Jejak Benny Moerdani, Habibie, dan Prabowo dalam Pembredelan Tempo

Jum'at, 22/02/2019 13:28 WIB
Kisah kapal perang bekas Jerman Timur. di `Tempo`. (Foto: P Hasudungan Sirait)

Kisah kapal perang bekas Jerman Timur. di `Tempo`. (Foto: P Hasudungan Sirait)

Jakarta, law-justice.co - Penguasa Orde Baru membredel majalah Tempo pada 21 Juni 1994. Apa sebab sesungguhnya? Betulkah semuanya gara-gara Menteri Riset dan Teknologi  (Menristek) Bacharuddin Jusuf Habibie? Waktu itu laporan utama majalah terkemuka tersebut ihwal pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Intinya, sudah mahal (US$480 juta; turun dari US$760 juta), mutunya rendah sehingga ada yang nyaris tenggelam dalam pelayaran menuju Indonesia.   

Isu yang berkembang tak lama setelah bredel terjadi adalah: Pak BJ Habibie berang akibat berita miring Tempo.  Ia lantas mengadu ke patron yang sangat mengasihi dan memanjakannya, Presiden Soeharto. Melihat kegundahan ahli konstruksi pesawat yang beroleh doktor dari Universitas Aachen, Jerman, kepala negara bertindak. Ia menyuruh Menteri Penerangan Harmoko memberangus Tempo, berikut Editor dan DeTIK.    

Kisah kapal perang bekas bermasalah. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Di paruh pertama 1990-an itu pendulum politik telah bergeser. Presiden Soeharto semakin memberi tempat ke kelompok Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI, berdiri pada 7 Desember 1990) dan para jenderal ‘hijau’ pendukung organisasi ini (Panglima ABRI Feisal Tanjung;  Kassospol ABRI yang sejak 1995 menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, Raden Hartono; Kepala Pusat Penerangan ABRI, Syarwan Hamid; dan yang lain).

Pada sisi lain, kubu ‘merah-putih’-nya Jenderal Benny Moerdani kian tersisih. Di sana ada Try Soetrisno, Edi Sudradjat, Sintong Panjaitan, Theo Syafei, Sahala Rajagukguk, dan yang lain. Luhut Binsar Panjaitan yang masih perwira menengah, menjadi bagian dari mereka.

Sebagai penentang keras Leonardus Boenyamin Moerdani (Benny Moerdani), Komandan Grup 3 Kopassus (Cijantung) Letkol Prabowo Subianto yang merupakan menantu Jend. (Pur) Soeharto menjadi bagian penting dari ABRI ‘hijau’.   

Pada Juni 1994 Oom Fikri Jufri telah menjadi pelaksana Pemimpin Redaksi majalah Tempo meski di masthead (daftar susunan redaksi)  masih nama Goenawan Mohamad yang mucul. Secara pribadi ayah fotografer Kemal Jufri itu dekat dengan Benny Moerdani. Realitas ini menggusarkan ICMI-kelompok ‘jenderal  hijau’.

Dalam penilaian mereka kemudian, Tempo sudah ‘ke-Benny-Benny-an’. Tidak netral lagi seperti di zaman kepemimpinan   Mas Goen yang 23 tahun.  Kabarnya,  mereka pernah meminta agar  jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, jago lobi, dan salah satu pendiri Tempo tersebut diganti sebagai Pemred. Sebagai catatan, di redaksi mingguan ini juga ada kalangan yang dekat dengan ICMI-‘ABRI hijau’ dan bahkan ada yang menjadi ‘orangnya Prabowo’.

Tatkala mingguan yang sempat disoal majalah TIME dengan tuduhan menjiplak mereka—memang selain nama, perwajahan dan rubrikasi juga mirip—kemudian, pada edisi 11 Juni 1994, menurunkan cover story berjudul Habibie  dan Kapal itu  [lihat foto]   muncul anggapan bahwa pendiskreditan kubu BJ Habibie sedang dilakukan pihak lawan.

 “Majalah Tempo dibredel karena Pak Habibie. Betulkah? Katanya Bapak marah gara-gara berita pembelian kapal perang Jerman Timur dan kemudian mengadu ke Pak Harto. Bredel pun terjadi,” ucapku ke Pak BJ Habibie saat memulai percakapan di atas panggung.   

Ia menjadi tamu yang kuwawancarai  1 jam lebih dalam talk-show di ulang tahun AJI ke-19 yang digelar di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Kamis 29 Agustus 2013. Saat itu nama baiknya telah kian  pulih terutama berkat film Habibie & Ainun  yang diluncurkan di penghujung 2012. Sebelumnya ada anggapan bahwa ia menyingkir ke Jerman setelah tak lagi menjadi kepala negara.

Menkeu Marie muhammad memotong anggaran. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

“Tidak benar! Tidak benar gara-gara saya Tempo dibredel. Saya sendiri terkejut,” jawabnya. Ia lantas bercerita dengan bersemangat, seperti biasanya. Intinya?

Dia baru saja puang dari Jerman tatkala bredel terjadi. Setiba di Jakarta ia bergegas ke Cendana untuk menghadap dan bertanya ke Presiden mengapa Tempo, Editor, dan DeTIK diberangus.

Presiden menjawab dengan enteng: ketiganya mengadu domba rakyat  dengan pemerintah.

“’Iya, tapi kenapa harus dibredel?” Mereka itu orang-orang pintar dan kritis’, tanya saya. Lalu Pak Harto kembali menjawab. Singkat saja, ‘Tapi saya sudah tanda tangan.’”

Hadirin tertawa. Karena surat pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers-nya (SIUPP) kadung sudah diteken maka   Tempo, Editor, dan DeTIK harus mati!  Lucu sekaligus ironis, tentunya.

Pak Habibie menyatakan dirinya tidak bersangkut paut dengan  bredel dan tak tahu-menahu  soal mark-up pembelian kapal Jerman Timur. “Kalau saya masuk wilayah-wilayah tempat orang bisa memanipulasi atau mendistorsi, pesawat terbang saya jatuh, kapal saya tenggelam,” ucapnya dengan jenaka.

Hadirin kembali tertawa.

Dalam perbincangan itu kusempatkan mengkonfirmasi apa yang pernah kami beberkan di majalah kami, D&R,  terkait manuver Letjen Prabowo Subianto   di saat sang ahli konstruksi pesawat baru saja menjadi presiden RI yang ke-3.

“Benarkah Pak Prabowo membawa pasukan ke rumah Bapak di Kuningan untuk menekan? Kalau benar, apa sesungguhnya yang ia kehendaki dan apa yang terjadi kemudian?”

“Benar! Bukan sekali itu saja ia datang dengan pasukan. Ia juga ke Istana. Tiga kali ia mencoba mengkudeta saya. Tapi saya punya sistem pengamanan yang sangat baik…Saya beruntung punya Pak Sintong Panjaitan.”

Ia lantas mengisahkan seperti apa kejadian yang menegangkan yang melibatkan dirinya dengan jenderal berkarir meteorik yang sebelumnya sangat dekat dengannya. Inti masalah, menurutnya, adalah sang menantu Presiden kecewa karena bukan dirinya yang kemudian menjadi orang nomor satu di angkatan bersenjata melainkan tetap Jenderal Wiranto.

Setelah konfrontasi itu Letjen Prabowo ternyata terpental. Ia dicopot sebagai Panglima Kostrad, pada 23 Mei 1998 atau sehari setelah BJ Habibie dilantik menjadi kepala negara. Permintaannya agar diberi waktu 3 bulan untuk tetap memimpin Kostrad ditolak Presiden. Menjadi Komandan Staf dan Komando ABRI, ia ditugasi. Pembuangan, tentu.

Wajah menawan majalah terkemuka. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Proses penggantian Pangkostrad unik, kala itu. Untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia merdeka terjadi pengalihan jabatan yang pernah diduduki Letjen Soeharto ini sampai 3 kali tak sampai 24 jam.  

Jumat 22 Mei 1998, dalam acara yang tertutup untuk pers di markas AD,  jabatan Pankostrad dialihkan dari Letjen Prabowo Subianto (lulusan AKABRI tahun 1974)  ke Mayjen Johny Lumintang (alumni AKABRI 1970). Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jend. Subagyo waktu itu hanya mengatakan, “Semua berlangsung resmi dan sah.”

Sabtu (23 Mei) dini hari keadaan di jantung ibukota sangat mencekam.  Suasananya seperti bakal terjadi perang besar. Ratusan pasukan Kostrad, Penanggulangan Huru-Hara (PHH) Kodam V Jaya, dan Kopassus bersiaga dengan senjata lengkap di beberapa tititk termasuk di sekitar Istana Merdeka, Jl. Thamrin, Menteng, dan Jakarta Kota.

Pada pukul 02.30 panser dan kendaraan berat milik Kondam V dan Kostrad mulai ditarik dari jantung kota. Keadaan normal kembali sejak pukul 04.00 setelah pasukan Kostrad dan PHH pulang ke barak.

Sabtu, pukul 11.00,  masih di Markas Kostrad, Mayjen Johny Lumintang menyerahkan jabatan Pangkostrad ke Mayjen Djamari Chaniago (lulusan AKABRI  1971).

“Mengapa  sampai 3 kali alih jabatan Pangkostrad? Aneh betul!  Dan Jakarta waktu itu seperti mau perang,” kataku.

“Iya…kita sengaja  mengulur waktu supaya bisa mengkonsolidasikan kekuatan.  Saat itu yang menjadi Panglima TNI Pak Wiranto, tapi secara faktual dia  tidak menguasai pasukan. Pak Prabowo yang mengendalikan pasukan,”  jawab Pak Habibie. Penjelasan lantas ia berikan.

Letjen Prabowo ternyata menolak jabatan Komandan Staf dan Komando ABRI. Seperti mengulangi sejarah ayahnya tercinta, begawan ekonomi Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang menentang secara terbuka Presiden Soekarno, ke luar negeri kemudian ia berkelana. Setelah itu lama tak terbetik kabarnya.

Menyingkir

Suatu siang pengusaha terkemuka Hashim Djojohadikusumo melangsungkan konferensi pers di JHCC Senayan, untuk menepis kabar-kabar buruk tentang sang kakak kandungnya, termasuk soal penculikan para aktifis, kerusuhan Mei 1998, dan percobaan kudeta.

Pak Hashim dan aku kemudian bercakap di sebuah sudut seusai temu wartawan. Terharu dan takzim aku melihat upaya keras dan kesungguhannya membela nama baik keluarga. Sebab itu kukatakan ke dia apa yang menjadi kata hatiku: percuma saja konferensi pers seperti itu dilakukan.

Majalah yang dihadirkan penguasa sebagai pengganti `Tempo`. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

“Tanpa mengurangi rasa hormat ke Pak Hashim dan tim yang telah capek, menurut saya, agak percuma acara barusan.”

“Mengapa?” ucapnya dengan agak kaget.

“Kawan-kawan wartawan tadi setengah hati saja mendengar Bapak. Seperti mereka, publik pun tak akan percaya kalau Pak Hashim yang mengklarifikasi,” ujarku.

“Maksudnya bagaimana?”

“Jangan Pak Hashim yang bicara, tapi Pak Prabowo. Harus beliau yang ngomongin yang tadi Bapak sampaikan ke wartawan.”

“Tapi itu tidak mungkin. Mas Prabowo tidak mungkin hadir di sini,” jawabnya dengan berbisik. Ia kemudian menarik tanganku agar kami lebih mundur.

“Mengapa nggak mungkin? Lima menit saja muncul itu sudah cukup; setelah itu langsung pergi lagi…”

“Keamanan beliau sedang terancam. Itu sebabnya perlu menyingkir.”

Oh, begitu…Sekarang beliau di Singapura ya?”

“Nggak lagi, sebelumnya iya.”

“Lalu sekarang dimana?”

“Di tempat yang amanlah. Jauh dari sini,” ucapnya dengan lirih.  

Jauh hari belakangan baru datang kabar bahwa Danjen Kopassus (sejak 1996) yang kemudian menjadi  Pankostrad itu bermukim di Jordania. Negeri ini menjadi pilihannya sebab ia bersahabat baik sejak lama dengan putra mahkota   negara yang terbilang kaya itu.

Gatra dan Cendana

Nama Hashim dan Prabowo dari klan Djojohadikusumo harus kita sebut manakala membicarakan sejarah pembredelan majalah Tempo. Kaitannya?

Hanya 5 hari setelah Tempo ditutup penguasa (21 Juni 1994), Letkol Prabowo Subianto telah bermanuver. Waktu itu unjuk rasa merebak di sejumlah kota untuk menolak bredel.  Lewat adiknya, Hashim, perwira berkarir melesat yang tak menyukai Benny Moerdani yang nota benenya adalah seniornya di korps baret merah,  berusaha mengambil alih majalah yang mengada sejak 1971. Hashim berunding dengan para direktur penerbitan yang sahamnya dimiliki karyawan Tempo (20%), PT Pikatan, dan Jaya Raya (yayasan yang dimiliki Pemda DKI dan dikendalikan Ciputra).

Syarat yang diajukan Letkol Prabowo agar majalah yang bersemboyan ‘enak dibaca dan perlu’ boleh terbit lagi adalah: pihaknya boleh memasukan orang mereka ke redaksi serta menjadi pembeli prioritas nanti manakala ada saham terbitan ini yang akan dilepas pemiliknya.

Di saat lobi yang juga melibatkan orang-orang dekat suami Siti Hediati Haryadi (Titiek Soeharto) di sidang redaksi Tempo masih berlangsung, ternyata Presiden Soeharto ‘memberi petunjuk’. Ia,  seperti yang dikisahkan Janet Steele—penulis buku Wars Within yang terbit tahun 2007 ini adalah guru besar Universiatas George Washington yang berkesempatan menelaah Tempo langsung di jantungnya—tak setuju kalau  Letkol. Prabowo yang mengambil alih terbitan terkemuka itu karena nanti bisa menimbulkan kesan buruk yakni keluarga Cendana campur tangan.  

Mundur Prabowo-Hashim. Bob Hasan, yang maju. Bos konglomerat yang merupakan raja kayu ini sejak lama menjadi salah satu orang terdekat keluarga Cendana. Kelak ia, seperti halnya Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut),  menjadi bagian dari kabinet terakhir Presiden Soeharto.

Gatra lahir sebagai buah kesepakatan Bob Hasan, Ciputra (motor Yayasan Jaya Raya), dan 70% karyawan Tempo.  Mereka yang menolak bergabung dengan majalah mingguan baru yang namanya pemberian Presiden Soeharto lantas mencari jalan peghidupan sendiri. Ada yang berhimpun di Tebet (sebagian, kelompok Mas Bambang Harimurti,  kemudian menangani Media Indonesia Minggu) serta ada yang bergabung dengan tabloid Kontan atau koran Neraca yang dipimpin Bang Masmimar Mangiang. Agar bisa tampil terbuka, mereka yang di  Media Indonesia Minggu kemudian meneken pernyataan tidak terlibat dalam kegiatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Tatkala majalah D&R yang merupakan reinkarnasi dari Detektif & Romantika  hadir menjelang Peristiwa 27 Juli 1996, eks-Tempo penolak Gatra yang menjadi intinya,  baik di jajaran redaksi maupun non-redaksi. PT Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) telah membeli Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) majalah hiburan yang bernama aneh ini dari keluarga  bos Selecta Grup, Sjamsudin Lubis almarhum.

Mingguan yang dilahirkan PT Analisa Kita pada 1968 ini lantas disulap. Isi dan perwajahannya dipermak habis sehingga ia menjadi majalah politik yang serius dan jauh lebih galak dari Tempo. Di masthead disebut pemimpin redaksinya Gusti Emran (lelaki ramah dan pemurah asal Kalimantan ini satu-satunya orang Detektif & Romantika yang tersisa di sana) sebelum beralih ke Margiono (orang Jawa Pos) yang kala itu memimpin koran Rakyat Merdeka-nya Mas Dahlan Iskan. Sesungguhnya Mas Bambang Bujono (Mas Bambu)-lah nakhodanya sejak namanya menjadi D&R saja.

Sampul `D&R` yang disoal Jaksa adung. (Foto: P. Hasudungan Sirait)

Lewat Mas Goen (Goenawan Mohamad), D&R membuka pintu untuk  kami orang-orang AJI. Satrio Arismunandar, Imran Hasibuan (Ucok) Meirizal Zulkarnain, Ayu Utami, Ignatius Haryanto, dan aku bergabung. Juga Irawan Saptono, orang Institut   Studi Arus Informasi (ISAI) yang bermarkas di Utan Kayu, dan Bina Bektiati, anak Tempo yang juga pegiat AJI. Ging Ginanjar dan kawan-kawan lain tak turut kami sebab sudah sibuk di Komunitas Utan Kayu atau di tempat lain.

Belakangan, setelah bebas dari penjara Orde Baru yang dihuninya 30 bulan, Ahmad Taufik dan Eko ‘Item’ Maryadi merapat ke kami yang kala itu masih berkantor di Jl. Cikini   II Nomor 10 (kemudian pindah ke Jl. Proklamasi 72, Jakarta).

Bersama kawan-kawan mantan Tempo—di jajaran manajemennya ada Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bambang Bujono, Yusril Jalinus, dan Zulkifly Lubis—kami memimpin skuad anak-anak muda yang  penuh semangat. Kelak di masa reformasi, majalah ini menjadi salah satu media yang paling intens mewartakan kebangkitan rakyat melawan tirani.

D&R nyaris mati seperti Tempo. Sebabnya adalah sampul depannya yang berupa kartu sekop, dengan gambar raja yang dimontase menjadi Presiden Soeharto. Akibat rancangan cover yang dibuat Mas Sri Malela Mahargasarie itu  Jaksa Agung Andi Ghalib dan timnya  sempat beberapa kali memanggil awak majalah ini ke Gedung Bundar, di kitaran Blok M. Kalau saja Presiden Soeharto tak tumbang pada Mei 1998 pasti akan ada orang D&R yang membui. Majalah ini sendiri sangat mungkin dimatikan penguasa. (Bersambung)

(P. Hasudungan Sirait\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar