Nasrudin Joha, Kolumnis

Kandasnya Pencitraan soal Lobby Malaysia dan Sinetron Teroris

Sabtu, 16/03/2019 09:55 WIB
Presiden Jokowi di Istana Negara menerima TKW yang divonis bebad di pengadilan Malaysia, Siti Aisyah (Foto: Kompas)

Presiden Jokowi di Istana Negara menerima TKW yang divonis bebad di pengadilan Malaysia, Siti Aisyah (Foto: Kompas)

Jakarta, law-justice.co - "Mereka adalah kelompok yang berafiliasi dengan paham-paham ISIS," Tito Karnavian, Pondok Pesantren Al-Kautsar di Medan, (12/3/2019).

Tito yang menjadi `bintang film` aksi terorisme, yang paling fasih mengurai motif dan cerita khayal terorisme, namun `gagal` menanggulanginya, kini berkicau lagi. Tito, kembali naik panggung setelah sekian lama `absen` dan irit memberikan statement.

Kasus `buku merah` cukup berat dan membuatnya untuk sementara waktu `tiarap` dari berbagai diskursus penegakan hukum diruang publik. Namun, Kali ini Tito kembali keluar keruang publik dengan deklamasi khasnya soal terorisme.

Lagi-lagi, narasi teroris dikaitkan dengan ISIS. Deklamasi itu sudah berulang kali disampaikan, berulang kali disebut sebagai ancaman negara, tetapi berulang kali pula Polri kecolongan. Bom, terus meledak seperti petasan di musim kawinan.

Nama terduga itu juga mudah ditebak, Abu Hamzah. Pelaku terduga teroris ditangkap tim Densus 88 Antiteror. Pastinya, jika namanya Robertus Caladinus, pasti ledakan bom ini akan disebut `kriminal biasa` atau paling serem cuma dilabeli kelompok kriminal bersenjata (KKB).

Bom meledak saat kediaman pria yang diklaim berafiliasi dengan ISIS di Sibolga, Sumatera Utara, langsung digeledah. Abu Hamzah lantas ditangkap pada Selasa 12 Maret 2019 sekira pukul 14.23 WIB. Abu Hamzah saat itu tengah berada di luar rumahnya.

Peristiwa ini, tentu saja membuyarkan konsentrasi publik pada `kebodohan rezim` dimana Jokowi mengakui `kita bodoh banget` soal eksport dan investasi. Isu ini, juga akan mengalihkan hoax Jokowi tentang lobi pembebasan Siti Aisyah, yang sebelumnya diklaim atas jasa pahlawan-pahlawan di istana Jokowi.

Setelah itu, mulailah umat Islam menjadi pihak tertuduh. Segala hal dan ikhwal yang berkaitan dengan Islam akan dipersoalkan. Cadar dicurigai, jenggot dikriminalisasi, pengajian dimata-matai, dakwah di intimidasi, perjuangan penegakan syariat Islam dituding radikal bahkan teroris. Narasi itu, setidaknya hingga beberapa hari Kedepan akan menyesaki ruang publik. Sampai Allah SWT melalui cara-Nya akan menghentikan dan membungkam propaganda jahat ini.

Alat negara, akan membusungkan dada dan mengujar agar rakyat mendukung penuh perang melawan tororisme. Negara, akan merasa paling memiliki andil dan meminta legitimasi untuk mengambil tindakan berlebih, anggaran berlebih, atas dalih `ancaman terorisme`.

Bukannya meminta maaf atas abainya negara mendeteksi dini ancaman terorisme, padahal berulang kali menyampaikan telah hafal modus dan jaringan teror, namun sebaliknya. Aksi terorisme ini justru akan dijadikan proposal untuk dijajakan secara massif, bahwa rakyat wajib mendukung negara betapapun negara telah gagal memberi jeminan perlindungan dan rasa aman pada setiap warganya.

Siyono, telah tiga tahun meninggal di tangan densus 88. Sampai saat ini, tidak ada tanggung jawab negara. Asal tangkap, asal tembak, asal bertindak tanpa mengindahkan rintihan dan jeritan umat.

Umat Islam sudah sangat muak, dalam isu terorisme selalu dijadikan korban sekaligus tertuduh. Yang mati, baik yang korban atau diklaim tertuduh teroris adalah umat Islam. Pembunuhan massif diluar pengadilan (ekstra judisial killing) menjadi sah karena dalih memerangi terorisme.

Wahai umat Islam, Bangkitlah ! Jangan terus diam dalam tirani dan penindasan. Tunjukkan, bahwa kalian adalah generasi penerus Al Mu`tashim Billah, Muhammad Al Fatih, Generasi thariq bin Ziyadh. Jangan diam, sebab diam juga tidak memberi perlindungan dan jaminan rasa aman.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar