau soal keterbukaan pengelolaan dana semua orang bisa, tapi yang penting adalah pembangunan yang sustainable, berkelanjutan," kata Marthen.

Di akhir wawancara, Marthen mengaku pernah menolak saat ditawarkan menjadi ketua salah satu partai untuk wilayah Sumba Barat. "Karena saya mau fokus di desa, minimal dua periode. Saya ingin desa maksimal sampai tidak ada lagi yang bisa saya buat untuk desa. Setelah itu, jika harus jadi petani pun saya tetap bangun. Karena memang, selama ini, kebutuhan hidup saya sehari-hari tidak tergantung pada jabatan kades, Saya tetap kerja, saya garap sawah, saya tidak mau jabatan untuk jadi pegangan hidup," pungkasnya.

(Marselinus Gual\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar